Teriakan pembangkangan memekik ruang meja makan. Ketidaktahuan tercermin dalam mata birunya yang dingin, menatap enteng telunjuk jari Leta yang memegang menumpukan semua amarah dan kebencian mengacung pada Lumi. Mata bibinya itu tajam menyalak memeberikan ilusi begitu menusuk seperti sebilah pisau. Ekspresi yang tidak berubah sama sekali, Lumi tetap dengan wajah dinginnya yang datar. Terlalu biasa dan sering terjadi, jengah pun sudah tidak bisa terulas. Disusul dengan mereka yang menampakkan sepasang sorot mata lelah tertuju pada Leta. Lelah karena ini selalu terjadi, mereka jengah akan Leta yang selalu mengamuk. Terlalu sering, membuat mereka membiarkan kemarahan Leta mengalir begitu saja.
Keheningan mulai jatuh di ruangan tersebut dengan kemarahan Leta yang mendominasi. Lumi sudah terbiasa dengan hal itu, dia tahu persis tatapan itu selalu membekas saat Lumi masih kecil. Lumi mungkin mempertahankan ekspresi dinginnya tapi, tidak dengan isi kepalanya.
"Wanita Tua ini, tantrum lagi. Akh, kenapa ini selalu terjadi... aku bosan. Haruskah kulempar saja dia ke kolam sekarang."
Begitulah isi kepala Lumi seraya menatap sinis bibinya.
"Maksud Bibi apa? " Lumi bertanya dengan nadanya yang dingin dan santai seraya tersenyum tipis, karena kali ini bibinya marah tidak jelas.
Lumi yang angkat bicara membuat Leta semakin marah. Suara dingin dan rendah yang keluar dari tenggorokan Lumi terkesan mengejek di telinga Leta.
"Begitu menjijikkan, kau pura-pura polos tidak tahu apa yang terjadi," sarkas Leta.
"Ternyata disahut tetap marah," tutur hati Lumi saat amarah itu begitu kental terlihat pada raut wajahnya terutama sorot matanya.
"Lihatlah dirimu, kau tidak memiliki tatakrama! Bagaimana bisa kau menatap bibimu seperti itu!" lanjutnya kembali begitu menguak rasa benci.
Senyum asimetris mulai tersungging begitu tajam pada wajah Lumi, kala mendengar celotehan bibinya. Tawa pelan itu melantun begitu geli menambah amarah pada Leta. Mata Leta menyipit aneh ke arah Lumi yang sedang terkekeh. Tubuh yang bersandar pada kursi mulai merenggang, menundukkan badannya ke arah Leta yang berada di sebrang meja. Meski tidak terlalu dekat, tapi ini cukup terlihat dan jelas untuk menjahili bibinya.
"Maksud Bibi tatapan seperti ini." Lumi mulai menyodorkan wajah dinginnya yang biasa pada bibinya.
Meskipun dingin dan biasa, tapi di mata Leta anak kurang ajar di depannya itu sedang mengejeknya dalam diam. Tingkah Lumi yang biasa dan sengaja tersodorkan padanya, menyiratkan bahwa apapun yang Lumi lakukan akan selalu salah di matanya. Itulah mengapa mata Leta tertegun akan maksud tersebut, begitu tersudutkan oleh rasa malu. Betapa tidak dewasanya dirinya, mendapati sifat kekanak-kanakan hanya untuk membuat Lumi terlihat bersalah. Tembakan itu tepat sasaran, bagaimana Leta selalu mencari gara-gara kepada keponakannya meski pun dia tidak melakukan apa-apa.
Gemetar pada matanya yang samar bisa Lumi ketahui. Tatapan lekat pada bibinya mulai merunduk dengan punggung Lumi yang kembali bersandar pada kursi, dia memiringkan kepalanya. Seringai mengejek mulai terbentuk, kala Lumi tahu rasa malu mulai bergelut dengan amarah dalam hati Leta.
"Dasar Wanita Tua tantrum, aku ingin kembali mengerjainya," pikir Lumi yang serasa begitu seru.
Senyum miring pada bibirnya perlahan terhapus. Matanya yang sebiru lautan dalam yang dingin dan gelap mulai menajam serius.
"Atau yang ini Bibi."
Suasana seketika berubah, saat Lumi membawa aura gelap pada dirinya. Tatapan dingin yang hina dan jijik dia tunjukkan pada bibinya. Mata Leta terperangah begitu hebat mendapati sosok angkuh Lumi membalikkan rasa benci yang lebih pekat dari dirinya. Sama seperti waktu Lumi kecil, Lumi membalas tatapan benci Leta seperti itu. Membawa dia kedalam laut dalam, memberikan ancaman betapa tidak pentingnya dia. Sosok sang Kakak yang begitu dihormati dan disegani bersemayam dalam darah Lumi. Meskipun jasadnya sudah mati tapi pewarisnya masih hidup dan mental dengan sosok ayahnya. Leta membenci untuk mengakui dan bertekuk lutut kepada keponakannya. Cukup Kakaknya yang membuat dirinya begitu rendah.
"Ekspresinya tetap sama, aku bosan melihatnya, padahal—," wajahnya mulai melipir ke samping, "aku mengharapkan sesuatu yang baru." Hati Lumi merengut kecewa.
Sementara disisi lain, urat leher Leta naik menegang. Rahangnya menegas begitu keras. Wajah yang tertunduk itu menyembunyikan mata yang menyalak merah penuh amarah. Awan hitam bergulung dalam otak Leta.
Ketidak acuhan Lumi dalam pandangannya, mulai mendapati sosok Leta yang kini membekam penuh amarah. Tangannya terkepal menekan meja keras.
"Sampai mana kau akan bertahan Wanita Tua?" tantang Lumi.
Suasana semakin tak karuan, ketegangan menjalar seperti tanaman rambat pada mereka. Kecewa terlihat jelas pada raut wajahnya. Kakek mulai tertunduk lelah dan kalut sedih, akan pertikaian yang selalu terjadi. Keharmonisan yang begitu hangat dalam sebuah keluarga tak pernah terwujud.
"Oh Tuhan, istriku, Aphrodite tercinta aku begitu gagal dalam memimpin keluarga kita ini," lirih Akari sendu penuh sesal akan ketidak becusannya.
"Kalian berdua berhenti!" titah Kakek, mencoba menengahi ketegangan dalam raut wajah penuh kebencian antara cucunya dan juga anak perempuannya.
"Kakek memanggil kalian bukan untuk seperti ini!" imbuhnya.
"Tapi ini selalu terjadi," sahut Lumi yang masih menatap Leta begitu dingin dan remeh.
Mata Leta mulai berkedut, karena Lumi masih tetap menatap dirinya tak mau kalah.
Hema mulai khawatir dengan hal ini.
"Ayolah tenangkan dulu, kalau seperti ini masalah tidak akan selesai." Hema mencoba menengahi dan membujuk sang Kakak.
"Ayolah Kak, dia keponakanmu apakah kau masih tidak puas dan ingin beradu dengan keponakanmu." Leta menatap tajam Hema karena berani menceramahinya.
Hema tidak peduli, dia merasa kakaknya sudah keterlaluan. Dia hanya mengkhawatirkan kondisi ayahnya.
"Lumi hentikan sekarang ekspresi itu!" titah Hema tegas.
Lumi mulai mengendur, kini dia mulai relax. Tapi Leta masih berdiri tegak dan tidak mau mengalah. Hema sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Keras kepala kakaknya akan membawa masalah yang lebih besar.
"Leta hentikan ini, tolong beri ruang ayahmu berbicara!" perintah Akari seraya menatap tajam Leta.
Leta masih tidak mau bergeming, tapi semua orang kini sedang menatap dirinya untuk segera duduk dan mengalah. Tatapan semua orang begitu tajam, rasa malu mulai menghinggapi Leta. Mau tak mau Leta harus mengalah. Leta kembali pada kursinya dengan mencoba mengurung amarah dalam dirinya.
Melihat suasana mulai kondusif, Akari kini mulai angkat bicara.
"Lumi besok kau akan bekerja sebagai Presiden Direktur Utama Shimizu." Kejutan listrik terjadi dimana-mana. Semua anggota keluarga terkejut mendengar pernyataan Kakek.
"Ayah ti —" Leta tidak sempat membantah, ayahnya terlebih dahulu memberikan isyarat dengan tangannya.
"Leta kau tetap menjadi Direktur Utama Shimizu Mall dan Fashion, tapi untuk Technology kau harus melepasnya. Ayah akan memberikannya kepada Lumi," jelas Akari yang membuat Leta terdiam dengan hati iri yang tak terima.
"Seperti yang kalian tahu, perusahaan Shimizu memiliki beberapa cabang dan perusahaan dibidang yang beragam."
"Untuk mengatur itu, Kakek akan memberikannya kepada Lumi untuk mengambil alih dan mengatur semuanya dan cabang perusahaan yang paling kita banggakan Shimizu Technology akan Kakek percayakan kepada Lumi," pungkas Akari.
"Dan untuk kau Hema, kau akan menjadi Direktur Utama Shimizu Medical and Healthy sekaligus kau yang mengurus Rumah Sakit Shimizu," tambah Akari seraya menatap tegas anak terakhirnya.
"Jika kinerjanya bagus Kakek akan memberikan itu padamu."
"Baik Ayah, saya akan bertanggung jawab amanah dari Ayah." Hema menerima dengan baik.
"Tapi Ayah —" Suara Leta tertahan akibat amarah yang begitu menumpuk, hatinya terbakar rasa tak terima meliputi dirinya. Leta kembali berulah dan melampiaskan amarahnya pada Lumi.
"Anak tak tahu tatakrama itu berada di atasku, di mana harga diriku dipajang. Aku sudah mengabdikan diriku pada perusahaan. Aku lebih pantas dari pada dia!" Leta kembali menunjuk kasar Lumi yang tengah tertegun.
Lumi hanya terdiam kebingungan, dia mencoba mencerna pemberian kakeknya yang tidak begitu dia inginkan.
"Bagaimana bisa Kakek menunjukku." Lumi mulai melirik penuh kebingungan kepada kakeknya.
Kerutan pada wajahnya namun aura karismatik masih bersuar. Tubuh yang rengkuh itu masih terlihat tegap dan sehat. Tatapan serius, melepaskan sebuah tanggungjawab tersalur kepada Lumi akan tegur sapa mata mereka. Wajah kerung Lumi, mengacuhkan Leta yang sudah begitu marah dengan nafasnya yang memburu. Rasa marah itu mendekat dirinya dan membuat gejolak panas dalam kepalanya.
"Bahkan setelah orang tuanya mati sifat busuk itu masih ada di sini, orang tua itu telah gagal mendidik anak semata wayangnya ini. Kau memang lah keturunan serakah dari orang t —" Kalimat hinaan Leta terhenti begitu saja.
Nafas yang memburu mulai tercekik menjadi terengah-engah. Mulutnya terbuka mencoba meraup udara. Mata terbelalak penuh amarah berganti dengan rasa takut. Jarak antara meja tidak membuat Lumi terhalang untuk menyentuh bibinya. Kepala yang sudah menengadah tercengkram kuat dalam tangan besar Lumi.
"Diam kau Wanita Tua, kau memang Adik dari ayahku tapi kau tak pantas mencela mereka." Tangan besar itu kini mencengkram kuat wajah halus dan putih Leta sejenak, lalu kembali turun ke leher.
Leta hanya bisa membulatkan matanya dan meringis kesakitan. Mata itu hampir sayup menutup, air mata dalam matanya menggenang merasakan rasa sakit. Mata Lumi yang dingin kini diselimuti kegelapan, pupil matanya membesar seperti akan menerkam Leta. Leta mencoba memberontak namun tangan Lumi begitu kuat walaupun hanya satu genggaman.
Melihat hal itu semua berhamburan mencoba untuk menenangkan Lumi. Hema terus mengelus pundak Lumi dengan Arguro yang mencoba memegang pergelangan tangan Lumi yang semakin keras mencengkram wajah ibunya. Arguro mencoba melepaskan tangan Lumi. Urat ditangan Lumi terlihat menegang Hema dan Arguro merasa takut tapi ini harus terlepas.
"Kak tolong lepaskan! Ini tidak akan menyelesaikan masalah!" Panik Arguro mencoba menenangkan.
"Ayo Nak, lepaskan Lumi! Lepaskan!" Hema mencoba menambahkan.
Amarah yang menyelimuti Lumi membuat pendengaran Lumi tertutup. Tidak ada satu kata pun dari mereka yang masuk pada telinga Lumi.
Plak!
Tamparan keras pada kepala Lumi begitu nyaring terdengar. Lumi tertunduk dan mulai melepaskan perlahan cengkramannya.
Leta langsung ambruk dan hampir menyentuh lantai. Beruntung ada meja yang menahan tubuh Leta yang gemetar dan kehabisan nafas. Suara engahan nafas memburu mencoba menghirup udara.
Kepala yang tertunduk itu begitu mencekam membuat mereka mewanti-wanti apa yang akan terjadi. Termasuk Leta yang lemah di atas meja merasakan amukan akan muncul. Perlahan kepala Lumi mulai terangkat. Ekspresi Lumi lebih buruk dari yang tadi. Seperti kerasukan, mata Lumi seperti macan yang kelaparan.
"Kau beraninya memukulku." Satu tinjuan pada Piter melayang tepat pada wajahnya.
Semua berteriak terkejut melihat kejadian itu. Melihat Lumi yang begitu lapar dan tenggelam dalam amarahnya membuat Arguro dan Hema menambahkan tenaga untuk mencengkram tenaga yang lebih kuat dari mereka.
Kondisi ruang makan sudah begitu kacau. Piter yang tersungkur di lantai mulai bangkit dari ringisan sakitnya. Lebam terlihat pada pipi Piter. Sang Istri dengan sigap menarik sang Suami untuk menjauh dari Lumi. Kekacauan yang begitu menegangkan itu terlalu berpusat. Hingga mereka tak menyadari sesuatu yang begitu lemah sudah tidak bisa menopang tubuhnya.
"Kakek!" teriak Artemis sembari menahan tubuh kakeknya yang hampir terjatuh.
Sesak dia rasakan dalam dadanya, kejadian tadi membuat Akari dalam kondisi yang tidak menguntungkan dalam tubuhnya.
Segera Hema berlari pada ayahnya dan menggantikan Artemis untuk menopang tubuh Ayahnya. Semua mulai terdiam. Amarah Lumi yang meluap mulai menguap tak tersisa. Mereka segera memusatkan pandangannya pada Akari. Artemis yang berada di samping Hema hanya bisa menangis melihat kondisi Kakeknya yang turun drastis.
"Sudah cukup, saya memanggil kalian bukan untuk hal ini terjadi," ucapnya begitu lemah dan memaksa.
"Sebaiknya jernihkan kepala kalian, lupakan ini sejenak," titah Hema yang mulai memapah Akari dibantu dengan para pelayan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
〈⎳ FT. Zira
udah di kasih masing masing kenapa masih gak terima😮💨
2025-02-22
1
Sugardust
hahahahaha mau dilempar ga tuh
2025-02-26
1
Erna Sary
Tiba tiba aja digeplak wkwkwk, maaf ya ayang Lumi aku ketawa
2025-02-04
0