Praktik Harry dan Larasati kembali ramai. Pasien berdatangan silih berganti, tak hanya untuk berobat, tapi juga untuk melihat langsung sosok “pahlawan” yang telah menyelamatkan Kota Seroja dari teror para preman. Ketenangan dan kedamaian kembali menyelimuti klinik kecil itu.
Kebaikan hati Harry dan Larasati tak berhenti di situ. Mereka menggunakan sebagian besar penghasilan mereka untuk membantu warga miskin yang membutuhkan pengobatan. Tindakan mulia mereka membuat keduanya semakin dicintai dan dihormati oleh seluruh warga Kota Seroja.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa mereka, Walikota Seroja menghadiahi Harry dan Larasati sebuah rumah beserta isinya, lengkap dengan sebuah mobil untuk memudahkan mobilitas mereka.
Suatu sore yang tenang, saat keduanya sedang beristirahat di teras rumah baru mereka, Larasati menatap Harry dengan tatapan penuh cinta. “Harry,” ucapnya lembut, “aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu. Kau telah menyelamatkanku, kau melindungi warga kota ini, kau…”
Larasati tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia bangkit dari duduknya dan mencium bibir Harry dengan penuh perasaan. Harry menyambut ciuman Larasati, hatinya dipenuhi kehangatan.
“Kita saling menjaga, Laras,” bisik Harry di sela-sela ciuman mereka. “Aku adalah priamu, dan bersama-sama, kita akan menghadapi apapun yang datang.” Harry melepaskan ciuman mereka dan menatap mata Larasati dengan serius. “Laras,” ucapnya, “ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Apa itu, Harry?” tanya Larasati penasaran.
“Saat melawan para preman itu,” Harry memulai dengan ragu, “aku merasakan energi yang sangat kuat di dalam diriku. Kekuatan yang… luar biasa.”
Larasati mengerutkan keningnya, mencoba memahami maksud perkataan Harry. “Energi? Kekuatan? Apa maksudmu, Harry?”
Harry mengangguk. “Aku yakin, Laras. Kita berdua memiliki kekuatan ini. Ingat batu ajaib yang kita temukan di hutan itu? Aku yakin batu itu memberkati kita dengan sesuatu yang lebih dari sekadar ilmu pengobatan.”
Larasati terdiam sejenak, mengingat-ingat kembali kejadian di masa lalu. “Aku ingat batu itu, Harry,” jawabnya pelan. “Tapi aku tidak pernah merasakan sesuatu yang aneh.”
“Mungkin kau lupa, Laras,” kata Harry. “Atau mungkin kita belum sepenuhnya menyadari potensi kekuatan ini. Saat itu, ketika aku tidak melihatmu di klinik, aku tiba-tiba tahu di mana kau berada.
Dan ketika aku melihatmu diseret oleh para preman itu, ada sesuatu yang meledak di dalam diriku. Kekuatan yang sangat besar. Dan aku menggunakannya untuk menyelamatkanmu.”
Larasati terpaku mendengar penuturan Harry. Ia mencoba merasakan kembali kejadian saat itu, mencari tahu apakah ia merasakan hal yang sama. “Aku… aku rasa aku merasakan sesuatu saat itu, Harry,” ucapnya ragu. “Tapi aku tidak yakin.”
“Kita harus berlatih, Laras,” ajak Harry dengan penuh semangat. “Kita harus belajar mengendalikan kekuatan ini. Kita bisa menggunakannya untuk melindungi diri kita sendiri, dan yang lebih penting, untuk menolong orang lain.”
Larasati menatap mata Harry, melihat tekad dan semangat yang membara di sana. Ia pun mengangguk, mantap dengan keputusannya. “Baiklah, Harry,” jawabnya. “Kita akan belajar bersama. Kita akan mengungkap rahasia kekuatan ini.”
Harry tersenyum lega, merasa lega Larasati setidaknya terbuka untuk ide ini. "Kita lakukan bersama, Laras. Aku yakin kita bisa mengatasi semua rintangan yang ada di depan kita." Larasati mengembalikan senyuman Harry dengan mesra . "Ya, Sayang. Kita akan melakukannya bersama."
Dalam kesempatan ini, Harry terus mengingatkan Larasati tentang potensi kekuatan mereka yang terkait dengan batu ajaib, sementara Larasati awalnya meragukan keberadaan kekuatan itu dalam dirinya sendiri.
Namun, dengan dorongan Harry, mereka berdua akhirnya setuju untuk menjelajahi dan memahami lebih dalam tentang kekuatan yang mereka miliki.
Larasati beralih berdiri di depan jendela, menatap taman bunganya yang sedang mekar. Harry mendekat dari belakang, menyelipkan lengan di pinggang ramping Larasati dan menyandarkan dagunya di bahunya. Aroma melati samar dari rambut Larasati memenuhi indranya. “Kamu adalah yang paling utama, bagiku,” bisik Harry, suaranya rendah dan penuh perasaan.
Laras tersenyum, merasakan detak jantungnya semakin cepat. “Kamu hanya bilang begitu karena kamu suka memanjakanku,” jawab Laras, menggigit bibirnya, merasa geli dengan sentuhan Harry yang mulai terasa
panas di kulitnya.
Harry meraih tangan Laras, menghentikan gerakannya sejenak. “Tidak, aku serius,” katanya sambil memutar tubuh Laras agar menghadapnya. Tatapan mata mereka bertemu, intens dan sarat akan emosi yang tak terucapkan. “Kamu membuat segalanya terasa lebih baik.”
Laras tenggelam dalam sorot mata Harry, merasakan gelombang emosi yang tak terucapkan. Mereka berdiri begitu dekat, napas mereka menyatu. “Harry…” bisiknya pelan, tak mampu menyembunyikan
perasaannya lagi.
Harry menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Laras dengan lembut, namun dalam sekejap, ciuman itu semakin dalam, penuh dengan gejolak hasrat dan cinta yang membara. Laras mengalungkan tangannya di leher Harry, membiarkan dirinya terhanyut dalam pusaran emosi yang memabukkan.
Malam itu, mereka hanyalah dua insan yang saling mencintai, terlarut dalam bahasa cinta yang hanya mereka yang mengerti.
Kabut tebal menyelimuti Kota Seroja, meredupkan sinar mentari pagi dan menebarkan suasana mencekam. Bukan hanya kabut biasa, tapi juga kabut ketakutan yang kian hari kian pekat mencengkeram hati warganya. Sebuah wabah misterius menyerang kota itu, menumbangkan satu per satu penduduknya dengan gejala yang mengerikan:
demam tinggi, mual hebat, dan kelemahan yang melumpuhkan.
Di tengah kepanikan yang melanda, Harry dan Larasati tak tinggal diam. Klinik mereka dibanjiri pasien, namun mereka tak sanggup berbuat banyak karena belum mengetahui penyebab pasti penyakit tersebut.
Bersama para tabib dan dokter terkemuka di Kota Seroja, mereka berkumpul di ruang kerja Harry, berusaha mencari jawaban atas misteri yang mengancam nyawa banyak orang.
Sebuah peta besar Kota Seroja terbentang di atas meja, dipenuhi titik-titik berwarna yang menandai lokasi pasien-pasien pertama yang terjangkit wabah. Wajah-wajah tegang dan serius terlihat di ruangan itu, mencerminkan besarnya tanggung jawab yang mereka emban.
“Kita harus bertindak cepat sebelum wabah ini semakin meluas,” ucap Harry, suaranya berat. Matanya menyapu wajah rekan-rekannya, memancarkan tekad bulat untuk menemukan solusi.
“Kita perlu bekerja sama untuk mengidentifikasi pola dan penyebab di balik penyakit ini,” tambah Larasati. “Apakah ada informasi lebih lanjut tentang kontak-kontak awal yang bisa kita telusuri?”
Tabib Andi, seorang ahli epidemiologi yang juga disegani, angkat bicara. “Saya telah melakukan survei awal di antara pasien-pasien. Sepertinya ada pola tertentu dalam lokasi dan latar belakang mereka. Kebanyakan dari mereka memiliki kontak dengan air dari sungai tertentu atau tinggal di daerah dengan tingkat polusi udara yang
tinggi.”
Perhatian semua orang tertuju pada peta. Jari-jari mereka menelusuri aliran sungai yang membelah Kota Seroja, mencari titik temu antara lokasi pasien dan sumber air tersebut.
“Sungai-sungai ini adalah jalur utama polutan di kota kita,” ujar Dokter Rina, seorang ahli lingkungan yang sudah lama mempelajari ekosistem Kota Seroja,dari Rumah Sakit Daerah“ Kemungkinan ada hubungan
yang kuat antara kualitas air dan munculnya penyakit ini.”
“Kita perlu mengambil sampel air dan tanah dari daerah-daerah ini untuk analisis lebih lanjut,” usul Tabib Budi, seorang ahli toksikologi. “Kita juga harus memeriksa pabrik-pabrik dan instalasi industri di sekitar sungai-sungai ini. Bisa jadi ada zat berbahaya yang mencemari lingkungan.”
Tanpa membuang waktu, Harry, Larasati, dan timnya segera bergerak. Mereka membagi tugas, mengumpulkan sampel air dan tanah dari berbagai titik di sepanjang sungai, serta menyelidiki pabrik-pabrik yang dicurigai sebagai sumber pencemaran.
Perjuangan mereka melawan waktu telah dimulai. Wabah misterius itu harus segera dihentikan sebelum semakin banyak korban berjatuhan.
Hari-hari berganti, Harry, Larasati, dan timnya bekerja tanpa lelah di laboratorium. Berbagai sampel air dan tanah dari berbagai penjuru kota mereka teliti, berharap menemukan petunjuk tentang penyebab wabah misterius ini.
Namun, seakan takdir menguji tekad mereka, rintangan demi rintangan menghadang jalan mereka.
Tekanan datang dari berbagai arah. Pihak-pihak tak dikenal mulai melancarkan teror, mencoba menghentikan penyelidikan mereka.
Ancaman dan intimidasi ditujukan kepada para tabib dan dokter yang terlibat. Pesan-pesan ancaman diterima melalui telepon atau diselipkan di tempat-tempat tak terduga. Ketakutan mulai merayap di hati sebagian orang, namun tidak bagi Harry dan Larasati.
“Kita tidak boleh menyerah, Laras,” ucap Harry suatu malam, matanya memancarkan tekad baja. “Nyawa banyak orang bergantung pada kita.”
“Aku tahu, Harry,” jawab Larasati, genggaman tangannya di meja laboratorium mengerat. “Tapi aku khawatir. Ancaman ini semakin menjadi-jadi.”
DaN Kekhawatiran Larasati terbukti. Suatu malam, ketika Harry sedang asyik menganalisa sampel air di laboratorium, telepon di meja kerjanya berdering nyaring. Larasati di ujung sana, suaranya dipenuhi kepanikan.
“Harry! Cepat pulang! Ada yang mencoba masuk ke rumah!”
Tanpa pikir panjang, Harry melempar jas labnya dan berlari keluar dari laboratorium. Jantungnya berdebar kencang, pikirannya dipenuhi bayangan Larasati dalam bahaya. Ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, menerobos pekatnya malam di Kota Seroja.
Sesampainya di rumah, Harry mendapati tiga orang tak dikenal sedang berusaha mendobrak pintu rumahnya. Tanpa ragu, ia menerjang mereka dengan kekuatan yang tak terduga. Pukulan dan tendangannya menghantam para penyusup itu dengan akurat dan mematikan. Teriakan kesakitan memecah keheningan malam.
Dalam hitungan menit, ketiga penyusup itu terkapar tak berdaya. Harry segera menghubungi polisi, sementara Larasati keluar dari tempat persembunyiannya, wajahnya pucat pasi.
“Kalau terlambat sedikit saja…” bisik Larasati, suaranya bergetar.
Harry memeluk Larasati erat, menyalurkan rasa tenang dan perlindungannya. “Aku di sini sekarang,” bisiknya lembut. “Tidak akan kubiarkan siapa pun menyakitimu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments