Siang itu Sonya pulang ke rumah, meninggalkan Samuel yang tidak ingin meninggalkan Hanum seperti biasanya. Sonya mau tidak mau pulang sendirian menggunakan taksi. Ia memang ada keperluan siang itu dan memang tidak bisa di tunda lagi. Hingga menjelang sore Sonya belum kembali, namun Pratama tampak mampir ke rumah sakit saat mendengar sang mama tidak ada di rumah sakit. Entah kenapa hatinya menuntun untuk kembali ke ruangan Hanum.
Ceklek!
"Assalamualaikum,"
"Wa'akaikumsalam bang Tama." Samuel yang sedang duduk di sofa mendongak dan menjawab salam abangnya. Ia tersenyum saat melihat tentengan yang ada di tangan Pratama. Martabak durian ke sukaannya. Ya, Pratama memang selalu membawakan makanan ke sukaan adiknya setiap kali pulang dari cafe.
Samuel langsung membuka kotak martabak tersebut dan melahap makanan itu setelah mencuci tangan di kamar mandi. Pratama ikut duduk di samping adiknya. Namun matanya menatap Hanum yang tengah tertidur setelah melaksanakan shalat ashar, pasalnya punggungnya terasa ngilu dan butuh istirahat.
"Abang Tama mau?" Samuel menyodorkan sepotong martabak, tumben-tumbenan Samuel langsung menawarkan tanpa di minta.
Namun Pratama yang sedang tidak minat hanya menggelengkan kepalanya. Ia lebih menikmati memandang wanita bercadar yang sedang terlelap dengan tenang.
Samuel tidak lagi memperdulikan abangnya. Ia bergoyang-goyang sembari menikmati martabak itu. Setiap kali ia menyukai sesuatu, Samuel akan berjoget-joget kegirangan, memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
Tak terasa sudah hampir masuk waktu magrib, Hanum terjaga mendengar suara ketawa Samuel yang sedang mengerjai abangnya. Ia tersenyum menatap dua lelaki yang tampak akur tersebut. Memang begitulah mereka, terkadang akur dan terkadang ribut.
Tepat saat Samuel bermain dengan abangnya, ia menoleh ke arah Hanum, dan langsung mendekat saat Hanum memperhatikannya dan abangnya.
"Hahaha, Abang jelek seperti itu! Eh, Anum sudah bangun?" Ia duduk di samping Hanum dan tersenyum lebar. Hanum balas tersenyum di balik cadarnya. Pratama memperhatikan interaksi antara adiknya dengan Hanum. Betapa ia merasa iri dengan Samuel karena bisa sedekat itu dengan Hanum tanpa ada rasa canggung.
"Kenapa gue malah cemburu, apa gue mulai suka dengan Hanum? Apa Aku harus menjadi seperti si Sam agar bisa dekat dengan kamu Num?" Pratama membatin dan terus menatap dua orang yang memiliki ruang tersendiri di hatinya. Entah sejak kapan Hanum masuk ke relung hatinya yang terdalam.
Hanum yang hendak berdiri membuat Pratama reflek berdiri dan ingin membantu Hanum. Saat Hanum sudah berdiri dengan sempurna dan melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi untuk shalat magrib, ia tersandung dengan kakinya sendiri, Pratama reflek menangkap tubuh Hanum, sehingga Hanum tidak terjatuh ke lantai.
Bugh!
Hanum jatuh tepat di pelukan Pratama. Mereka sama-sama terdiam, dan dengan cepat Hanum memberi jarak di antara mereka. Jantung mereka sama-sama berpacu, Namun, perasaan yang di rasakan oleh Pratama justru berbeda. Entah kenapa kejadian barusan membuat perasaannya semakin tak karuan.
"Terimakasih mas Tama." Hanum merasa canggung. Ia segera berjalan ke arah kamar mandi dan langsung menutup pintu kamar mandi.
"Bang Tama kenapa dekat-dekat dengan Anum-nya Muel sih. Awas ya dekat-dekat lagi." Samuel sangat tidak suka melihat Hanum dekat dengan Tama. Namun Tama yang masih dengan perasaannya tidak memperdulikan perkataan sang adik. Ia ke luar dari ruang perawatan itu menuju ke mushalla. Entah sejak kapan ia semakin rajin beribadah. Pasalnya ia merasa malu sendiri jika Hanum tahu ia tidak shalat.
Hanum seperti biasa shalat di ruang perawatan, Samuel juga shalat sendiri. Mereka sama-sama menyelesaikan shalat tiga rakaat walaupun tidak berjamaah.
"Anum, Anum tahu, kita seperti mama dan papa. Mama dan papa selalu shalat bersama. Anum dan Muel juga sama." Entah apa maksud perkataan pemuda tersebut. Namun Hanum tidak terlalu memikirkan perkataan Samuel, kadang Samuel memang suka mengatakan hal-hal aneh.
Ruangan itu tak pernah sunyi sebelum Samuel tertidur, ia terus bersuara membuat Hanum tidak kesepian sama sekali.
Sedangkan di lobby rumah sakit, Pratama yang ingin kembali ke ruang perawatan Hanum menerima panggilan telfon dari sang mama. Ternyata mamanya meminta Pratama untuk menemani Samuel di rumah sakit, mengingat putra bungsunya pasti tidak akan mau pulang sebelum Hanum pulang. Jadilah malam itu Pratama ikut menjaga Hanum di rumah sakit. Namun ia kembali ke ruang perawatan Hanum setelah isya sekitar pukul setengah sembilan sembari menenteng tiga bungkus nasi Padang.
Ceklek!
"Bang Tama kemana? Muel sudah lapar sedari tadi. Itu makanan untuk Muel?" Samuel langsung mencerca abangnya saat Pratama baru saja membuka pintu ruang perawatan itu. Ia tersenyum saat melihat apa yang di bawa oleh Pratama dan mencium aroma wangi dari kantong tersebut.
"Makan aja tahu Lo. Udah sana cuci tangan." Samuel menurut. Ia mencuci tangan dan Tama menyiapkan tiga piring nasi Padang di piring yang memang di bawa olehnya tadi pagi. Ia menyerahkan bagian Hanum terlebih dahulu. Melupakan kecanggungan yang sempat terjadi.
"Terimakasih mas, tahu saja Hanum bosan makanan rumah sakit." Tak menyahut, Pratama hanya berdeham pelan."
"Hhmm..." Samuel bergabung di sofa panjang bersama abangnya. Mereka menikmati makan malam itu dengan situasi yang berbeda. Setelah selesai makan, Pratama membersihkan kertas bungkus makanan mereka dan membuangnya ke tempat sampah, termasuk punya Hanum. Bahkan ia berinisiatif membantu Hanum untuk meminum obatnya. Seketika Hanum merasa tertegun dengan kebaikan Pratama. Ia tak menyangka lelaki dingin ini memiliki sifat yang begitu baik.
Selepas makan Pratama menyuruh adiknya untuk tidur, ia bahkan menepuk-nepuk punggung Samuel pelan hingga Samuel terlelap. Terkadang Pratama memang sedewasa itu sebagai Abang. Hanum lagi-lagi melihat sisi Pratama yang berbeda. Ternyata Pratama tidak sekaku dan seburuk itu. Don't judge a book by is cover (jangan menilai seseorang dari sampulnya).
Sadar akan di perhatikan, Pratama menatap ke arah Hanum. "Kenapa menatap saya seperti itu?" Hanum terlihat salah tingkah, namun ia tetap menjawab pertanyaan Pratama dengan tenang.
"Ternyata mas Tama sesayang itu dengan Muel. Muel beruntung memiliki Abang yang sayang kepada mas Tama." Seketika ia teringat abangnya yang ada di kampung. Ia juga memiliki Abang, namun abangnya sama sekali tidak memperlakukan ia dengan baik, yang ada justru sebaliknya. Bahkan abangnya selalu mengancam dirinya jika tidak di kirimkan uang.
Pratama melihat wajah Hanum seketika sendu. Kenapa ia jadi tidak senang melihat ekspresi itu. "Saya tidak sebaik itu, saja juga terkadang suka menjahili Sam dan sering kesal dengan Sam. Tapi saya juga tidak bisa membencinya. Sam seperti memiliki magnet tersendiri di dalam keluarga kami. Dia memberikan warna untuk keluarga kami. Bahkan saya sulit membencinya." Seketika sebuah senyuman tipis muncul di wajah Pratama dan nyaris tak terlihat.
Mereka larut dengan pikiran masing-masing. Ternyata mereka memiliki cerita yang masing-masing berbeda. Namun siapa yang bisa menentukan harus memiliki takdir baik, semua itu tentu atas kehendak Yang Maha Kuasa. Tergantung kesanggupan masing-masing hamba-Nya
......................
...To Be Continued...
Assalamualaikum teman-teman Salju. Terimakasih kepada teman-teman yang masih bertahan di karya author sejauh ini. Jangan lupa tinggalkan jejak, happy reading 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Rina Nurvitasari
semangat terus thor...
jadi bingung jodoh'ya Hanum siapa🤔
2024-07-29
1