Rega menatap layar ponselnya. Di Mana pesan yang dia kirimkan hanya ceklis satu.
"Ke mana kamu, Reyn?"
Selesai jam kuliah, Rega mulai mencari Reyn ke kelasnya. Namun, teman sekelas Reyn mengatakan jikalau Reyn tidak masuk. Rega segera ke warung tenda biru.
"Lu liat Reyn gak?"
"Bukannya kemarin dia bilang mau ngomong penting sama lu," balas Jamal.
"Dia gak datang. Padahal gua nunggu sampe hujan reda."
"Tapi, kemarin gua liat Reyn jalan buru-buru dari arah warung ini."
Mata Rega melebar. Dia segera pergi dari sana dan meninggalkan ketiga sahabatnya yang terlihat kebingungan. Rega sudah sampai di parkiran, dan suara seseorang memanggil namanya.
"Rega, antar aku--"
"Sorry, Megan. Aku buru-buru."
"Rega, aku hanya--"
Rega segera menghidupkan mesin motornya dan meninggalkan Megan. Di tengah perjalanan, Rega berhenti. Dia bingung mau mencari Reyn ke mana. Selama dia mengenal Reyn, dia tidak pernah tahu di mana rumah perempuan yang selalu menempel padanya.
"Panti asuhan."
Tibanya di sana, Rega segera menemui pemilik panti. Dan tak ada informasi yang dia dapat sama sekali tentang Reyn. Alhasil, dia memilih untuk ke toko roti sang mama.
"Tumben pulang cepat? Biasanya kalau belum malam belum pulang."
"Ma, Rega boleh pinjam hape Mama gak?"
"Buat apa?" Dahi sang ibu pun kemudian mengkerut.
"Rega mau hubungin Reyn."
"Kamu berantem sama Reyn?"
"Enggak, Ma."
Rega sudah memegang ponsel sang ibu. Dia berharap pesan dari ibunya ceklis dua. Ternyata sama saja.
"Rega, janganlah kamu sakiti Reyn. Dia sangat baik dan Mama sudah menganggap dia seperti anak Mama sendiri."
Perlahan kepala Rega pun menegak. Dia menatap dalam wajah sang ibu yang tengah serius.
"Apa pernah Reyn mengeluhkan sikap Rega kepada Mama?" Bu Gendis pun menggeleng.
"Dia bukan anak yang suka mengadu. Dia adalah tipe anak yang senang memendam. Membiarkan dia yang merasakan sendiri. Mama melihat itu dari diri Reyn."
"Ma, kalau nanti Mama ketemu Reyn. Hubungi Rega, ya. Tapi, jangan sampai Reyn tahu." Bu Gendis menukikkan kedua alisnya.
"Rega mohon, Ma."
.
Rayyan tak kuasa menitikan air mata ketika melihat tubuh sang kembaran terlelap dengan penuh kesedihan. Semalam, Reyn pulang dalam kondisi basah kuyup dan menggigil hebat.
"Gua kalah, Yan."
Begitu lirih kalimat itu. Rayyan segera memeluk tubuh Reyn. Tak dia pedulikan tubuhnya ikut basah. Dan air matanya luruh begitu saja. Sedangkan Reyn seperti manusia yang sudah tak mampu mengungkapkan perasaannya. Berdiri bagai patung tanpa membalas pelukan Rayyan.
Setelah Reyn berganti pakaian, dokter pun datang untuk memeriksa kondisi Reyn. Senyum melengkung indah di wajah Reyn karena dokter yang datang bukanlah dokter keluarga.
"Itu direkomendasiin sama Abang."
Mendengar nama sang kakak membuat wajah Reyn kembali sendu. Rayyan meraih tangan Reyn.
"Apa perlu gua kasih pelajaran?" Reyn menggeleng dengan cepat karena wajah Rayyan terlihat begitu murka.
"Semuanya bukan salah dia, Yan. Gua yang salah karena sudah bodoh mencintai seseorang yang memang gak cinta sama gua. Gua yang emang keras kepala terus berjuang, padahal dia gak memberikan signal. Jadi, jangan pernah lukain dia. Jangan pernah salahkan dia. Salahkan saja gua."
"Disaat seperti ini lu masih bisa bela dia?" Rayyan sedikit geram.
"Gua gak bela dia, Yan. Emang semua kesalahan ada di gua. Kalau gua gak seugal-ugalan ini, gua juga gak akan sesakit hati ini."
Rayyan memeluk tubuh Reyn dengan mulut yang tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Jangan pernah salahkan dia."
Rayyan menyingkirkan anak rambut yang menghalangi mata Reyn. Sebagai seorang kembaran dia sangat merasakan apa tengah Reyn rasakan. Dia juga sudah menghubungi sang Abang, lelaki yang kuliah di Singapura itupun murka. Namun, sama seperti dirinya, Abang Er tak bisa melakukan apapun karena Reyn melarang. Rasa sayang yang Reyn miliki sangat tulus. Meskipun sudah disakiti, tapi dia tak mau orang yang dia cintai dilukai.
"Gua harap lu semakin survive meskipun dia sudah gak lagi menjadi alasan lu untuk tetap berjuang bersama kami di sini."
Rayyan mengusap lembut rambut Reyn. Juga mencium kening Reyn dengan begitu dalam.
"Gua dan Abang akan selalu jaga lu, Empok. Jadi, tetaplah hidup sampai kita menemukan kebahagiaan kita masing-masing."
.
Sudah seminggu ini pesan yang dikirim Rega hanya ceklis satu. Bukan hanya Rega, pesan yang Bu Gendis kirimkan pun hanya ceklis satu.
"Ke mana kamu, Reyn?"
Wajah Rega terlihat tak bersemangat akhir-akhir ini. Matanya terus terfokus pada layar segiempat yang tengah dia genggam.
"Lu ngegalauin Megan apa Reyn?"
Rega tak menjawab. Dafa pun penasaran dan dia terbahak ketika melihat layar ponsel sang sahabat.
"Goblokk sih!" umpat Dafa.
Ponselnya bergetar dan Rega berharap itu adalah Reyn. Ternyata sang mama yang mengabarkan jikalau Reyn ada di toko roti sekarang.
"Tahan Reyn dulu, Ma."
Rega bergegas pergi dari sana. Dia berlari menuju parkiran motor. Lagi dan lagi Megan menghadangnya.
"Anterin aku pulang. Aku--"
"Sorry, aku bukan tukang ojek."
Rega yang biasa bersikap lembut, kini mulai sedikit kasar kepada Megan karena sudah berani menghalangi jalannya.
Di toko roti, Bu Gendis sudah menggenggam tangan Reyn. Menanyakan apa yang tejadi pada Reyn dan juga Rega. Dia melihat semakin ke sini hubungan Reyn dan Rega semakin menjauh.
"Kami tidak bertengkar kok, Bu." Reyn mencoba meyakinkan wanita yang sudah tiga tahun ini sangat baik kepadanya.
"Kalau Rega ada salah, katakan kepada Ibu. Biar Ibu yang memarahi dia."
Reyn mengusap lembut punggung tangan Bu Gendis. Dia pun menggeleng dengan pelan.
"Kak Rega anak baik. Mana mungkin Kak Rega jahat sama aku. Emang akunya aja yang salah. Aku terlalu optimis bisa mendapatkan cinta Kak Rega. Ternyata, aku yang kalah."
Senyum penuh kesedihan dapat Bu Gendis lihat. Wanita paruh baya itu segera memeluk tubuh Reyn.
"Kamu adalah teman perempuan satu-satunya yang tak bisa membuat Rega menjaga jarak. Dia adalah anak yang anti disentuh oleh perempuan. Tapi, disentuh sama kamu dia tak pernah marah."
"Tapi, hatinya bukan untuk aku, Bu. Aku bisa menyentuh tubuhnya, tapi tidak bisa menyentuh hatinya."
Reyn melonggarkan pelukannya. Dia tersenyum dengan mata yang mulai memerah.
"Maafkan putra Ibu ya, Reyn."
"Kak Rega gak salah, Bu. Harusnya aku yang minta maaf sudah selalu merepotkan Ibu dan Kak Rega. Makasih, sudah baik banget sama aku."
"Jangan bilang seperti itu. Kamu sudah Ibu anggap seperti putri Ibu. Selamanya kamu akan menjadi anak Ibu."
Hati Reyn terenyuh. Air matanya ingin menetes, tapi dia mencoba untuk tidak menangis.
"Empok!"
Untung saja Rayyan memanggil. Kode dari adiknya itu membuat Reyn pamit kepada Bu Gendis.
"Aku pulang ya, Bu."
Baru beberapa langkah Reyn menjauh, suara lirih Bu Gendis membuat langkahnya terhenti.
"Kamu gak akan pergi kan?"
Reyn kembali memutar tubuhnya. Dia tersenyum dengan gelengan kepala pelan.
"Aku gak tahu, Bu."
Itulah arti dari gelengan kepala Reyn. Baru saja Reyn pergi dengan mobil hitam mengkilat, motor Rega sudah berhenti di depan toko.
"Ma, mana Reyn?" Wajah Rega nampak tak sabar.
"Baru saja dia pulang.
Rega segera mengecek cctv di toko roti ibunya. Dia begitu serius dan plat mobil yang membawa Reyn sudah dia kantongi.
"Ma, Rega kejar Reyn dulu."
...*** BERSAMBUNG ***...
Kalau mau aku up banyak, yuk banyakin juga komennya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Saadah Rangkuti
nyesek banget thor 😭😭😭😭
2024-08-28
0
Susi Yanti
rasain luuu,ditinggal reyn br kapok
2024-08-11
0
Ida Farida
loe yg terlalu bego rega mau ajja di jadiin tukang ojek,,
biar rega ngerasain yg namanya mengejar cinta agar tau...
2024-07-30
1