**Disclaimer **
Sebelum memulai perjalanan ini, perlu saya tegaskan bahwa cerita ini adalah karya fiksi. Nama, karakter, tempat, dan kejadian yang digambarkan dalam cerita ini semata-mata adalah produk dari imajinasi saya sebagai penulis pemula. Meskipun beberapa elemen dalam cerita ini terinspirasi dari pengalaman pribadi atau tempat-tempat yang nyata, semua yang disampaikan di sini tidak dimaksudkan untuk mencerminkan kenyataan atau mewakili pandangan penulis tentang dunia luar.
Pada bab ke-13 dari cerita ini, saya memperkenalkan konsep poliamori sebagai bagian dari evolusi hubungan antara karakter-karakter utama. Poliamori adalah sebuah tema yang kompleks dan diangkat sebagai bagian dari eksplorasi imajinatif dalam cerita ini. Saya berharap pembaca dapat menerima ini sebagai salah satu aspek dari kehidupan karakter fiksi yang dibangun dalam narasi ini. selamat menikmati.🙏🙏🙏.
Bab. 1. Larasati Dan Harry
Di Desa Batu, sebuah desa terpencil di antara lekuk Pegunungan Meranti, hiduplah Larasati, gadis kecil berusia 13 tahun. Kulitnya sehitam kayu manis, matanya berbinar bagai bintang fajar, dan senyumnya sehangat mentari pagi.
Kehidupan damai Larasati bersama kedua orang tuanya di desa yang asri itu hancur dalam sekejap ketika wabah misterius menerjang.
Kepanikan melanda, penduduk kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Bayangan kematian semakin nyata saat
beberapa warga terinfeksi dan menghembuskan napas terakhir. Evakuasi menjadi pilihan satu-satunya.
Dengan berat hati, Larasati dan kedua orang tuanya meninggalkan desa tercinta. Di tengah perjalanan menuju desa tetangga, takdir berkata lain.
Larasati terpisah dari kedua orang tuanya, terlunta-lunta sendirian di tengah hutan belantara yang sunyi. Kecemasan dan ketakutan mencengkeram hatinya, namun tekad membara untuk bertahan hidup memaksanya untuk terus melangkah.
Hutan lebat dan gelap semakin menebalkan rasa terisolasi yang menggerogoti jiwanya. Di tengah keputusasaan, sayup-sayup terdengar suara isak tangis.Larasati mengikuti sumber suara, dan menemukan seorang anak laki-laki kurus, tak lebih dari 8 tahun, meringkuk di balik semak-semak.
“Hei, apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu menangis?” tanya Larasati lembut.
Anak laki-laki itu mendongak, matanya berkaca-kaca. “Aku kehilangan ibuku…
Aku tidak tahu harus ke mana,” ucapnya lirih.
“Aku juga tersesat,” ujar Larasati, mencoba menenangkan. “Namaku Larasati.
Siapa namamu?”
“Aku Harry,” jawab anak laki-laki itu.
Di tengah kegelapan hutan yang mencekam, Larasati dan Harry menemukan secercah harapan dalam tatapan satu sama lain. Mereka tidak lagi sendirian. Sebuah senyuman tipis mengembang di wajah keduanya, mengusir rasa takut yang selama ini menghantui.
Larasati merasakan iba yang mendalam melihat Harry yang masih kecil harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan orang tua. Ia pun mengajak Harry untuk bersama-sama mencari jalan keluar. Hari demi hari mereka lalui bersama, belajar menghargai arti keberanian dan kerja sama. Mereka menyadari, bersama, tak ada yang tak mungkin.
Suatu hari, saat menyusuri sungai mencari ikan, Larasati berkata, “Wah, sepertinya tempat ini cocok untuk kita tinggali.” Harry mengamati sekelilingnya. “Iya, Kak. Bagaimana kalau kita bangun gubuk di sini?”
Maka, dimulailah pembangunan gubuk sederhana di pinggiran hutan, dekat sungai yang tenang. Mereka mengumpulkan daun-daun dan ranting kering untuk dijadikan dinding dan atap.
Harry membangun pondasi dengan kayu-kayu kuat yang ia temukan, sementara Larasati merangkai daun dan ranting menjadi dinding yang
kokoh.
Langit mulai meremang, tanda malam akan segera tiba. Larasati dan Harry bekerja lebih giat, hingga akhirnya gubuk sederhana mereka selesai. Rasa lelah terbayar lunas dengan senyuman puas saat mereka memandang hasil kerja keras mereka.
“Kami berhasil!” Larasati berseru kegirangan.
“Iya, sekarang kita punya tempat berlindung,” sahut Harry, tak kalah
gembira.
Di gubuk berukuran 4×4 meter, beratapkan daun dan berdindingkan ranting, Larasati dan Harry menemukan kedamaian. Api unggun yang membara di depan gubuk menghangatkan tubuh mereka, juga hati mereka yang pernah merasakan dinginnya kehilangan. Di tengah hutan belantara, mereka membangun harapan baru, bersama-sama.
Lima tahun berlalu, waktu menorehkan perubahan pada diri Larasati dan Harry. Harry, ditempa kerasnya hidup di alam liar, tumbuh menjadi remaja gagah, tinggi menjulang, tak seperti anak seusianya yang baru menginjak 13 tahun.
Sementara Larasati, di usianya yang ke-18, bersinar menjadi gadis cantik, kulitnya seindah kayu
manis, wajah oval dengan lesung pipit yang menawan.
Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Lima tahun mengajarkan Larasati dan Harry arti bertahan hidup di kerasnya alam liar. Hutan yang awalnya terasa asing, perlahan menjadi rumah.
Mereka belajar banyak hal. Berburu, meramu obat dari tumbuhan herbal, membaca tanda-tanda alam, bahkan membangun perangkap untuk hewan buas.
Larasati, dengan jiwa keibuannya, selalu memastikan Harry makan dengan teratur. Ia pandai menemukan umbi-umbian dan buah-buahan di hutan. Tangannya terampil menjalin jerat dari rotan untuk menangkap ikan di sungai. Harry, meski usianya lebih muda, tumbuh menjadi pemberani.
Ia belajar berburu menggunakan tombak buatan Larasati. Tak jarang, ia pulang membawa kelinci hutan atau burung pheasant hasil tangkapannya.
Malam hari, di bawah cahaya api unggun, Larasati akan mengajarkan Harry membaca dan berhitung, membaca jejak binatang, mengenali jenis-jenis tanaman, dan menghitung waktu berdasarkan posisi bintang. Harry selalu mendengarkan dengan seksama, sesekali melempar pertanyaan yang membuat Larasati tersenyum gemas.
Gubuk yang dulunya hanya berukuran 4×4 meter, kini bertambah luas. Dindingnya diperkuat dengan kayu-kayu kokoh hasil temuan Harry di hutan. Atapnya tak lagi terbuat dari daun-daun kering, melainkan anyaman daun kelapa yang lebih rapat dan tahan air.
Di dalamnya, terdapat dua buah dipan sederhana beralaskan kulit binatang hasil buruan Harry. Sebuah tungku api kecil berdiri di sudut ruangan,selalu menyala setiap malam untuk mengusir dingin dan hewan buas.
Kehidupan mereka memang jauh dari kata nyaman. Hujan deras dan serangan binatang buas menjadi santapan sehari-hari. Namun, di tengah keterbatasan itu, terjalin kebersamaan yang tulus. Larasati dan Harry, dua jiwa yang bersatu karena takdir, menemukan keluarga dalam pelukan hutan belantara.
Suatu malam, cahaya rembulan menjadi saksi bisu kehangatan yang terjalin di antara keduanya. Larasati dan Harry terlelap dalam pelukan di gubuk sederhana mereka.
Tiba-tiba, suara gaduh memecah kesunyian malam, membangunkan mereka dari mimpi. Saling berpandangan, rasa penasaran memaksa mereka untuk mengintip keluar.
Dua siluet besar terlihat di tengah gelapnya malam. Dua pasang mata tajam menatap mengancam dari kejauhan. Jantung Larasati dan Harry berdetak kencang, bulu kuduk meremang. Dua ekor serigala besar berdiri dengan gagahnya, tak jauh dari gubuk mereka.
“Apa yang harus kita lakukan, Harry?” tanya Larasati, suara gemetar mengkhianati rasa takutnya.
“Tenang, kita harus siap bertahan,” jawab Harry, berusaha tegar. Kedua serigala itu semakin mendekat, memperlihatkan taring tajamnya. Larasati dan Harry bangkit, saling menguatkan.
Tak ada kata menyerah. Mereka harus berani!
“Kita bisa lawan mereka! Bersiap!” teriak Harry lantang.
Harry segera meraih sebatang kayu besar, sementara Larasati mencengkeram erat tombak bambu runcing andalannya. Mereka berdiri berdampingan, siap menghadapi serangan mematikan.
Dengan gerakan secepat kilat, kedua serigala itu menerjang. Larasati dan Harry bergerak lincah, menghindari cakar dan taring tajam yang siap mengoyak. Lima tahun hidup di hutan telah menempa mereka menjadi tangguh.
“Kita pasti bisa, Kak Laras! Jangan menyerah!” teriak Harry sambil terus melawan serigala di hadapannya.
Larasati tak gentar sedikit pun. Ia terus mengayunkan tombak bambu runcingnya dengan segenap kekuatan. Kedua remaja itu bahu-membahu, saling melindungi, melawan ancaman yang menghadang.
Gerakan mereka lincah, lahir dari insting bertahan hidup yang diasah selama bertahun-tahun di hutan belantara.
Akhirnya, setelah pertarungan sengit, kedua serigala itu terdesak. Dengan geraman frustrasi, mereka berbalik dan lari menghilang ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan Larasati dan Harry yang berdiri tegak penuh kemenangan.
“Kita berhasil, Harry! Kita benar-benar hebat!” seru Larasati, senyum cerah mengembang di wajahnya.
“Kita tim yang hebat, Kak! Kita bisa melakukan apa pun jika kita bersama,” balas Harry, mengangguk penuh semangat.
Malam itu, kehangatan api unggun terasa berbeda. Bukan hanya menghangatkan tubuh, tapi juga hati mereka yang dipenuhi rasa syukur dan kebersamaan. Mereka telah melewati satu lagi ujian berat, dan ikatan batin di antara mereka semakin kuat.
Hidup di hutan memang penuh tantangan. Setelah pertemuan dengan dua serigala buas itu, Larasati dan Harry masih harus berjibaku dengan berbagai rintangan lain.
Hujan deras kerap menghancurkan atap gubuk mereka, memaksa mereka bekerja ekstra untuk memperbaikinya agar tetap teduh. Angin kencang yang menerpa menguji kekuatan gubuk sederhana itu. Air hujan yang mereka tampung menjadi satu-satunya sumber air bersih, dan kadang kala bahkan itu tak cukup.
Kelaparan juga menjadi ancaman yang selalu menghantui. Saat musim kemarau tiba, mereka harus berjuang lebih keras untuk menemukan makanan.
Larasati pernah jatuh sakit, demam tinggi karena perubahan cuaca yang ekstrem. Harry pun pernah
mengalami cedera ketika tengah memperbaiki gubuk mereka.
Namun, tantangan terbesar bukanlah rintangan fisik, melainkan pergulatan batin dan emosi. Rasa terisolasi dan kesepian sering kali menyerang di tengah sunyinya hutan belantara, meski sesekali mereka bertemu dengan penduduk desa atau pergi ke desa terdekat untuk menjual hasil buruan dan menukarnya dengan kebutuhan
sehari-hari.
Pertengkaran kecil sesekali terjadi karena perbedaan pendapat tentang cara bertahan hidup. Namun, setiap kali menghadapi tantangan, mereka belajar untuk saling menguatkan, mencari solusi bersama, dan mengingatkan diri
bahwa mereka tidak sendirian.
Di antara semua kesulitan itu, mereka juga menemukan kekuatan dalam hubungan mereka. Saat mereka berpelukan di malam hari, merasakan kehangatan satu sama lain di bawah cahaya api unggun, mereka menyadari bahwa meskipun sulit, hidup bersama di hutan telah membuat mereka lebih kuat dan lebih dekat satu sama lain.
Dengan setiap masalah yang mereka atasi, Larasati dan Harry semakin yakin bahwa semangat mereka dapat mengatasi semua rintangan. Meskipun hidup mereka di hutan penuh dengan tantangan, mereka menemukan kebahagiaan yang tak ternilai dalam setiap momen yang mereka bagi bersama.
Waktu terus berlalu tanpa berhenti. Larasati dan Harry telah mengenal satu sama lain sejak mereka masih kecil. Mereka saling bahu-membahu, dan membangun tempat berlindung bersama di pinggir hutan yang indah.
Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata perasaan Larasati dan Harry mulai tumbuh menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Larasati berusia 23 tahun dan Harry 18 tahun.
Mereka telah tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki perasaan cinta yang mendalamsatu sama lain.
Meskipun tinggal bersama di gubuk itu, mereka masih menjaga pandangan mereka terhadap satu sama lain. Mereka tidak pernah mengungkapkan, namun mereka mengetahuiperasaan itu.
Larasati dan Harry duduk diam di depan api unggun, merenungkan perasaan baru yang muncul di antara mereka. Larasati memperhatikan raut wajah Harry yang penuh perhatian saat memandanginya, dan dia merasa getaran aneh di dadanya. Apa ini yang orang tua sering bicarakan tentang cinta? Pikirnya dalam hati.
"Aku merasa aneh, Harry," kata Larasati dengan ragu, matanya menatap api dengan ekspresi campuran antara kebahagiaan dan kecemasan. "Seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan antara kita."
Harry tersenyum lembut, mengangguk setuju. Ia mengambil tangan Larasati dalam genggamannya, merasakan detak jantungnya yang berpacu. "Aku juga merasa begitu, Kak," ucapnya pelan. "Mungkin... mungkin kita memang
ditakdirkan untuk bersama lebih dari sekadar teman."
Mata mereka saling bertemu, dan dalam pandangan itu, Larasati merasakan betapa nyata dan mendalamnya perasaan yang tumbuh di antara mereka.
Hari dan bulan terus berlalu, mereka tetap menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Suatu hari, hujan badai melanda gubuk mereka, atap gubuk itu bocor dan air hujan masuk dengan deras. Larasati dan Harry pun basah kuyup dan merasa kedinginan. Secara tanpa sadar, mereka berdua berpelukan untuk saling menghangatkan badan.
"Dingin sekali, Harry," ucap Larasati sambil mempererat pelukannya pada tubuh Harry mencoba menghangatkan diri.
"Ayo kita pindah ke tempat yang lebih kering, Kak," ajak Harry sambil memegang tangan Larasati dan membawanya ke sudut lain dari gubuk.
Mereka duduk berdampingan, saling berpelukan untuk mengusir rasa dingin. Namun, tanpa disadari, sentuhan kulit mereka yang basah satu sama lain membuat hati mereka berdetak lebih kencang.
"Kak Laras, aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aneh sekali," ucap Harry sambil memandang mata Larasati dengan penuh kekhawatiran.
"Apakah kamu merasakan hal yang sama, Harry?" tanya Larasati dengan nada ragu.
Harry mengangguk pelan sambil tersenyum penuh arti. "Aku tidak tahu bagaimana ini terjadi, tapi rasanya aku merasa lebih dari sekadar sahabatmu, Kak Laras."
Larasati merasa dadanya berdesir kencang. Dia menyadari bahwa perasaannya terhadap Harry juga tidak lagi sebatas persahabatan. Ada getaran yang berbeda di antara mereka, sebuah perasaan cinta yang tumbuh di antara mereka.
Mereka saling menatap dengan mata penuh kehangatan. Tanpa mereka sadari, jarak di antara mereka semakin berkurang. Dan akhirnya, bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang penuh cinta dan kehangatan.
Larasati merasakan dadanya sesak, terhimpit perasaan baru yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehangatan tangan Harry yang menguatkan genggamannya, membuat ia larut dalam arus perasaan itu. Aroma tubuh Harry yang maskulin, bercampur bau kayu bakar dan hujan, semakin menyihir logikanya.
“Sudah lama aku memendam rasa ini, Kak Laras. Aku mencintaimu,” bisik Harry, suaranya bergetar.
Larasati terpaku. Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinganya, membuat hatinya bernyanyi. Perlahan, ia mengangkat wajahnya, menatap mata Harry yang penuh harap. Sebuah senyum manis mengembang di bibirnya.
“Aku juga mencintaimu, Harry. Sejak lama.”
Ucapan itu keluar begitu saja, tulus dari lubuk hatinya. Tak ada lagi keraguan, tak ada lagi ketakutan. Hanya ada kepastian dan kebahagiaan yang meluap-luap.
Malam itu, hujan masih turun dengan derasnya. Namun, di dalam gubuk kecil itu, tercipta kehangatan yang tak mampu diredam dinginnya malam. Mereka larut dalam pelukan, menikmati detik-detik pertama kisah cinta mereka yang baru saja bersemi.
Hari-hari berganti, kebersamaan mereka semakin erat. Setiap pagi, Harry akan bangun lebih
awal, memastikan api unggun tetap menyala dan mempersiapkan sarapan sederhana untuk mereka. Larasati, di sisi lain, akan menyisir rambut panjangnya dengan ujung ranting kayu, sesekali mencuri pandang ke arah Harry yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Saat berburu, Harry menjadi lebih protektif. Ia selalu berada di depan, melindungi Larasati dari bahaya. Larasati pun tak kalah peduli. Ia selalu menyiapkan ramuan herbal untuk mengobati luka kecil Harry sepulang berburu.
Malam hari, di bawah cahaya rembulan, mereka akan bercerita tentang mimpi dan harapan mereka. Larasati bermimpi untuk bisa kembali ke desa dan menemukan orang tuanya. Harry berharap bisa membangun sebuah rumah kayu yang kokoh untuk Larasati, tempat di mana mereka bisa hidup bahagia selamanya.
Cinta mereka tumbuh di tengah keterbatasan, namun justru itulah yang membuatnya semakin kuat dan bermakna. Mereka belajar untuk saling menghargai, saling melindungi, dan saling menguatkan di setiap langkah perjalanan hidup mereka.
***
“Kita akan membangun rumah kita yang baru dan lebih besar lagi sendiri di sini, Kak Laras,” ujar Harry, matanya berbinar-binar. “Kita akan hidup bahagia bersama dan menikmati keindahan alam ini setiap hari.” Ia meremas tangan Larasati dengan penuh kasih sayang, seolah meyakinkan gadis itu akan mimpi mereka.
“Aku sangat menyukainya, Harry,” jawab Larasati, senyum bahagia terpancar di wajahnya. Entah mengapa, ia tiba-tiba membayangkan Harry kecil berlarian di depan matanya, tawa riangnya memenuhi ruangan. “Aku juga tidak sabar untuk memulai kehidupan baru bersamamu di tempat yang indah ini.”
Sebuah ciuman lembut Harry mendarat di kening Larasati, menyalurkan segenap perasaan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Mereka larut dalam kebahagiaan yang sederhana, namun begitu berarti.
Cinta mereka telah menyatukan dua jiwa yang kesepian, menciptakan harapan baru
di tengah keterbatasan.
Di pagi yang tenang. Mentari baru saja mengintip di balik rerimbunan daun, menyapa hutan dengan hangatnya cahaya. Larasati dan Harry, seperti biasa, bersiap untuk berburu. Senjata andalan mereka diperiksa dengan seksama, sebelum akhirnya mereka melangkah keluar dari gubuk, menyusuri jalan setapak yang telah begitu familiar.
Canda tawa mewarnai perjalanan mereka. Namun, ada yang berbeda hari itu. Seolah ada aura magis yang
menyelimuti hutan, membuat langkah mereka penuh penuh antisipasi.
Tiba di sebuah lembah tersembunyi, mata mereka tertuju pada sebuah objek yang tak biasa. Sebuah batu
besar, berkilauan tertimpa sinar matahari, tertanam kokoh di tanah.
“Kakak, lihat!” seru Harry,matanya berbinar-binar. “Batu apa itu?” Larasati mendekati batu itu dengan hati-hati. Permukaannya halus, memancarkan kehangatan yang aneh. “Akubelum pernah melihat batu seperti ini. Rasanya… istimewa.”
Sebuah energi tiba-tiba mengalir ke tubuh mereka saat menyentuh batu itu. Larasati merasakan kekuatan baru
mengalir di dalam dirinya, sementara Harry merasakan ketenangan yang luar biasa.
“Aneh…” gumam Larasati. “Akumerasa… kuat. Seolah energi ini mengalir ke dalam diriku.”
“Aku juga, Kak,” sahut Harry,matanya tak berkedip. “Apakah ini… keajaiban?”
Kebingungan dan kekaguman bercampur menjadi satu. Mereka sadar, ada sesuatu yang besar tengah terjadi,
sesuatu yang melampaui nalar dan logika.
“Harry,” Larasati berbicara dengan nada serius, “apa yang seharusnya kita lakukan dengan kekuatan ini?”
Harry terdiam sejenak, mencerna pertanyaan itu dalam-dalam. “Aku tidak yakin, Kak. Tapi… mungkin ini adalah
kesempatan untuk kita berbuat baik. Melindungi hutan ini, dan orang-orang di sekitar kita.”
Didorong oleh rasa ingin tahu yang besar, Harry dan Larasati memutuskan untuk menjelajahi lebih dalam ke
jantung hutan. Mereka percaya, batu ajaib itu bukanlah satu-satunya keajaibanyang tersembunyi.
Langkah kaki mereka membawa mereka menyusuri jalan setapakbaru, menembus rerimbunan pohon yang semakin lebat.
Di sebuah lahan terbuka, mereka menemukan sesuatu yang membuat mata mereka terbelalak. Berbagai macam tanaman obat tumbuh subur di sana, beberapa di antaranya bahkan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Warna-warni bunga dan aroma harum menyebar di udara,menciptakan suasana magis yang kental.
“Di tengah-tengah taman obat itu, tergeletak sebuah buku kuno. Sampulnya yang terbuat dari kulit binatang memancarkan aura misterius, seakan menyimpan rahasia yang telah lama terpendam.
Aksara-aksara kuno yang samar dan asing bagi Larasati dan Harry terukir di sana, namun di beberapa halaman, terselip ilustrasi-ilustrasi detail tentang tanaman obat dan teknik pernapasan yang tampak familiar bagi mereka.
Gambar-gambar itu seperti membisikkan petunjuk, mengarahkan mereka untuk memahami isi buku. Dengan hati-hati, Larasati mengambil buku itu, meniup debu yang menempel, rasa penasaran menjalari hatinya.
“Buku apa ini, Kak?” tanya Harry, matanya terpaku pada sampul buku yang penuh teka-teki.
Larasati membuka buku itu perlahan. Lembar-lembarnya yang terbuat dari kulit kayu tipis, dipenuhi tulisan dan gambar-gambar tangan yang rumit. Meskipun aksara-aksara itu asing, ilustrasi-ilustrasi tanaman obat dan teknik pernapasan yang tersebar di beberapa halaman memberikan secercah harapan.
“Sepertinya… buku tentang ilmu pengobatan alami,” jawab Larasati, matanya menyisir setiap goresan tinta dan gambar. “Dan… cara menyerap energi dari alam.”
Tanpa dikomando, Larasati menepuk ruang kosong di sisinya, mengajak Harry untuk ikut menelusuri lembaran-lembaran kuno itu.
Harry menerima ajakan itu tanpa ragu, bahunya bersentuhan hangat dengan bahu Larasati. Bersama-sama, mereka tenggelam dalam misteri buku kuno itu, berharap bisa memecahkan kode dan mengungkap rahasia yang tersembunyi di dalamnya.”
Hari berganti hari, mereka tekun mempelajari ilmu yang terkandung di dalamnya. Tubuh mereka semakin kuat, panca indra mereka semakin tajam. Mereka bisa merasakan aliran energi di sekitar mereka, energi yang memberi mereka kekuatan yang luar biasa.
“Luar biasa…” bisik Larasati suatu hari. “Aku tidak percaya kita bisa sekuat ini.”
“Ini semua berkat batu ajaib itu, Kak,” sahut Harry, matanya berkilau. “Dan buku ini… buku ini membuka mata kita
akan kekuatan alam semesta.”
Namun, petualangan mereka belum berakhir. Suatu sore, saat sedang berlatih mengendalikan energi di dekat batu
ajaib, sebuah fenomena aneh terjadi. Sebuah portal berbentuk pintu muncul begitu saja di hadapan mereka, memancarkan cahaya keemasan yang menyilaukan.
“Pintu… ke mana itu?” tanya Harry, terperangah. Larasati menatap pintu itu dengan hati-hati. Rasa ingin tahu bercampur dengan sedikit kekhawatiran di dadanya. “Entahlah, Harry. Tapi… aku rasa kita harus masuk ke sana.”
Tanpa ragu, mereka bergandengan tangan, melangkah masuk ke dalam portal cahaya itu. Seketika, mereka terpental ke dimensi yang berbeda.
Setibanya di balik portal, mata Larasati dan Harry terbelalak kagum. Mereka berada di sebuah dunia yang sama
sekali berbeda! Langit biru membentang luas, dihiasi bintang-bintang yang berkilauan bak berlian bertaburan.
Pepohonan raksasa dengan daun emas berkilauan menjulang tinggi, menciptakan pemandangan yang sangat spektakuler. “Ini… ini luar biasa!” seru Larasati, suaranya penuh kekaguman.
Mereka melangkah masuk lebih dalam, menjelajahi dunia ajaib yang penuh dengan makhluk-makhluk aneh dan
tumbuhan-tumbuhan unik. Ada kelinci berbulu biru yang melompat-lompat riang, kupu-kupu sebesar layang-layang dengan sayap bercorak pelangi, dan bunga-bunga kristal yang memancarkan cahaya lembut. Semuanya terasa begitu nyata, meskipun seolah-olah diambil langsung dari mimpi.
Di tengah perjalanan, muncul sesosok makhluk raksasa dari balik pohon besar. Wujudnya seperti manusia, namun
bertubuh kekar dan berbulu emas lebat. Wajahnya bijaksana, dan matanya memancarkan kehangatan.
“Selamat datang di Dunia Ajaib,” sapanya dengan suara gemuruh yang menggelegar, namun terasa menenangkan.
“Tempat di mana hati adalah kunci untuk mengungkap keajaiban sejati.”
Larasati dan Harry terpaku, menatap makhluk raksasa itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa maksudmu dengan
‘hati ’, Tuan?” tanya Larasati dengan sopan.
Orang Hutan Emas itu tersenyum. “Keajaiban sejati hanya akan terungkap bagi mereka yang memiliki hati yang
tulus dan pikiran yang terbuka,” jelasnya. “Kebaikan, keberanian, dan kasih sayang adalah kunci untuk membuka rahasia dunia ini.”
Dan benar saja, selama berpetualang di Dunia Ajaib, Larasati dan Harry mengalami berbagai macam keajaiban. Mereka bertemu dengan berbagai makhluk, baik yang baik hati maupun yang licik. Mereka belajar tentang kekuatan alam yang luar biasa, dan merasakan sendiri keajaiban persahabatan, keberanian, dan cinta.
Namun, seperti halnya semua petualangan, perjalanan mereka di Dunia Ajaib pun harus berakhir. Saat waktunya
tiba untuk kembali, Larasati dan Harry merasa sedih harus meninggalkan tempat yang penuh keajaiban itu.
“Aku tidak akan melupakan petualangan ini,” bisik Harry, matanya menerawang jauh.
“Aku juga,” sahut Larasati. “Sekarang aku mengerti, keajaiban ada di mana-mana, asal kita memiliki hati
yang tulus dan pikiran yang terbuka.”
Mereka kembali ke lembah tempat mereka menemukan batu ajaib. Batu itu masih berada di sana, berkilauan lembut tertimpa sinar matahari. Namun, ada yang berbeda. Saat Larasati dan Harry menatapnya, batu itu perlahan-lahan menghilang, seolah menyatu kembali dengan tanah.
Sebelum benar-benar lenyap, seberkas cahaya terang memancar dari batu itu, memasuki tubuh Larasati dan Harry tanpa mereka sadari.
Saat cahaya dari batu ajaib menyatu dengan diri mereka, Larasati dan Harry merasakan kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuh. Seperti aliran energi yang menenangkan, mengisi setiap serat tubuh mereka dengan kekuatan baru. Mereka saling berpandangan, mata mereka berkilau penuh harapan dan kebahagiaan.
Dunia Ajaib memang telah mereka tinggalkan, namun kenangan dan pelajaran berharga yang mereka dapatkan akan terpatri selamanya di hati. Mereka kembali ke gubuk kecil mereka dengan semangat baru, siap menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
Hari-hari berlalu dengan dipenuhi canda tawa dan kehangatan cinta di antara Larasati dan Harry. Namun, takdir rupanya telah menyiapkan rencana lain untuk mereka.
Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, Harry bertemu dengan dua orang pemburu yang kelihatan kebingungan. Salah satu dari mereka mengalami cedera kaki yang cukup parah. Tulang kakinya patah, dan mereka tampak kehilangan harapan.
Tanpa ragu, Harry menawarkan bantuan. Ia ingat dengan ilmu pengobatan yang ia dapatkan dari buku kuno di Dunia Ajaib. Dengan perlahan dan hati-hati, Harry menyentuh kaki pemburu yang cedera itu, menyalurkan energi yang ia miliki.
Ajaib! Tulang yang patah itu bergeser kembali ke tempatnya, dan rasa sakit yang menyiksa berangsur-angsur hilang.
Berita tentang kemampuan Harry menyembuhkan dengan cepat menyebar di kalangan pemburu dan penduduk desa sekitarnya. Harry dan Larasati pun dikenal sebagai “Tabib Ajaib” dari hutan.
Sejak saat itu, hidup mereka berubah. Gubuk kecil mereka tak pernah sepi dari kunjungan orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
Harry, dengan keterampilan menyembuhkannya yang luar biasa, dan Larasati, dengan pengetahuan tentang tanaman obat warisan leluhur, menjadi penolong bagi siapa saja yang datang dengan penuh harapan.
Mereka menjalani hari-hari dengan penuh syukur, menggunakan “keajaiban” yang mereka miliki untuk membantu sesama. Kebahagiaan yang mereka rasakan tak ternilai harganya, jauh lebih berharga dari emas permata. Karena sesungguhnya, kebahagiaan terbesar adalah ketika kita bisa berbagi dan menebarkan kebaikan kepada sesama.
Senja itu, semburat jingga keemasan menyelimuti langit di atas hutan lebat. Harry dan Larasati sedang beristirahat di gubuk mereka setelah seharian yang panjang, aroma teh herbal mengepul lembut di antara mereka. Tiba-tiba, suara langkah tergesa-gesa memecah keheningan.
Dua orang pemburu, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran, muncul dari balik pepohonan. Mereka membawa serta seorang lelaki yang terbaring lemah, kakinya tertekuk dengan sudut yang tidak wajar.
“Tabib Ajaib,” ucap salah seorang pemburu dengan nada memohon. “Kami mohon pertolonganmu. Teman kami mengalami kecelakaan saat berburu. Kami sudah mencoba segala cara, tapi lukanya tak kunjung membaik.”
Harry, dengan ketenangan yang menenangkan, mengangguk. “Biarkan aku melihatnya.” Dengan gerakan hati-hati, mereka membantu lelaki yang terluka itu berbaring. Harry mendekat, matanya mengamati dengan seksama. Luka itu tampak parah, tulang keringnya patah. Larasati, dengan sigap, menyiapkan air hangat dan kain bersih.
Harry menarik napas panjang, memusatkan energinya. Cahaya keemasan samar terpancar dari tangannya saat ia menyentuh kaki yang terluka. Suasana hening mencekam, hanya terdengar desisan napas mereka yang menyaksikan.
Perlahan, luka itu mulai menutup, tulang yang patah menyatu kembali dengan ajaib. Wajah lelaki yang terluka itu, yang semula mengerut kesakitan, kini melunak.
“Aku…aku bisa merasakan kakiku lagi,” bisiknya tak percaya. “Terima kasih, Tabib Ajaib!”
“Kalian sungguh luar biasa,” tambah salah seorang pemburu, matanya berkaca-kaca. “Bagaimana kami bisa membalas budi?” Larasati tersenyum lembut. “Menolong sesama adalah kebahagiaan bagi kami.”
Kabar tentang kesembuhan ajaib itu menyebar dengan cepat bagai api yang melahap hutan kering. Reputasi Harry dan Larasati sebagai Tabib Ajaib semakin termasyhur. Orang-orang dari berbagai penjuru desa, bahkan dari desa-desa yang jauh, berbondong-bondong datang mencari pertolongan.
Setiap hari, gubuk kecil mereka dipenuhi dengan kisah pilu, harapan, dan rasa syukur yang tak terucapkan.
Di tengah hiruk pikuk itu, cinta Harry dan Larasati semakin kuat, terjalin erat oleh setiap kehidupan yang mereka sentuh, setiap senyuman yang mereka ciptakan.
Mereka adalah suar harapan, pancaran keajaiban di tengah hutan belantara. Dan kisah mereka, kisah Tabib Ajaib, terus bergema, abadi dalam bisikan angin dan gemericik air sungai.
Ketenaran Harry dan Larasati sebagai Tabib Ajaib telah merambah jauh melampaui batas hutan. Suatu hari,
seorang petani dengan wajah meringis kesakitan tertatih-tatih menuju gubuk mereka.
“Tabib Ajaib,” rintihnya, “aku mohon bantuanmu. Aku terjatuh dari pohon dan kakiku terkilir.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!