BAB 1 - Warm to Dark

Hangat dan terang, sensasi yang tak pernah benar-benar dirasakan sebelumnya — pernah menaungi, Namun — sudah lama hilang. Dingin dan gelap, tidak pernah semerangkak ini menerkam. Kekuasaan, kepemimpinan, validasi, dan ketenaran, semua itu didapatkan melewati banyak ranjau yang bertebaran.

Kini, ranjau itu semakin menyebar, tumbuh ke tingkat yang lebih tinggi, seiring kemampuan yang juga meningkat, memuncak dan kuat. Semua luka dan jebakan itu sudah menjadi santapan kesehariannya —ditelan dengan perih, hingga berdarah-darah. Rasa sakit pun, tak lagi bisa dirasakan.

Ternyata, kehidupan monokrom yang dulu nampak membosankan — dirasakan dalam keseharian — ternyata jauh lebih baik dari yang terkira dan dipikirkan.

Benang takdir yang merentang begitu panjang, menjulur dari masa lalu ke masa sekarang. Mari kita tarik sejenak benang itu, menuju tiga tahun yang lalu — sebelum segalanya berubah dan semua dia dapatkan.

.

.

.

Kala itu — sinar matahari yang cerah menembus jendela kaca yang begitu besar. Menghadirkan kehangatan dan terang lembut yang sederhana. Dimana dia terduduk sendirian di meja besar itu, ditemani para pelayan yang siap menyediakan kebutuhannya. Sebuah kehidupan dalam hangat yang masih terasa, walaupun dingin lebih mendominasi akan kehilangan — memberikan kekosongan, menghadirkan kesepian pada dunianya yang sekarang monokrom.

" Selamat pagi Tuan. Hari ini Tuan memiliki jadwal makan malam keluarga," ucap seorang pria paruh baya yang tak lain adalah asisten pribadinya — atau yang lebih dikenal oleh para pelayan sebagai wakil kepala pelayan di rumah tersebut.

Mug besar berwarna putih, dengan dua lengan cangkir terisi berwarna cairan putih kecoklatan yang begitu light. Kental dan begitu lembut, dengan serpihan potongan jamur yang rimbun di dalamnya. Sebagai pemanis, potongan parsley berwarna hijau yang kecil bertaburan di permukaannya. Mushroom soup yang creamy menemani paginya, ditemani roti garing terlumuri butter. Garing dan basah karena tercelup kedalam soup — begitu gurih, renyah dan ringan di mulut.

"Jam berapa?" tanya pria berpakaian santai yang sedang duduk menikmati sarapannya.

"Tepat jam 7 malam," jawab sang asisten.

Pria itu hanya memicingkan mata, lalu kembali menyantap makanannya tanpa bertanya lebih lanjut.

"Jadi untuk hari ini, Tuan harus mengosongkan jadwal," ucap Pak Diar, tenang, lembut namun tegas — meski dia tahu sarannya kerap diabaikan.

"Kau tahu hari ini aku tidak memiliki jadwal apapun, apa yang harus aku kosongkan," sahutnya, seraya tersenyum miring, nyaris mengejek.

"Meskipun tidak ada, Tuan selalu menghindari acara keluarga dan memilih pergi bermain — menghabiskan waktu dengan teman Anda. Jadi, saya sarankan.... lebih baik jika Tuan meluangkan waktu malam ini."

Makanan yang sedari tadi terasa lezat dalam mulutnya, perlahan menghambar — lidahnya tidak lagi berselera. Wajah dingin pria itu tetap datar, tapi matanya berubah — menampakkan ketidaknyamanan. Perasaannya turun drastis. Berat, dia meletakkan pelan sendok makannya. Bibirnya yang tebal dan seksi menghembuskan nafas kasar.

"Tentu saja, Pak Diar. Saya akan meluangkan waktu saya yang.... sangat tidak bermanfaat, bukan?" Senyum sinis mengembang, menusuk dalam diam —terlontar begitu saja kepada Pak Diar yang sudah bersabar untuk merayu tuannya.

"Apakah ini masalah tentang diriku yang selalu melakukan hal tidak berguna?" lanjutnya, sedikit tajam.

Pak Diar tak langsung menjawab, lidahnya awas akan kata-kata yang terucap. Dia terdiam sejenak, lalu menatap tuannya dengan tenang. Sebagai pelayan yang sudah menjaga tuannya sejak kecil — seperti kaca bening, tidak ada yang bisa disembunyikan. Tidak guna berbohong untuk menjaga perasaan, itu hanya memperpanjang luka yang sama.

"Untuk itu saya kurang tahu, Tuan. Tapi saya yakin, Tuan pasti bisa menebaknya sendiri. Mungkin.... malam ini, Tuan Besar akan membicarakan hal yang penting untuk Tuan Muda."

Seringai tipis terlihat pada wajah tegas pria tersebut. Tanpa menghabiskan sisa sarapannya, dia bangkit dari kursi. Langkahnya menjauh. Namun, sebelum pergi dia menoleh sejenak memandang Pak Diar.

"Kalau begitu hari ini aku akan bermain lebih awal," ucapnya, mata biru itu tersenyum tulus — sedikit remeh, sebelum berbalik melangkah lanjut.

Pak Diar menunduk hormat. Tak satu pun dari mereka berkata lagi.

Tangan yang menjulur ke atas melambai begitu lepas tanpa beban, meninggalkan Pak Diar yang menatap sendu punggung tuannya. Begitu khawatir dan penuh harap akan keseharian tuannya yang semoga berjalan penuh kebahagiaan. Senyum yang terulas dari terpaan cobaan yang menimpa tuannya begitu palsu.

.

.

.

.

.

Kepalanya menengadah. Cerahnya langit biru yang kuat, membuat matanya harus mengurangi intensitas cahaya yang masuk. Kelopak matanya menurun, nyaris rapat — mempersempit ruang penglihatannya. Tapi, itu tak membuat dia enggan untuk menatap langit biru dengan cahayanya yang terik, menyilaukan — tentu saja biru yang terhampar itu begitu indah dan cemerlang. Poin utama akan kukuhnya dia memandang langit.

"Waaah bukankah cuacanya begitu bagus," ungkap pria tersebut bersandar pada pintu mobil sport berwarna putih.

"Haruskah kubeli es krim?" terkanya kepalanya miring menengadah ke langit.

"Tentu saja Lumi...." Senyuman nakal diiring pekikan ketawa seraya tangannya mulai membuka pintu mobil.

"Let's Go!" Lumi pun melaju dengan mobil sport putih kesayangannya.

......................

Matahari tepat berada di atas puncak. Panas menyengat, menjalar, membakar kulit. Keringat bercucuran membasahi tubuh mereka. Meski begitu, keenam pria yang terbagi menjadi dua tim — tetap cekatan dan aktif bergerak di atas lapangan basket. Keseriusan dalam kenikmatan, serunya bermain — menghalau semua ketidaknyamanan yang menyergap tubuhnya — lengket, basah dan bau matahari. Bola terus berpindah tangan, lemparan demi lemparan terus menghantam ring basket.

"Lumi lempar kesini!" Lumi pun melempar bola tersebut dengan sigap, saat teriakan tertuju padanya.

Teriakan para wanita di pinggir lapangan mulai terdengar semakin keras dan nyaring, jauh lebih riuh dibanding beberapa menit sebelumnya. Kerumunan kaum hawa mulai mengerubungi, layaknya surat kabar yang tersebar — desas-desusnya mereka menarik perhatian yang lain untuk menengok.

Semula mereka hanya berjalan-jalan santai di taman, tiba-tiba melihat pemandangan yang memanjakan mata dan tentu juga memikat hati mereka. Langkahnya terhenti, berjalan mengikuti rasa penasaran yang menggoda untuk melihat lebih dekat — tak tertahankan dan tidak bisa dilewatkan.

Tinggi badan yang semampai — dan tubuhnya yang atletis membuat para kaum hawa tak pernah lepas menatap. Keseriusan mereka dalam bermain begitu menambah ketampanan mereka yang berkarakter. Tubuh yang melompat, berlari penuh semangat — setiap bola yang menghantam, menembus ring basket disambut sorakan riuh kegirangan.

Bukan hanya akan poin semata yang tercetak, tapi jeritan kegirangan itu — ada hal lain yang mereka kagumi. Sebuah pertunjukan tak resmi yang begitu memanjakan hati.

Dibawah sinar matahari yang membakar, begitu juga semangatnya. Cahaya terang alami darinya, nampak bersinar menyoroti mereka — seperti bintang di atas panggung. Begitu memukau pesona mereka saat bermain. Keringat yang bercucuran berjatuhan saat tubuh itu bergerak begitu gesit. Teriakan dan degup jantung yang bersemangat riang, kala bagian perut mereka tersibak, menampilkan kotak - kotak yang melekuk begitu indah dan menggoda. Para wanita begitu terbakar haus akan hasrat.

Namun di antara mereka, satu sosok paling mencolok—Lumi.

Lumi merupakan topik perbincangan yang pertama — ketika mereka menonton permainan bola basket. Di antara pria tampan, dia yang paling bersinar dan berkharisma memikat kupu-kupu dalam pesonanya. Panas matahari tidak sepanas Lumi yang bermandikan keringat. Mencetak lekukan tubuh pada pakaiannya yang basah. Gerakannya anggun namun, kuat. Tatapannya yang menajam kala fokus, menghipnotis mereka dalam tindakannya. Tak butuh waktu lama bagi Lumi untuk mendapatkan semua perhatian — akhirnya tertuju padanya.

Mereka dibuat pusing dan meleleh oleh Lumi pada siang bolong memanas dan menggairahkan.

Keringat yang melewati pelipis wajahnya yang nampak begitu halus dan cerah. Wajah tegas yang tak pernah kehilangan fokusnya — menikmati bermain basket, membuat hati tertegun tanpa kata — seolah waktu melambat setiap kali memandang Lumi. Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat begitu gagah dan rupawan hanya karena bermain basket.

Rambut yang basah dan tidak karuan tidak mengurangi ketampanannya. Justru itu mempertegas akan semua hal alami, tentang ketampanannya. Bajunya yang basah akibat keringat menambah aura panas yang menggoda. Begitu sexy dan kuat.

Hingga antusiasme dan hati yang berdebar-debar dirasakan para wanita tersebut — ada yang tersipu, ada yang menatap tanpa berkedip, dan ada pula yang tanpa sadar menggigit bibir — menahan sesuatu yang membara. Mereka tak mendukung siapapun dari mereka sepanjang permainan. Mereka berteriak hanya karena kepuasan hati mereka akan tontonan yang memberikan luapan cinta.

Prrriiiiiiit....

Alarm waktu dari ponsel berbunyi. Waktu habis. Teriakan penonton bersorak riang dengan tim pemenang. Tim Lumi menang. Lumi dan tim besorak gembira. Para wanita pun bertepuk tangan.

"Ayo istirahat sebentar, kita beli minum!" ungkap salah satu teman Lumi.

"Siap Bos! Ayo!" sahut teman Lumi yang lain.

Saat mereka berdua hendak pergi, tiba-tiba wanita yang menonton sedari tadi — sedikit demi sedikit menghampiri mereka. Langkahnya begitu ragu dan malu-malu.

"Kak, tolong ambil minumannya." Minuman itu tersodor dari masing-masing tangan tiga wanita tersebut.

"Oh terima kasih. Kami terima dengan senang hati," ucapnya bibirnya merekah sempurna seperti kue dalam open, senyum hangat yang tersuguhkan pada mereka — memeberi ilusi sorot lampu bintang utama dengan bingkai bunga-bunga segar di sekelilingnya.

Tiga wanita itu hampir lemas, berteriak kegirangan.

"Selamat tinggal! Kalian semua tampan!" puji keras beberapa wanita tersebut sembari pergi meninggalkan mereka.

Hati yang sempat bersyukur dan beruntung mendapatkan minuman gratis, mendadak tercekat oleh keterkejutan yang datang tiba-tiba. Fokus pada botol minum yang dia genggam — pandangan yang beralih ke depan. Ternyata tidak hanya mereka. Kerumunan kaum dengan keanekaragaman gaya rambutnya. Beberapa wanita berdiri tak jauh, masing-masing dengan sebotol minuman di tangan — siap menghujani mereka. Mata mereka menyala, penuh harap dan senyum kegirangan.

Lumi dan teman-temannya hanya bisa terpaku. Senyum mereka kaku, seperti dipahat paksa. Tak ada satu pun yang mampu berkata-kata.

.

.

.

.

.

Botol demi botol berpindah tangan. Tidak terhitung, tangan mereka terus terulur menerima semua minuman tersebut. Setiap botol datang, dengan senyuman dan harapan. Harapan si pemberi agar mereka meminumnya dengan bahagia. Sementara, kala botol itu beralih dengan balasan senyum serupa — dibalik itu si penerima menginginkan ini cepat berakhir.

Lemas pada tangannya mulai mereka rasakan seiring penerimaan. Tangan yang bersemangat melempar bola beberapa menit yang lalu — harus di hantam lanjut menerima botol minum. Hati kecil mereka menangis protes, menahan lemasnya tubuh yang ingin ambruk. Pipi mereka sudah mulai lelah dan kaku akan senyum beban moral yang terus melengkung mencoba tulus. Ucapan terimakasih terus berulang seperti kaset rusak, membuat tenggorokan mereka mulai terasa kering.

Waktu istirahat mereka tertunda begitu lama, melewati yang di jadwalkan.

"Terima kasih." Tangan Lumi menerima hangat minuman itu.

"Itu yang terakhir sepertinya," sahut teman Lumi tak jauh darinya — yang tengah duduk di lantai lapangan basket.

"Iya nih." Lumi menghampiri temannya dan menaruh minuman itu dengan minuman yang lain.

Berbagai jenis merk minuman terkumpul menjadi satu. Tersusun asal berdiri di hamparan lapangan basket. Begitu banyak seperti merayakan pesta. Mereka hanya bisa menatap kosong dengan hati yang terperangah melihat minuman di bawah sana.

"LARRRISSS MANIIIIS! Makasih anak muda sudah bermain disini!" Teriak sang pedagang minuman akan jualannya yang habis terjual. Puluhan uang yang membentuk kipas itu dia kibas-kibas, menikmati hasil jualannya seraya meninggalkan taman.

Lumi dan teman-temannya hanya saling melirik melihat pedagang itu mulai pergi menjauh dengan raut wajah bahagia.

"SEMOGA SUKSES SELALU!" teriak Hans sambil melambai.

"Waaaah.... bisa kembung kita kalau begini," celetuk salah satu teman Lumi melihat botol minum yang berjejer dipermukaan lapangan.

"Iya bisa kembung tinggal lo tambahin ikan jadi akuarium diperut lo," canda Lumi diiringi tawa teman yang lain.

"Segini banyak mau di apain?"

"Di jual aja," ujar Yuri.

"Ya sudah, lu yang jual gue siapin topi sama kotak buat lu keliling nanti kasih ke gua setorannya."

"Enak di lu gak enak di gue sialan lu," tukas Yuri.

"Tapi kita minum sebanyak ini gak jadi mermaid kan?"

"Alaaaah kaki lu buluk!" sahut mereka bersamaan sambil tertawa dan melempar botol minum kearah Hans.

"Kalau Dugong cocok sih hahahaha.... " Jari tengah muncul akibatnya.

"Tapi kita hebat menggabungkan berbagai merk minuman menjadi satu," ujarnya seraya tertawa terbahak-bahak.

"Harusnya kita jadi BA sih," ucap Hans yang segera meraih salah satu minuman di bawah sana.

"Bawa aja sebagian," saran Lumi pada teman-teman.

Mereka menyetujui saran tersebut dan mulai mengambil satu per satu. Kecuali Lumi, Lumi hanya meminum 2 dan tidak ikut mengambil.

"Lu gak mau bawa satu Mimi?" Satu tepukan keras melayang pada Yuri yang membuatnya kesakitan.

"Berhenti sebut gue Mimi!" Lumi mulai merangkul keras leher Yuri yang membuat dia sesak nafas. Teman yang lain hanya tertawa melihatnya.

"Setidaknya ambil satu lah ....." Ada jeda dalam kalimatnya, diraih lah tangan kiri Lumi yang membuat kekangannya lepas pada Yuri. "Lulu Hahahaha...." Dikta pun segera menjauh dari Lumi yang mulai mengamuk dan mengincar dirinya.

Tawa bahagia dengan kehangatan yang mengalir begitu alami tak ternilai kenangannya. Panasnya matahari dengan langit biru yang begitu terang begitu menyilaukan. Silau terik keemasan menyinari mereka yang membuat silau itu indah dan menyatu dengan suasana kebersamaan yang begitu panas dan membara akan masa muda.

Hingga terik mulai sedikit meredup namun terang masih di rasakan. Waktu menuju lembayung senja mulai terlihat datang menghampiri, menjalar mewarnai langit yang mulai meredup biru mudanya. Angin sejuk khas sore hari berhembus menyergap mereka.

Waktu berlalu begitu cepat. Wajah berseri perlahan menyurut, kala netranya mendapati Pak Diar sudah menantinya dari kejauhan. Melihat Pak Diar dari sebrang taman, teman Lumi langsung mengerti. Lumi pun bergegas berpamitan, meninggalkan wajah hangat sahabatnya.

Acara makan keluarga telah menantinya.

Dinner yang tidak menyenangkan.

Terpopuler

Comments

florenna

florenna

emang ya kalo ngeliat cowok2 ganteng tuh bawaannya excited hahahaha

2025-03-02

1

Diana (ig Diana_didi1324)

Diana (ig Diana_didi1324)

wkwkwk ngakak bacanya, kalau jadi marmide bneran gmn ya? ada2 aja

2025-02-20

1

Author15🦋

Author15🦋

waduh waduh gak dosa ni gue bayaginnya wkwk

2025-03-19

1

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 BAB 1 - Warm to Dark
3 Bab 2 - Berkumpulnya Darah Pewaris (Blue Blood)
4 BAB 3 - Dark Begin
5 BAB 4 - Kekacauan
6 BAB 5 - GIFT = PUNISHMENT
7 BAB 6 - Sesuatu yang asing
8 BAB 7 - Sial
9 BAB 8 - Fight
10 BAB 9 - Tawaran
11 BAB 10 - Penerimaan yang tidak mudah
12 BAB 11 - Kerja hari pertama
13 BAB 12 - Tentangnya
14 BAB 13 - Tentangnya (Tertutup)
15 BAB 14 - Past in a Dream : The Real Darkness
16 BAB 15 - Rencana
17 BAB 16 - Rencana Gagal
18 BAB 17 - Serigala bermulut Bebek
19 BAB 18 - Caddy Golf
20 BAB 19 - First
21 BAB 20 - Arum Dalu
22 BAB 21 - Flashback : Tidak Ada Perubahan
23 BAB 22 - Past in a Dream : Gerimis Cerah
24 BAB 23 - Biarkan tetap seperti itu
25 BAB 24 - Genggaman pelipur
26 BAB 25 - Rest
27 BAB 26 - Berkunjung
28 BAB 27 - Problem : Solution no, Take it back
29 BAB 28 - Gaslighting
30 BAB 29 - Kecewa
31 BAB 30 - Neck
32 BAB 31 - Look Before your Leap
33 BAB 32 - Kesalahan panggilan yang tidak buruk
34 BAB 33 - Bekas tidak terlihat
35 BAB 34 - Gosip
36 BAB 35 - Garis Pertemanan
37 BAB 36 - Ceroboh & Secarik Kertas
38 BAB 37 - Masalah Selesai
39 BAB 38 - Cross the Line
40 BAB 39 - Membangun Chemistry
41 BAB 40 - Something
42 BAB 41 - Something part.1
43 BAB 42 - Confess, to The Point
44 BAB 43 - Meeting : Replacement
45 BAB 44 - Before Accident : Tikam & Kesepakatan
46 BAB 45 - Persikukuh
47 BAB 46 - Past in a Dream
48 BAB 47 - Konferensi Pers
49 BAB 48 - Bertambah
50 BAB 49 - Rekaman CCTV
51 BAB 50 - Jatuh kesekian kalinya
52 BAB 51 - Cemburu yang Tidak Dia ketahui
53 BAB 52 - Hema dan Janjinya
54 BAB 53 - Budak Tawanan
55 BAB 54 - Ayo bermain!
56 BAB 55 - Flashback : Dewi Iustitia not here
57 BAB 56 - Flashback : Mudah
58 BAB 57 - Flashback : Kemalangan yang memuakan
59 BAB 58 - Flashback : Kemalangan dan Tangisan
60 BAB 59 - Flashback : Kemalangan Perlawanan
61 BAB 60 - Mencari Perhatian
62 BAB 61 - Pengabaian
63 BAB 62 - Ajakan
64 BAB 63 - Makan lalu menghilang
65 BAB 64 - Menghilangkan Rasa Gusar
66 BAB 65 - Mie pedas & Kiss
67 BAB 66 - Jawaban yang tampak benar
68 BAB 67 - Untuk Hari ini saja
69 BAB 68 - Kelajuan penuh
70 BAB 69 - Menerima namun membebani
71 BAB 70 - Perbedaan yang Menyatu
72 BAB 71 - Keinginan
73 BAB 72 - Before, Lana POV : Tidaklah Penting
74 BAB 73 - Patuh
75 BAB 74 - Panic Attack
76 BAB 75 - Past in a Dream & Cinta = Melepaskan
77 BAB 76 - To Flashback : Dua Wanita Tangguh
78 BAB 77 - Flashback : Dua Wanita Tangguh part. II
79 BAB 78 - Past in a Dream : Pesan Terakhir_ POV Lana
80 79 - Keberhasilan = Overthinking
81 BAB 80 - Benih dalam lapisan es
82 BAB 81 - Tenggelam
83 BAB 82 - Swimming pool_Perdebatan
84 BAB 83 - Irasional & Cemburu
85 BAB 84 - New in their Hearts
86 BAB 85 - Sama dan Mimpi
87 BAB 86 - Kencan?
88 BAB 87 - Alasan Ketergesaan
89 BAB 88 - Nevermind
90 BAB 89 - Kualifikasi
91 BAB 90 - Tenang membawa cerita lama
92 BAB 91 - Terbiasa
93 BAB 92 - Pulang
94 BAB 93 - Yuri dengan pikirannya
95 BAB 94 - Bimbang akan Fakta
96 BAB 95 - Es batu
97 BAB 96 - Punggung yang menjauh
98 BAB 97 - Telapak tangan yang luas dan tulus
99 BAB 98 - Pesta Peluncuran
100 BAB 99 - Bualan oleh Si Merah Cabe
101 BAB 100 - Posisi Terinjak
102 BAB 101 - Masih berlanjut
103 BAB 102 - Akhir percakapan
104 BAB 103 - Benci menyimpan Ruang Pengertian
105 BAB 104 - Tak ingin mengakui
Episodes

Updated 105 Episodes

1
Prolog
2
BAB 1 - Warm to Dark
3
Bab 2 - Berkumpulnya Darah Pewaris (Blue Blood)
4
BAB 3 - Dark Begin
5
BAB 4 - Kekacauan
6
BAB 5 - GIFT = PUNISHMENT
7
BAB 6 - Sesuatu yang asing
8
BAB 7 - Sial
9
BAB 8 - Fight
10
BAB 9 - Tawaran
11
BAB 10 - Penerimaan yang tidak mudah
12
BAB 11 - Kerja hari pertama
13
BAB 12 - Tentangnya
14
BAB 13 - Tentangnya (Tertutup)
15
BAB 14 - Past in a Dream : The Real Darkness
16
BAB 15 - Rencana
17
BAB 16 - Rencana Gagal
18
BAB 17 - Serigala bermulut Bebek
19
BAB 18 - Caddy Golf
20
BAB 19 - First
21
BAB 20 - Arum Dalu
22
BAB 21 - Flashback : Tidak Ada Perubahan
23
BAB 22 - Past in a Dream : Gerimis Cerah
24
BAB 23 - Biarkan tetap seperti itu
25
BAB 24 - Genggaman pelipur
26
BAB 25 - Rest
27
BAB 26 - Berkunjung
28
BAB 27 - Problem : Solution no, Take it back
29
BAB 28 - Gaslighting
30
BAB 29 - Kecewa
31
BAB 30 - Neck
32
BAB 31 - Look Before your Leap
33
BAB 32 - Kesalahan panggilan yang tidak buruk
34
BAB 33 - Bekas tidak terlihat
35
BAB 34 - Gosip
36
BAB 35 - Garis Pertemanan
37
BAB 36 - Ceroboh & Secarik Kertas
38
BAB 37 - Masalah Selesai
39
BAB 38 - Cross the Line
40
BAB 39 - Membangun Chemistry
41
BAB 40 - Something
42
BAB 41 - Something part.1
43
BAB 42 - Confess, to The Point
44
BAB 43 - Meeting : Replacement
45
BAB 44 - Before Accident : Tikam & Kesepakatan
46
BAB 45 - Persikukuh
47
BAB 46 - Past in a Dream
48
BAB 47 - Konferensi Pers
49
BAB 48 - Bertambah
50
BAB 49 - Rekaman CCTV
51
BAB 50 - Jatuh kesekian kalinya
52
BAB 51 - Cemburu yang Tidak Dia ketahui
53
BAB 52 - Hema dan Janjinya
54
BAB 53 - Budak Tawanan
55
BAB 54 - Ayo bermain!
56
BAB 55 - Flashback : Dewi Iustitia not here
57
BAB 56 - Flashback : Mudah
58
BAB 57 - Flashback : Kemalangan yang memuakan
59
BAB 58 - Flashback : Kemalangan dan Tangisan
60
BAB 59 - Flashback : Kemalangan Perlawanan
61
BAB 60 - Mencari Perhatian
62
BAB 61 - Pengabaian
63
BAB 62 - Ajakan
64
BAB 63 - Makan lalu menghilang
65
BAB 64 - Menghilangkan Rasa Gusar
66
BAB 65 - Mie pedas & Kiss
67
BAB 66 - Jawaban yang tampak benar
68
BAB 67 - Untuk Hari ini saja
69
BAB 68 - Kelajuan penuh
70
BAB 69 - Menerima namun membebani
71
BAB 70 - Perbedaan yang Menyatu
72
BAB 71 - Keinginan
73
BAB 72 - Before, Lana POV : Tidaklah Penting
74
BAB 73 - Patuh
75
BAB 74 - Panic Attack
76
BAB 75 - Past in a Dream & Cinta = Melepaskan
77
BAB 76 - To Flashback : Dua Wanita Tangguh
78
BAB 77 - Flashback : Dua Wanita Tangguh part. II
79
BAB 78 - Past in a Dream : Pesan Terakhir_ POV Lana
80
79 - Keberhasilan = Overthinking
81
BAB 80 - Benih dalam lapisan es
82
BAB 81 - Tenggelam
83
BAB 82 - Swimming pool_Perdebatan
84
BAB 83 - Irasional & Cemburu
85
BAB 84 - New in their Hearts
86
BAB 85 - Sama dan Mimpi
87
BAB 86 - Kencan?
88
BAB 87 - Alasan Ketergesaan
89
BAB 88 - Nevermind
90
BAB 89 - Kualifikasi
91
BAB 90 - Tenang membawa cerita lama
92
BAB 91 - Terbiasa
93
BAB 92 - Pulang
94
BAB 93 - Yuri dengan pikirannya
95
BAB 94 - Bimbang akan Fakta
96
BAB 95 - Es batu
97
BAB 96 - Punggung yang menjauh
98
BAB 97 - Telapak tangan yang luas dan tulus
99
BAB 98 - Pesta Peluncuran
100
BAB 99 - Bualan oleh Si Merah Cabe
101
BAB 100 - Posisi Terinjak
102
BAB 101 - Masih berlanjut
103
BAB 102 - Akhir percakapan
104
BAB 103 - Benci menyimpan Ruang Pengertian
105
BAB 104 - Tak ingin mengakui

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!