Sampailah langkah kaki mereka di sebuah rumah susun yang tingginya hanya tiga lantai dengan enam kamar berjejer dalam satu lantainya. Kosan ini terlihat aman, nyaman dan asri. Banyak dipenuhi tanaman hijau yang membentang luas di taman yang melingkari rumah ini. Ada suara gemercik air dari kolam ikan yang berada disudut nya.
Lelaki khas berandalan itu memperlihatkan contoh kamar yang akan mereka tempati. Sayangnya kamar yang ia perlihatkan sudah ditempati, dan orang yang berada didalamnya hanya melongo takut.
Maura masih saja berfikiran jelek kepada lelaki itu, namun jika ia melihat keadaan kosan seperti ini. Prasangka buruknya sedikit memudar.
"Seperti ini contoh kamarnya yang akan ditempati. Kemungkinan letak kamarnya akan berada di lantai tiga." Lelaki itu menunjuk kearah atas. Maura dan Gifa mengikuti arah kemana telunjuk lelaki itu terhenti.
Gifali mengangguk. "Saya setuju, Pak."
"Kapan mau ditempati?" tanya lelaki itu, sambil terus melilirik Maura dari wajah sampai ke telapak kaki. Maura kembali mendelikan matanya karena tidak suka. Gifa pun mengetahui hal itu lalu berdehem untuk mengalihkan tatapan lelaki yang saat ini sedang ia ajak bicara.
"Kalau tidak malam ini, kemungkinan besok pagi." jawabnya.
"Tapi peraturan di sini, minimal membayar untuk tiga bulan."
"Ya, tidak masalah." jawab Gifa, lalu Maura menarik tubuh suaminya untuk sedikit menjauh dari lelaki itu.
"Kamu yakin mau bayar langsung tiga bulan sayang?"
"Iya, Ra. Bukannya beruntung ya, harga perbulan hanya tiga ratus ribu. Kamarnya cukup luas, jarak dari kampus kita juga tidak terlalu jauh. Lagian harganya masih murah dibandingkan beberapa kosan yang kita kelilingi tadi."
"Tapi, aku kok agak curiga sama dia ya."
"Tampilannya aja sayang, memang sedikit seram." Gifa sedikit tertawa. Tanpa lama-lama berdebat, akhirnya ia kembali menghampiri lelaki itu.
"Kalau jadi bisa dibayar sekarang. Nanti saya dan Ibu saya akan datang kesini untuk memberikan kalian kunci dan mengantar ke kamar."
Gifali pun mengangguk dan mulai mengeluarkan uang yang sudah mereka sepakati untuk membayar kosan tersebut.
Dengan senyuman sarkas, lelaki itu pun melangkahkan kakinya dengan cepat untuk berlalu meninggalkan mereka, sambil membawa uang dari Gifali. Entah mengapa perasaan Maura seperti tidak enak, ia masih saja tidak percaya dengan lelaki itu.
*****
Sudah satu jam Maura dan Gifa berdiri di halaman rumah susun ini. Maura sampai duduk diaspal halaman karena saking lelahnya untuk berdiri.
"Katanya ia akan kembali bersama ibunya, tapi kok sudah selama ini belum muncul juga ya, Ra" tanya Gifali yang mulai resah. Ia masih saja mondar-mandir, mengedarkan pandangan kemana saja untuk mencari penghuni kosan yang bisa ia tanya. Ingin ia mengetuk pintu satu persatu, tapi Maura melarangnya.
"Jangan ganggu mereka, siapa tau mereka sedang istirahat, sayang. Sabar lah dulu, kan kata kamu lelaki itu baik." Maura menepis kekhawatiran yang sedari tadi sudah membuncah dirinya. Namun untuk menenangkan hati suaminya yang sedang dilanda kecemasan, Maura harus bisa bersikap dengan kepala dingin.
Waktu pun terus berputar, tidak terasa langit yang sedari tadi biru, kini mulai berubah menjadi gelap. Wajah Maura dan Gifa terlihat semakin panik. Uang pembayaran kosan sudah lebih dulu dibawa oleh lelaki tidak bertanggung jawab itu. Sekarang Gifa tinggal merana, ia menyesal mengapa tidak mau mendengarkan perkataan istrinya terlebih dulu. Bukannya, firasat istri selalu benar?
"Kita balik aja ke hotel ya, kamu harus mandi dan makan sayang..." ucap Maura kepada Gifa dengan tatapan teduh. Ia berucap seperti orang yang sedang tidak merasakan masalah apa-apa. Ia hanya tidak ingin membuat Gifali merasa bersalah.
"Ra, kita di tipu ya. Tega sekali dia." ucap Gifali dengan wajah sedih. Lelaki itu bersedih kembali setelah ia gagal menenangkan beasiswa dan kini ditipu oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
"Maaf ya, Ra. Aku terlalu bodoh, begitu aja percaya. Tidak mau dengar kamu lebih dulu."
Maura mengusap lembut bahu suaminya dan tersenyum tipis.
"Udah nggak apa-apa, Gifa. Mungkin uang itu memang rezeki dia, kita sedekah kan saja."
"Tapi uang kita semakin menipis, Ra."
Maura terdiam sebentar seraya berfikir, lalu ia melirik cincin yang ia kenakan di jari manisnya.
"Kalau kepepet, mungkin aku akan menjualnya. Kalung dan gelang pemberian mahar dari Gifa juga masih bisa aku jual." batin Maura menyeruak.
"Udah kamu tenang aja, Allah pasti bantu kita, Gifa. Sekarang kita pulang ya, aku juga udah capek dan lapar."
Dengan berat hati Gifa pun mengangguk. Jauh didalam lubuk hatinya, ia masih menginginkan lelaki itu kembali untuk mempertanggung jawabkan ucapannya.
Gifali pun kembali melangkah dengan langkah pelan seperti tengah memikul beban yang berat. Ia tetap menggandeng tangan wanita yang mau hidup sulit dengannya.
"Kalian siapa? Ada perlu apa di sini?" ucap seorang wanita paru baya memakai kerudung panjang sepinggang, ditemani lelaki yang memakai baju koko dan kopiah, terlihat seumuran dengan wanita itu. Mereka baru saja masuk dari pintu gerbang dan mendapati Maura dan Gifa yang tengah berjalan menuju ke arahnya.
"Apakah Ibu dan Bapak tau dimana rumah pemilik kosan ini?"
"Saya dan suami saya pemiliknya, ada apa? Kalian mau ngekos?" tanya wanita itu.
Wajah Maura dan Gifa berbinar. Ia merasa keberuntungan kembali menjamah mereka yang hampir putus asa. Akhirnya Gifali menceritakan kronologis pertemuan dengan lelaki itu yang mengaku anak dari mereka berdua. Raut wajah Maura kembali menangkap kalau lelaki itu yang mereka sangka penipu, memang berbohong, tidak mungkin kan orang tuanya berpenampilan religi sementara anaknya seperti berandalan?
Sepasang mata wanita dan lelaki pemilik kosan itu fokus mendengarkan penjelasan dari Gifali yang membuat raut wajah mereka berbeda drastis.
"Tapi maaf, Nak..." Lelaki paru baya itu memotong penjelasan Gifali. "Kami tidak mempunyai anak lelaki seperti yang kamu pertanyakan, anak kami perempuan dan sudah meninggal dua tahun yang lalu."
"Hah?" desah Gifa dan Maura secara bersamaan. Mereka sama sekali tidak menyangka, kalau lelaki itu memang betul-betul penipu.
"Ya Allah, Ra. Kita benar di tipu." lirih Gifa menoleh ke arah istrinya yang masih diam mematung.
"Ya sudah nggak apa-apa, Gifa. Mungkin belum rezeki kita. Mari Bu, Pak, kami permisi. Maaf sudah masuk ke halaman rumah kalian tanpa ijin." Maura menggandeng tangan suaminya yang terasa mulai dingin. Mereka pun berlalu untuk melangkah menuju pintu gerbang.
"Kita makan dulu ya sayang, nanti kamu masuk angin. Nih, tangan kamu dingin begini!" ucap Maura terus membesarkan hati Gifa. Hati lelaki itu kembali redup, kata keberuntungan yang hampir hadir, begitu saja lenyap kembali dibawa angin gelap yang nestapa.
"Ya Allah, sebegini berat kah jalan yang harus kami lewati?" rintih Gifa dalam hatinya. Lalu ia kembali terbayang dengan wajah Mama dan Papanya di Indonesia. "Mah, Pah." lirih Gifali.
Lalu
Tak lama kemudian
"Tunggu, Nak!" suara itu membuat langkah Maura dan Gifa terhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang dan mendapati sepasang suami istri itu sedang memandang ke arah mereka dengan senyuman hangat.
*****
Yang paling aku senang itu baca komenan kalian, makanya jangan lupa komen ya----komennya yang lain ya selain kata lanjut😀😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Riska Wulandari
apa salahnya minta bantuan dari orang tua,,meskipun sudah menikah tapi kan masih kuliah & hidup d negeri orang..kalau ada bukankan itu juga rejeki kok malah mempersulit diri..
2021-12-17
0
Fhebrie
susah gpp thor asal jngn ada pelakor sj ya
2021-09-26
0
Lismanita Adam
mulai kehidupan baru,,,semoga gifa dan maura semakin waspada dan dewasa😘😘👍
2021-09-20
0