Semakin hari Rega semakin menghindari Megan. Namun, Megan begitu curang. Dia meminta bantuan ayahnya supaya Rega bisa kembali dekat dengannya lagi.
"Regara Bumintara."
Suara dosen yang bernama Pak Bahar memanggil namanya. Rega pun menganggukkan kepala dengan sopan.
"Kenapa kamu menjauhi putri saya? Merugi kamu jikalau kamu gak bersama dia."
Pak Bahar menatap ke arah Megan yang sudah tersenyum begitu manis. Namun, Rega masih memasang wajah datar.
"Ini bukan urusan Anda, Pak. Seharusnya Anda tidak ikut campur dalam hal ini."
Jawaban Rega membuat mata Pak Bahar melotot. Mahasiswa semester tujuh itu begitu berani kepada dosennya sendiri.
"Lancang sekali jawaban kamu!" Suaranya pun sudah meninggi.
"Kalau kamu tidak bersama putri saya. Saya pastikan nilai kamu akan jelek."
Ancaman yang membuat Rega tak gentar. Dia malah tersenyum ke arah Pak Bahar.
"Lakukanlah, Pak."
Rega memutar tubuhnya dan meninggalkan Pak Bahar juga Megan yang merasa tak terima ditantang oleh Rega. Mereka terlihat murka.
Bukannya lancang, tapi sikap Pak Bahar amat tak profesional. Mengancam dirinya hanya karena dia perlahan menjauhi Megan. Sikap Megan-lah yang membuat Rega hilang rasa. Manja, kekanak-kanakan juga posesif. Padahal mereka masih berteman, tapi sudah seperti itu.
Rega kembali teringat akan Reyn. Dia berusaha mencari tahu keberadaan Reyn. Bertanya kepada teman-teman sekelas Reyn. Namun, mereka mengatakan tidak tahu.
Ketiga sahabat Rega bukan tak mau membantu. Tapi, mereka ingin tahu sebesar apa usaha Rega untuk mencari Reyn. Mereka tidak akan ikut andil karena itu murni kesalahan Rega. Dialah yang harus menanggung risiko itu.
Hampir setiap hari Megan datang menemui Rega. Namun, Rega bersikap dingin dan datar. Bahkan tak menganggap Megan ada.
"Rega! Kamu dengar aku gak sih?" Megan sudah sangat emosi di depan ketiga sahabat Rega.
Rega yang tengah menyesap sebatang rokok mulai menegakkan kepala. Membuang asap rokok tepat di wajah Megan hingga perempuan itu terbatuk.
"Lu punya kaki. Jalan sendiri!"
Rega sudah sangat muak dengan sikap manja Megan yang terus meminta menemaninya. Rengekan Megan melebihi rengekan anak kecil yang minta mainan. Sungguh membuat Rega sangat emosi.
"Rega, kamu mau dapat nilai C." Ancaman mulai Megan keluarkan.
Ketiga sahabat Rega sangat terkejut mendengar ancaman dari Megan. Namun, Rega malah menyunggingkan senyum sinisnya.
"Silahkan lakukan. Aku gak takut."
Ketiga sahabat Rega malah saling pandang. Mereka tidak mau sahabat pintar mereka tak lulus hanya karena perempuan sialan.
Rega beranjak dari sana. Pikirannya sedang kacau dan Megan membuat suasana hatinya lebih kacau. Kepergian Reyn yang tanpa jejak membuat perasaannya tak karuhan. Ada ketakutan yang bersarang. Ya, dia takut Reyn pergi dan tak akan kembali.
Ketika lelah dalam segala hal, Rega menghampiri ibunya yang tengah menonton televisi di saat malam tiba. Dia meletakkan kepalanya di atas paha sang mama. Refleks Bu Gendis mengusap lembut rambut hitam sang putra.
"Ke mana lagi Rega harus mencari Reyn?" Nada sedikit frustasi terdengar.
"Apa kamu sadar kamu itu sudah menyakiti Reyn?" Rega tak menjawab. Mulutnya begitu kelu.
"Wajar jika kamu menerima semua."
Bukannya membela Bu Gendis malah semakin memojokkan sang putra. Rega pun sedikit tak terima.
"Ma--"
"Jika, kamu tak bisa membalas cinta Reyn. Janganlah kamu menyakiti hatinya. Tanpa kamu sadari, membawa Megan ke toko sangat menyakiti perasaan Reyn. Hanya saja Reyn tak mengungkapkannya."
Bayangan wajah datar Reyn kini menari di kepala Rega. Dia teringat bagaimana respon Reyn terhadap Megan. Dia selalu memasang wajah tak suka kepada perempuan yang pernah menjadi cinta monyetnya.
"Reyn sangat tak pantas untuk disakiti, Nak. Menurut Mama, dia sangat layak mendapat balasan cinta dari kamu. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Harusnya juga kamu peka."
Rega mulai menegakkan tubuhnya dan menatap ibunya dengan begitu dalam.
"Selama ini kamu tak menyadari bahwa tubuh kamu sangat menerima Reyn. Bahkan ketika Reyn merangkul mesra lengan kamu, kamu tak merasa risih. Malah kamu terlihat enjoy. Padahal, kamu adalah anak yang sangat menjaga social distancing."
Rega mencerna ucapan sang mama. Semua yang dikatakan Bu Gendis benar adanya. Sebawel-bawelnya Reyn, dia tak pernah merasa terganggu. Sikap manja Reyn malah membuat dia senang. Setiap hari dirangkul bak pasangan oleh Reyn dia tak pernah mempermasalahkan.
"Kamu itu menyayangi Reyn, Nak. Tapi, hatimu sudah ditutup kenyamanan hingga tak menyadari akan perasaanmu sendiri."
"Kamu lebih memilih cinta masa lalu yang semu dibanding orang baru yang begitu tulus mencintai kamu."
Mulut Rega semakin terbungkam. Hatinya mulai terbuka ketika sang mama menjelaskan panjang sekali.
.
Sebulan sudah Reyn pergi. Tak ada seorang pun yang tahu di mana Reyn berada. Wajah tak bergairah begitu kentara. Ketiga sahabatnya pun mulai mengiba. Setiap hari Rega selalu mencari Reyn. Terus mengirim pesan berharap ceklis itu berubah menjadi centang biru.
Jamal mendekat. Dia melihat Rega begitu frustasi. Rokok akan menjadi sahabatnya jika tengah seperti itu.
"Coba lu tanya sama Rayyan."
Rega yang baru menyesap rokok menatap bingung ke arah Jamal. Dia tak mengerti apa yang diucapkan sahabatnya itu.
"Rayyan?"
"Waktu Reyn pingsan di ruang kesehatan, dia yang bawa Reyn pulang. Dan dia manggil Reyn Empok."
"Empok?"
"Gua, Dafa sama Joni yakin dia itu saudara Reyn. Jadi--"
"Kenapa lu gak bilang dari awal, Bang sat!" Rega pun sedikit murka.
"Kita pengen tahu se-effort apa lu nyari Reyn." Joni membalasnya dengan begitu lantang.
Sekarang Rega sudah mencari Rayyan. Dia benar-benar ingin tahu di mana Reyn berada.
"Itu, Bang!" tunjuk seseorang ke arah lelaki tampan yang baru saja keluar kelas.
Rega segera memanggil Rayyan. Dahi Rayyan pun mengkerut melihat seseorang berlari ke arahnya.
"Di mana Reyn?"
Rayyan pun berdecih. Aliran darahnya mulai naik ketika dia melihat langsung orang yang dicintai kakaknya secara ugal-ugalan.
"Gua ingin ketemu dia."
"Buat apa lu ketemu Reyn? Buat nyakitin Reyn lebih parah lagi?"
"Enggak. Gua pengen minta maaf dan jelasin semuanya." Rayyan pun tersenyum amat tipis.
"Maaf lu udah basi dan penjelasan lu gak akan merubah kondisi Reyn sekarang."
Rayyan mendekat ke arah Rega. Dia menarik kerah baju Rega tanpa takut dan mata yang memerah.
"Andai saja Reyn mengijinkan gua lukain lu, akan gua bunuh lu dengan tangan gua sendiri!"
Amarah Rayyan harus terhenti ketika suara seorang pria memanggil namanya. Dan berdiri tak jauh dari tempatnya.
"Pangpang--"
"Semua orang sudah ada di Bandara."
Rayyan mulai melepaskan kerah baju Rega. Sorot matanya sudah menunjukkan hal yang berbeda.
"Mami dan Papi lu pun sudah terbang dari Zurich."
Anggukan kecil dari pria tampan itu membuat Rayyan segera berlari. Rega menatap mereka dengan penuh kebingungan.
"Rega!"
Suara Jamal sudah menggema hingga pandangannya teralihkan. Napasnya pun sudah sangat terengah-engah.
"Dipanggil Pak Bahar."
Rega menatap kesal ke arah Megan yang sedang menangis di pelukan Pak Bahar. Tatapan nyalang Pak Bahar tak membuat Rega takut sedikit pun.
"Setetes air mata yang keluar dari mata Megan akan menjadi petaka untuk hasil akhir kamu." Kalimat yang tak main-main dapat Rega dengar dengan jelas.
"Saya tidak takut, Pak. Lakukanlah!" balas Rega dengan begitu lantang.
"Saya pastikan Anda bahkan universitas ini akan berurusan dengan Tuan Abimana, lawyer terbaik di negeri ini yang tak lain adalah ayah kandung saya."
...*** BERSAMBUNG ***...
Kencengin atuh komennya ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Medy Jmb
Ternyata Rega anak orang kaya? tapi knp ayahnya bercerai sama ibunya?
2024-11-01
0
Saadah Rangkuti
Tuan Abimana siapa ya Thor
2024-08-28
0
Saadah Rangkuti
songong lu Bahar....😠
2024-08-28
0