Semua anggota kini mulai menunggu di ruang tamu utama. Akari sedang diperiksa oleh Hema di kamarnya. Artemis yang terduduk di sofa mulai cemas matanya mulai berkaca-kaca, hatinya begitu tidak menentu akan kondisi kakeknya. Melihat gerak-gerik adiknya yang begitu cemas, Arguro mengusap lembut pipi chubby Artemis.
"Tidak apa, Kakek akan baik-baik saja. Paman adalah dokter terbaik." Arguro memeluk Artemis untuk menenangkannya.
Gema langkah kaki terdengar dari luar ruang tamu utama. Semua anggota keluarga langsung memandang ke arah suara itu. Tak lama Hema terlihat, suara langkah itu darinya. Wajah Hema begitu semrawut, dia mencoba menenggelamkan dirinya dalam sofa. Senggalan nafas panjang keluar begitu kasar. Semua orang disana merasa tegang dengan ekspresi Hema yang penuh tekanan.
"Kakek tidak apa, dia baik-baik saja," ucap Hema menenangkan Artemis yang terlihat cemas. Semua yang di sana bernafas lega.
"Apa itu, ekspresi wajahmu tidak sesuai dengan apa yang akan kau ungkapkan," ketus Leta memukul pundak Hema begitu keras membuat Hema tersentak kesakitan.
"Kakek bilang kalian boleh pulang, kecuali Lumi." Hema memandang Lumi yang berdiri di sudut perapian. Tidak hanya Hema tapi yang lain pun menatap heran dan terkejut.
Kenapa hanya Lumi?
Lumi yang mendapat tatapan itu hanya menghela nafas, dia tidak merespon apa pun. Lumi berjalan begitu santai mengabaikan tatapan mereka dan membaringkan dirinya di sofa panjang. Hema mengerti, tindakan Lumi dia anggap sebagai jawaban setuju.
"Tunggu kenapa hanya anak ini yang di sini?" Leta memberontak.
"Berhentilah Leta, biarkan Ayah ingin berbicara dengannya. Tadi sudah cukup kacau, jangan memperpanjang kembali," tegas Piter mencoba memberi saran kepada Leta.
Wajah Leta masih terlihat kesal namun, dia paham dan langsung bungkam.
Arguro yang memahami situasi sekarang dengan cepat dia berdiri dan memegang tangan Artemis. Artemis yang mengetahui itu mengerti. Dengan cepat Artemis mengambil tasnya dan berdiri. Tanpa basa-basi Arguro dan Artemis meninggalkan ruang tamu utama. Begitu juga dengan Ibu dan ayahnya ikut mengiringi.
Hanya sisa Hema dan Lumi. Lumi yang terbaring di sofa dengan lengan kirinya menutup kedua matanya. Hanya hidung mancung dan bibir tebal yang terlihat. Badannya sangatlah bidang ketika kancing kemeja atas terbuka 3 kancing. Hema baru menyadari bahwa Lumi kini sudah sebesar ini dan juga semenakutkan itu. Melihat kejadian tadi Hema merasa tidak akan macam-macam pada Lumi. Bulu kuduknya merinding seketika.
"Kau tidak pergi?" Hema terkejut, rasanya seperti ada jentikan pada matanya.
"Tidak, Kakak masih tetap di sini sampai Kakek terbangun," jawab Hema.
"Terserah."
Hema hanya tersenyum lembut sembari menatap Lumi yang terbaring.
"Hei, berhentilah menatapku! Aku benci, biarkan aku sendiri," gerutu Lumi yang berhasil mengukir senyum jahil pada Hema.
Hema mulai menghampiri Lumi yang sedang berbaring dengan ide jahilnya. Baru saja dia berpikir Lumi menakutkan tapi entah kenapa dirinya tidak bisa membiarkan Lumi yang begitu dingin hidup tanpa ada candaan.
"Apakah kau lelah sayang?" Kalimat itu terucap bersamaan dengan tangannya yang mengusap dada bidang Lumi.
Lumi yang merasakan sensasi itu langsung terbangun dengan bulu kuduknya yang sudah berdiri. Secepat kilat Lumi menjauhkan dirinya dari Hema. Hema hanya tersenyum geli melihat Lumi seperti kucing yang melihat musuhnya.
"Ayolah! Aku hanya penasaran dengan dada bidangmu itu. Itu terlihat luar biasa." Wajah Lumi seketika suram mendengarnya rasanya ingin muntah. Mulutnya hanya bisa ternganga tak percaya. Lumi dengan cepat mengancingkan bajunya.
"Kau gila bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kelainan seksual ya Kau? Makannya cepat nikah sana! Dasar Gay," gerutu Lumi pada Hema.
"Oh satu lagi berhenti menyebut "Kakak" kau bukan kakakku, jijik aku mendengarnya," omel Lumi yang membuat Hema semakin ingin menjahilinya.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" ucap Lumi menyidik aneh Hema.
"Jangan pernah kau berpikir untuk mendekat." Tunjuk Lumi penuh waspada, matanya tajam penuh kekhawatiran akan Hema dan ide gilanya.
Mata Hema yang seperti melihat mangsa membuat Lumi ketakutan. Lumi kini seperti kucing yang mendesis melihat musuh. Ancang-ancang Hema siap menerkam Lumi. Sementara Lumi bersiap - siap untuk kabur dari Hema.
1, 2, 3, ..... Hap!
Lumi diterkam Hema dan pingsan mengenaskan di tempat.
......................
Waktu sudah menunjukkan jam 3 pagi. Lumi merasa berat pada pinggangnya. Setelah dia telaah begitu terkejutnya Lumi melihat Hema yang tidur memeluk pinggangnya. Lingkaran loading kini berputar di kepala Lumi.
"Jadi semalam kita tidur berpelukan." Seketika sekujur tubuh Lumi merinding, lalu dia menendang pamannya itu dari atas kasur.
Bughh!
Hema terjatuh begitu keras, tapi dia tetap tidur. Itu menambah keanehan pamannya dalam list Lumi. Setelah melihat pamannya yang tersungkur, dari ambang pintu Kakek sudah memperhatikan Lumi. Lumi sedikit terkejut, mata Lumi kembali dingin dan datar.
......................
Begitu banyak rak buku dan juga berkas di sini. Tepat di ujung di samping jendela Kakek sedang duduk di kursinya. Ruang kerja atau ruang pribadi Kakek, kini Lumi saling berhadapan dengan Kakek yang duduk di kursi.
"Aku tidak mau." Satu kalimat meluncur begitu mulus dari mulut Lumi secara langsung.
"Tapi kau harus," tegas Akari.
"Kenapa aku? Berikan saja semua pada Wanita Tua itu, Aku tidak mau menerima ini," tolak Lumi tegas tanpa mengurangi sikap sopan dan hormat pada kakeknya. Dibalik itu hatinya begitu benci dengan pemaksaan kakeknya.
"Kau tidak bisa menolaknya, ini adalah takdirmu, kau harus terima itu. Kau adalah cucu pertamaku dan anak semata wayang Ares," jelas Akari pada cucu kebanggaannya dan memang sudah dia pilih sedari awal.
"Lalu, apa hubungannya, masih ada yang lain yang lebih baik. Dan —"
"Lumi.... hanya kau yang pantas menduduki tempat ini, kau mewarisi darah Ayah dan ibumu. Bukan karena faktor darah daging, tapi kau memiliki yang disebut dengan seorang pemimpin dalam dirimu. Apakah kau tidak mau membuktikan bahwa kau adalah Anak terbaik dari orang tuamu?" Lumi seketika terdiam mendengar hal itu.
"Apa kau tidak mau melanjutkan usaha ayahmu yang begitu berdarah-darah memimpin perusahaan?" Wajah tegas itu mulai runtuh akan penolakannya, Lumi memalingkan wajahnya penuh kebimbangan.
"Ada atau tidak ayahmu, kau tetap akan mewarisinya tidak ada kata mustahil untukmu."
"Bukan kakek ingin menambah kekayaan tapi, jika perusahaan yang begitu besar ini berada ditangan yang salah, kau pikir berapa ribu mungkin juta pekerja yang akan menganggur." Mata Lumi tertegun mendengar hal itu yang dia anggap memang benar, tapi haruskah dirinya yang menjadi tumbal.
"Jika kau sayang dan menghormati orang tuamu, lanjutkan kembali apa yang telah Ares perjuangkan, kedua orang tuamu meninggal karena mempertahankan perusahaan agar tidak jatuh pada tangan yang salah."
Akari tahu kelemahan Lumi hanya pada orang tuanya. Terpaksa dia harus melakukan hal itu, karena hanya Lumi yang pantas meneruskan perusahaan ini.
"Apakah Kakek sedang mempermainkanku?" Wajah Lumi seketika terlihat sedih memikirkan apa yang kakeknya tuturkan memang benar meskipun itu adalah sebuah jebakan untuk dirinya.
"Kakek tidak mempermainkanmu. Ini adalah takdir yang kau miliki, sudah menjadi ikatan antara orang tuamu. Kau harus bisa bertanggung jawab seperti ayahmu. Kau harus memperbaiki kekosongan setelah ayahmu tiada. Kau harus menggantikannya. Buktikan kau adalah keturunannya yang membanggakan. Apakah kau tahu ayahmu selalu bangga padamu. Sekarang kau mencoba untuk kabur hanya karena kehangatan hilang dari dirimu. Kau tidak tahu seberapa gelap dunia yang ayahmu tempuh. Kau mewarisi kepintaran ayahmu dan kau menyia-nyiakan itu. Kau sama saja meruntuhkan kerja keras ayahmu."
Wajah datar dan kebingungan terlukis pada Lumi. Pikirannya begitu berkecamuk dengan kalimat yang ingin dia tolak.
"Buktikan pada bibimu kau mampu dan mungkin kau akan tahu bagaimana ayahmu meninggal....," ucap Akari yang mulai melangkah mendekati cucunya yang begitu kebingungan.
"atau mungkin kau tahu orang tuamu meninggal oleh siapa, tidak inginkah dirimu membalaskannya," bisikan Kakek pada telinga Lumi membuat sekujur tubuhnya gemetar. Sekelibat petir menyambar otaknya. Kewarasan Lumi sedang di pertahankan.
"Pikirkanlah!" Kakek pun pergi melenggang keluar meninggalkan Lumi sendirian.
Rasa sesak kini mulai mencekik Lumi. Perasaan terdesak dan jantung berdebar-debar membuat Lumi terduduk. Nafas Lumi terpenggal-penggal. Lumi mulai terduduk lemas, tangannya terus meremas dadanya mencoba untuk menenangkan diri. Selain itu Lumi pun mencoba merapihkan benang-benang kusut dalam pikirannya. Lumi takut gila, dia berjuang mempertahankan kewarasannya. Matanya yang basah menahan sakit sesak. Lumi mencoba tenang. Dia mulai menarik nafas perlahan. Keinginan yang tidak pernah Lumi inginkan itu mencekik dirinya dan mendorongnya untuk memikirkannya.
Lumi yang malang sendiri dalam kesakitan dan mencoba menyembuhkan lukanya sendiri. Butuh waktu 30 menit untuk Lumi membenahi benang yang kusut dalam pikirannya dan menerima dirinya sebagai pemimpin perusahaan yang membawa trauma pada dirinya. Lemas pada tubuhnya masih mampu menopang dirinya untuk berjalan.
...Takdir ini seperti belenggu pada tanganku. Aku...
...terpenjara di dalamnya. Tak bisakah kau melepaskanku. Tidak ada hangat yang menemaniku....
...Apakah ini hadiah yang kau maksud?...
...Hadiah ini seperti hukuman bagiku....
...Apakah Ayah dan Ibu mengharapkan anakmu seperti ini?...
...Bahkan hal itu tidak bisa kutanyakan pada kalian....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Kakak Author
wow.hangat ngak.pelukanya !/Pray//Facepalm//Facepalm//Ok/
2025-03-11
1
Iris
Aku juga loh pengen lihat dada bidangnya /Sweat/
2025-03-16
1
FT. Zira
jangan.. nanti mataku ternoda🫣🫣/Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2025-02-23
0