Dua minggu pun berlalu. Tugas sebagai suami istri pun diemban baik oleh mereka berdua. Semenjak menikah Gifa memilih ikut untuk tinggal bersama Maura di rumah orang tuanya. Ini memang permintaan Mama Alika dan Papa Bilmar, mereka bilang ingin mengabiskan waktu dengan Maura, sebelum wanita itu pergi ke London untuk mengemban ilmu.
Dan malam ini pun adalah malam terakhir mereka di Indonesia.
"Kakak benar mau berangkat besok, Nak?" suara lembut itu membuat Maura menoleh. Ada sang Mama yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Wanita paru baya itu duduk ditepian ranjang, menatap putrinya yang masih terduduk dilantai, Maura sedang sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa ke London.
"Iya, Mah. Karena ujian masuk akan dilaksanakan tiga hari lagi. Perjalanan menuju London juga kan membutuhkan waktu, belum lagi Kakak harus mencari kosan." jawab Maura sambil membuka koper yang satunya lagi untuk memasukan baju suaminya.
"Untuk apa cari kosan, di sana kan ada Apartemen Papa, Nak. Rumah yang pernah ditinggali oleh Mama Kannya dan Papa."
Maura menoleh dan tersenyum menatap Mamanya. Ia pun bangkit dan duduk disebelah Mama Alika. "Kalau tinggal di Apartemen, biaya penunjangnya terlalu besar, Mah. Tidak akan efisien nantinya." Maura terus meyakinkan sang Mama yang terus menatapnya dengan rasa khawatir.
"Kok Mama was-was sih, Kak. Mau ditinggal sama kamu ke sana. Mama takut kamu kekurangan----"
Maura langsung memeluk Mamanya. Mengusap-usap lembut punggung sang Mama. "Mama jangan fikirin macem-macem ya. Tugas Mama di sini hanya doain Kakak sama Gifa. Sesuai janjinya, Gifa pasti akan jagain Kakak, Mah. Makanya kita lebih awal ke London, karena Gifa ingin mencari pekerjaan di sana."
Mama Alika memejam kedua matanya. Ia terus menikmati sentuhan lembut dari putrinya yang sudah ia rawat sampai sebesar ini. Terdengar isakkan tangis pelan dari sudut matanya. Terasa guncangan dari dada serta bahu karena menahan agar tangisan itu tidak meledak, nyatanya Mama Alika tidak bisa menahan. Ia pun menangis dengan tumpah ruah. Pertahanan Maura pun goyah, sedari tadi ia sudah menahan agar tidak menangis, karena tidak mau melihat Mamanya risau dan gegana, dan ia pun akhirnya ikut menangis.
"Mah..." rintihnya.
"...Kakak!" desah Mama Alika.
"Mama sayang banget sama kamu, Nak. Bagaimana nanti ya hari-hari Mama tanpa kamu dirumah? Pasti sepi, Kak." ucap Mama Alika membuat batin Maura tersentak.
"Selama 13 tahun Mama enggak pernah sekalipun ninggalin kamu, tapi sekarang kamu ninggalin Mama, Nak."
Maura semakin menangis, hatinya tersiksa mendengar keluh kesah dari sang Mama. Wanita yang mempunyai hati hampir sempurna itu akan ia tinggalkan sebentar lagi.
"Maura juga inginnya di sini terus sama Mama, Papa dan Ammar. Tapi gimana lagi, Mah. Ini semua kemauan Papa agar Maura tetap sekolah disana." jawab Maura dengan sesegukan.
"Pokoknya Maura janji akan selalu telepon Mama, chat Mama, video call sama Mama!"
"Mama juga harus selalu sehat, jangan telat makan, Mah! Karena Kakak dan Ammar masih membutuhkan Mama---selamanya!" ucapan Maura membuat Mama Alika menangis lebih kencang. Begitu terharu hatinya mendengar ucapan sang anak, yang membuat jiwanya menjadi syahdu dan tentram.
"Iya, Nak. Mama janji, Kakak juga janji ya. Kalau ada hal apapun yang mendesak tolong kabari Mama. Karena pernikahan itu tidak semudah yang kamu bayangkan, Nak. Akan selalu ada masalah disetiap tanjakannya, bisa membuat kamu turun dan menyerah atau naik dan tetap melewatinya. Tolong kabarin Mama, kalau kamu dalam keadaan terdesak ketika di sana ya, Nak. Mama memang menghargai keinginan suamimu untuk hidup mandiri di sana, tapi kamu juga punya Mama dan Papa. Bantuan yang akan kami berikan pasti tidak akan ada salahnya, ini semua juga punya kamu, Nak."
Maura melepas pelukannya. Ia menatap wajah Mama Alika yang masih menangis dan basah karena leleran air mata, pun sama dengan dirinya.
Maura mengusap air mata yang terus turun di permukaan kulit wajah Mamanya. Maura Mencium kening lalu turun ke kelopak mata kanan dan kiri, terus terjerembab menuju hidung, ke kedua pipi dan terakhir mengecup bibi sang Mama.
"Kakak sayang banget sama Mama. Kakak janji akan kabari Mama kalau sedang terdesak. Tapi jika selama di sana, Kakak tidak mengeluh, itu artinya Kakak baik-baik aja ya, Mah. Mama dan Papa jangan khawatir, jangan juga berfikir macam-macam. Doakan kami, itu yang Gifa dan Kakak butuhkan."
Mama Alika mendengus nafasnya perlahan. Ia pun menganggukan kepala dan mendengarkan saja apa yang putrinya ucap.
"Kamu selalu dalam doa Mama, Nak. Semoga kesehatan, keselamatan dan kebahagiaan selalu tercurah untuk Kakak dan Gifali." Mama Alika mengusap lembut pipi Maura dan mencium putrinya.
"Mama sayang banget sama kamu."
"Kakak yang lebih sayang sama Mama..." Maura kembali memeluk Mamanya.
Anak dan Mama itu terus saling merangkul dalam kesedihan. Kuat lah, karena setelah ini masih ada, sejuta rasa sakit yang akan kalian rasakan karena pedihnya menahan rindu. Bersabar lah dan terus saling mendoakan. Agar jiwa dan hati kalian selalu dekat. Jauh dimata namun dekat di hati.
****
Gifali masih setia menemani Papa mertuanya ditaman belakang untuk menata beberapa burung-burung yang baru saja di beli, untuk dimasukan ke dalam sangkar. Mereka berdua sama-sama berjongkok di atas rerumputan.
"Ini pasti mahal ya, Pah." tanya Gifa ketika Papa Bilmar memasukan satu burung murai batu yang bercorak biru navy dan kuning.
"Papa enggak tau, Nak. Semua ini Mamanya Maura yang belikan. Papa hanya menyebutkan nama burung-burung yang Papa mau, nanti Mamamu tinggal pesan."
"Baik banget Mama sama Papa ya..."
Papa Bilmar tertawa pelan. "Maka dari itu Papa jadikan istri dan pendamping hidup."
Gifali tersenyum dan mengangguk. "Semoga kelak Maura bisa terus menjadi istri yang berbakti untuk kamu, Gifa. Jika suatu saat Maura akan menyakiti kamu baik dengan perkataan, sikap atau apapun. Tolong, jangan memarahi nya dengan permainan tangan. Papa pernah melakukan itu pada Mamamu, semua memang diluar kendali. Papa terlalu cemburu dan posesif kepada Mamamu. Tapi hal itu yang selalu membuat Papa menyesal sampai sekarang, karena wanita mudah memaafkan tapi tidak mudah untuk melupakan."
"Insya Allah, Pah. Gifa akan berusaha sekuat mungkin untuk menjaga Maura." Gifali menatap teduh wajah mertuanya. Seorang lelaki yang sudah membesarkan wanita yang ia cintai.
"Gifa janji sama Papa, akan bahagiakan Maura." sambungnya.
Papa Bilmar menepuk bahu Gifa.
"Iya, Nak. Papa percaya. Tapi ingat kalau kamu ingkar janji, Papa tidak akan tinggal diam. Mungkin, Papa akan ambil Maura dari tangan kamu!" terdengar tenang namun sedikit mengancam. Membuat bulu kuduk Gifali terasa meremang.
"Iya, Pah. Gifa janji."
"Oh di sini toh rupanya. Dicari-cari ke halaman depan enggak ada." suara Mama Alika terdengar dari belakang punggung mereka. Membuat dua lelaki ini menoleh dan mengulas senyum.
"Sini, sayang..." Papa Bilmar melambaikan tangan ketika istrinya masih terdiam di ambang pintu kebun. Mama Alika pun mengangguk dan menghampiri suaminya. Ia ikut berjongkok diantara mereka menatap sangkar burung yang kosong melompong.
"Burungnya belum dimasukin, Pah?" tanya Mama Alika menatap lurus kedalam sangkar.
"Enggak kok ini ad-----"
Suara Papa Bilmar terhenti ketika ia melihat burung murai yang baru saja ia masukan tadi sudah terbang tanpa mereka ketahui. Gifali pun terkejut. "Yah Pah, lepas!"
"Hah? Iya benar lepas, nih !" Papa Bilmar berdecak sedih. Ia meringis menatap istrinya. Gifa pun masih menatap ke dalam sangkar untuk mencari-cari keberadaan burung yang memang sudah tidak ada, lalu ia mendongakkan wajahnya ke pohon besar yang ada di sana.
"Wah itu Pah, burungnya!" Gifa menunjuk burung murai yang masih bertengger di sana.
"Panjat pohon sana! Itu burung mahal, Pah." Mama Alika mencebik sambil mencubit lengan suaminya. Ia pun bangkit berdiri lalu diikuti oleh Papa Bilmar dan Gifali.
"Kalau burungnya sudah dapat, baru boleh makan! Kalau enggak dapet juga, burung Papa aja sebagai gantinya untuk diam didalam sangkar." Mama Alika berdecak sebal. Ia pun memilih kembali ke dapur, dimana Maura masih berada di sana untuk memasak makan siang.
"Maafin Pah, Gifa nggak ngeh kalau burungnya udah terbang dari tadi." ucapnya ketika hendak menaiki pohon.
"Iya udah enggak apa-apa, yang penting kamu panjat pohon ini dan ambil lagi burung itu. Jangan sampai kita enggak dapat jatah makan siang, Gifa!"
"Iya, Pah. Sip."
Mertua dan menantu itu terlihat saling sibuk didekat pohon untuk mendapatkan burung itu kembali. Dari dalam dapur menghadap ke jendela luar, ada Maura dan Mama Alika yang sedang tertawa karena melihat kelakuan para suami mereka.
"Abisnya teledor, Kak. Biarin aja ya----"
"Iya, Mah, enggak apa-apa. Biar Gifa juga tau gimana susahnya memelihara burung, karena kemarin dia sempat nanya-nanya tentang hewan itu." Maura terkekeh begitu pun sang Mama.
****
Bayar aku dengan Like dan Komen dari kalian ya❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Fhebrie
rukun ya mertua sm menantu
2021-09-26
0
Nurshaleha Enuy
haduh gifa sama bilmar sama banget kaya bapak dan suami aku, urus burung juga apalagi kalo burungnya lepas
lari2 kaya orang kebakaran jenggot biar bisa ditangkap lagi
2021-07-23
0
Laras Kasih
Untung aja cuman disuruh diem dlm sangkar enggak sampe dipotong 😅😅😅
2021-02-10
1