Perjalanan itu terasa sepi. Rafa dan Hanna tidak sering mengobrol, hanya suara alunan musik yang sedari tadi meramaikan suasana. Sesekali keduanya saling melirik, mencuri pandang sambil berpikir topik pembicaraan apa yang akan mereka kemukakan.
Rafa dan Hanna memang sering bertemu, tapi berkumpul dengan kedua keluarga mereka. Sedangkan untuk situasi seperti sekarang, dimana hanya ada mereka berdua, ini adalah pertama kalinya.
"Lo enggak marah kalo si Wildan enggak bisa jemput lo kayak sekarang?" Rafa akhirnya kembali membuka percakapan.
Hanna mengalihkan pandangan dari ponselnya, menatap jalanan yang sedang mereka lalui sekarang. "Hmmm... ya marah sih, Kak. Tapi ya mau gimana lagi. Dari awal ayah, bunda sama kak Wildan juga udah ngomong soal kemungkinan kayak gini. Tapi enggak apa-apalah, itung-itung belajar mandiri."
"Cih, mandiri." Rafa berdecih geli. "Tadi gue liat elo manyun gitu gara-gara enggak dijemput, sekarang bilangnya mandiri."
"Enggak ya! Kak Rafa tuh yang asal ngomong. Aku enggak manyun ya tadi, kalo misal manyun kan karena tadi aku coba pesen ojol tapi enggak ada yang mau."
"Ya gue mana tahu, Han. Taunya gue ya elo manyun aja." Rafa melirik sekilas, menatap Hanna yang nampak kesal karenanya. "Harusnya banyak ojol yang mau, Han. Kalo jauh gitu, bayaran mereka kan jadi mahal. Kalo mereka enggak ada yang mau, mungkin karena mereka tahu bakal nganterin anak kecil. Takut nangis di jalan kan repot."
"Iiihhh... Kak Rafa nyebelin deh!" Hanna memukul lengan Rafa dan membuat Rafa tertawa bahagia karena lagi-lagi selalu berhasil menggoda adik temannya ini. "Udah SMP juga masih juga dikatain anak kecil."
"Ya masihlah, kayak gue gini baru dewasa. Elo mens aja paling juga belum."
"Udah ya, sembarangan aja kalo ngomong!"
"Wiihhh... si Hanna yang dulu masih ngedot ternyata sekarang udah mens. Udah punya pacar dong berarti?" Rafa semakin giat menggoda Hanna.
Mungkin jika ia seorang kakak, ia akan sejahil seperti sekarang ini kepada adiknya. Atau bisa jadi malah cuek dan tak mau tahu urusan adiknya. Entahlah, yang jelas, Rafa senang menjahili dan menggoda siapa pun.
"Mana ada!" Hanna bersungut-sungut.
"Laahh, kasian banget cantik-cantik gini enggak punya pacar. Kamu galak sih!" ucap Rafa sambil terkekeh yang semakin membuat Hanna mencebikkan bibirnya.
Sungguh sial sekali Hanna hari ini, sudah tidak dijemput kakaknya dan kini mendapat serangan bertubi-tubi dari Rafa. Dalam hati, Hanna berucap tidak akan lagi mau ditumpangi mobil oleh Rafa.
"kak Rayyan belum balik ya, kak?" Hanna mencoba mengalihkan pembicaraan, biar dia tidak kena bully dari Rafa lagi.
"Belum, bentar lagi kayaknya. Kemarin kan udah wisuda, tapi abang pengen stay disana dulu beberapa saat, masih ada urusan. Ngapain lo nanyain abang gue?"
"Hanna pengen ngobrol sama kak Rayyan."
"Ngobrol apaan? Jangan-jangan lo naksir abang gue ya? Hahahaha...."
Hanna berdecak kesal. Berbicara dengan Rafa ini memang susah diajak seriusnya.
"Kak Rayyan emang ganteng maksimal, kak Wildan sama kak Rafa aja kalah jauh. Tapi bukan karena itu aku pengen ketemu kak Rayyan, kan tadi Hanna udah bilang pengen ngobrol sama kak Rayyan."
"Ya tapi ngobrolin apa sih, Han? Anak SMP mau ngajakin om-om ngobrol."
Hanna menggelengkan kepalanya. Dalam hatinya berkata, 'masih mending ngobrol sama om-om daripada sama kamu!'.
Hanna benar-benar mengumpat Rafa dalam hatinya. Entah dulu tante Salma yang cantik itu ngidam apa pas hamil Rafa sampai anaknya bisa semenyebalkan seperti ini.
"Mau ngobrol soal kuliah di luar negeri."
"Lo mau kuliah di luar negeri?" tanya Rafa dengan nada tak percaya dan diangguki oleh Hanna. "Ngapain jauh-jauh sih. Han? Ntar lo nangis aja jauh dari ayah bunda lo hahahahaha...."
Hanna terdiam, ia sudah sangat malas menimpali perkataan Rafa lagi. Dirinya sudah terlalu jengkel dengan Rafa yang selalu menganggapnya sebagai anak kecil, yang akan langsung menangis jika terjadi sesuatu pada dirinya.
...****************...
"Dapet rendang dari siapa?" tanya mama Salma saat menerima bungkusan kotak makanan dari Rafa. "Dari mamanya pacar barumu ya? Atau pacarmu yang masak?" sambungnya sembari membuka kotak makanan tersebut.
"Dari tante Widya, katanya mama suka banget makan rendang." jawab Rafa sambil mengambil minuman dingin di kulkas.
"Kamu dari sana?" pertanyaan mama Salma itu langsung diangguki oleh Rafa yang sedang sibuk menenggak minumannya.
"Main sama Wildan?" dan pertanyaan yang kali ini dijawab dengan gelengan kepala oleh Rafa.
"Nganterin Hanna pulang, ma."
"Emang kamu ketemu sama Hanna dimana?"
"Di deket sekolahannya. Tadi Rafa anter Alita kesana, ehh liat tuh bocil nunggu sendirian sambil manyun gara-gara si Wildan enggak bisa jemput. Jadi Rafa anterin dia pulang daripada dia mau nungguin om Taufik balik terus jemput dia, kan lama, Ma."
"Iya juga sih, kasian. Kamu mau ngapain?" tanya mama Salma saat melihat anak bungsunya mendekatinya dirinya dengan membawa piring yang telah diisi nasi.
"Makanlah, Ma. Bau rendangnya menggoda, Rafa langsung berasa laper banget."
"Cuci tangan dulu sana! Kebiasaan banget ini anak, pulang dari mana-mana langsung nyomot makanan."
Tak ingin sang mama semakin mengomel panjang lebar, Rafa segera mencuci tangannya. Setelahnya, ia duduk rapi dan tak sabar menikmati rendang buatan tante Widya yang sedang disajikan mama Salma dipiringnya.
"Kamu kalo sama Wildan dan Hanna yang akur, tante Widya sama om Taufik itu temen mama. Jangan sampai berantem atau gimana sama mereka, ntar hubungan pertemanan mama sama mereka jadi enggak baik."
"Iya, maaaaa...." jawab Rafa sambil mengunyah makanannya. "Mama udah sering ngomong itu dari Rafa SMA tau."
"Biar kamu enggak lupa. Kamu kan suka nyepelein."
Rafa menganggukkan kepalanya, lalu memberi kode pada sang mama dengan kedua matanya. "Soulmate mama pulang tuh, disambut dulu ssana Kalo mama malah nemenin Rafa makan disini, nanti papa bisa cemburu."
"Hahaha... bisa aja kamu." mama Salma beranjak dari kursi makan di sebelah Rafa, lalu keluar untuk menyambut papa Adit yang baru saja pulang kerja.
Rafa melanjutkan makannya sambil tersenyum. Kedua orangtuanya ini masih so sweet sekali meski sudah berumur. Bahkan sang papa masih bersikap terlalu cemburu padanya, padahal ia kan anaknya. Enggak mungkin kan ia dengan sengaja menggoda mamanya?
"Kakinya, Fa! Ini bukan di warteg!" seru papa Adit sambil berlalu.
Rafa menoleh ke arah papanya yang sedang menaiki tangga dengan mamanya. Ia pun segera menurunkan kakinya yang semula ia naikkan ke atas kursi.
"Siap, Bos!" teriak Rafa dari dapur dan kembali melanjutkan makan sorenya hingga tandas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
Firdha _M
Serasa makan di Warteg ya Fa 😆
2020-10-10
1