Hanum kini tengah shalat di atas bed hospital. Ia shalat dengan cara duduk karena tidak bisa menggerakkan punggungnya secara leluasa. Sonya dan juga Samuel shalat di ruangan itu. Entah benar atau tidak bacaan pemuda tersebut, yang jelas ia selalu melakukan kewajibannya. Sedari kecil Samuel memang selalu di ajarkan dengan penuh kesabaran oleh sang mama.
Selepas shalat, Sonya menerima telfon dari suaminya yang mengatakan tidak bisa mampir ke rumah sakit. Sebagai gantinya Pratama yang datang ke rumah sakit untuk membawa baju ganti dan juga sarapan untuk mama dan adiknya. Untuk Hanum tentu saja mendapatkan makanan dari rumah sakit.
Saat Sonya ke kamar mandi, Samuel menatap lekat mata indah itu. Seperti ada yang ingin di katakan oleh pemuda tersebut. "Muel kenapa menatap Hanum seperti itu?" Hanum melirik sekilas dan langsung mengalihkan pandangannya.
"Muel sedih lihat Anum terluka, Anum pasti kesakitan. Maafkan Muel Anum, tidak bisa menjaga Anum." Ia tertunduk sedih, Hanum seolah mengerti perasaan pemuda yang ada di hadapannya.
"Muel, Hanum terluka karena memang sudah takdir Hanum. Kita tidak bisa menghindari takdir, sekecil apapun takdir itu. Lain kali Hanum janji tidak akan terluka lagi, agar Muel tidak sedih seperti ini. Jika Muel sedih, Anum juga ikut sedih." Ia berkata dengan lembut. Samuel tersenyum mendengar perkataan Hanum. Ia tidak ingin Hanum ikutan sedih.
"Janji Anum!" Samuel mengarahkan jari kelingkingnya ke arah Hanum, Hanum mengikuti apa yang di lakukan Samuel walaupun mereka tidak bersentuhan, hanya sebatas simbol saja.
Melihat tawa itu membuat senyuman Hanum melebar. Ia selalu suka melihat tawa pemuda yang ada di hadapannya. Seolah tak ada beban dan membuat hatinya ikutan bahagia. Pratama yang baru saja tiba di depan ruang perawatan Hanum melihat dari luar interaksi antara Samuel dengan Hanum. Kenapa ia merasa cemburu, ada apa dengan dirinya.
Ceklek!
Mendengar suara pintu terbuka membuat Hanum dan Samuel menoleh. Pratama memasuki ruangan itu dengan wajah datarnya.
"Abang Tama, kata Anum kalau masuk itu ucap salam." Samuel menasehati, Pratama mendengus kesal, namun ia tetap melakukan apa yang di katakan adiknya. Kenapa ia menjadi malu sendiri di hadapan Hanum setelah di nasehati sang adik.
"Iya maaf, assalamualaikum."
"Wa'akaikumsalam,"
Saat Pratama melangkah mendekat, Sonya keluar dari kamar mandi. Pratama langsung menyalim sang mama dan meletakkan barang-barang mama dan adiknya di atas sofa yang ada di ruang perawatan tersebut, serta meletakkan sarapan yang ia bawa dari rumah di atas meja.
"Cepat sekali kamu datang nak. Baru juga jam enam lewat. Kamu tidak ke cafe?"
"Eh, iya ma, sekalian habis dari sini Tama langsung berangkat ke cafe. Ini sarapan dulu ma, tadi bibik yang buatkan." Ya, Pratama memang berniat langsung berangkat ke cafe miliknya. Namun yang menjadi pertanyaan dirinya sendiri, ia juga heran kenapa harus berangkat sepagi ini ke rumah sakit. Padahal biasanya ia ke cafe sekitar pukul sembilan. Karena pukul begitulah cafenya baru buka.
Sonya membuka kotak bekal itu, di dalamnya ada nasi uduk lengkap dengan lauknya. Serta bubur ayam untuk Hanum. Pratama sangat tahu jika makanan di rumah sakit tidak ada yang enak, jadi ia sekalian meminta si bibik untuk membuatkan bubur untuk Hanum.
"Ya sudah...Tama, ayo sarapan sekalian nak, kamu belum sarapan kan nak?" Tama tampak menganggukkan kepalanya, lalu melirik sekilas ke arah Hanum. Ia pikir ia bisa melihat kembali wajah cantik nan teduh itu, namun nyatanya Hanum sudah memakai kembali cadar miliknya.
Sonya mengambilkan bubur untuk Hanum dan ingin menyuapi Hanum terlebih dahulu, namun Hanum yang merasa tidak enakan mengambil mangkok berisi bubur tersebut dan memakannya sendiri. "Ayo sayang, sarapan dulu, biar ibu suapi."
"Eh, terimakasih Bu, Hanum makan sendiri saja." Sonya hanya tersenyum dan menyerahkan mangkok itu ke tangan Hanum. Akhirnya mereka semua sarapan bersama di ruang perawatan tersebut. Tak ayal Pratama terus saja melirik ke arah Hanum. Ternyata Samuel melihat ke arah mana pandangan abangnya.
"Abang Tama kenapa melihat Anum terus? bang Tama mau bubur Anum?"
Tama gelapan dan langsung mengalihkan pandangannya. Sonya dan Hanum melihat ke arah Tama yang terlihat gelapan. Pratama seolah menulikan perkataan sang adik. Ia tidak ingin mengaku jika ia sebenarnya memang mencuri pandang ke arah Hanum sedari tadi.
"Kenapa nak?"
"Tidak kenapa-kenapa ma, ayo ma di makan lagi. Si Sam saja ini ngomong aneh-aneh. Sejak kapan Tama melihat ke arah Hanum."
Sonya kembali menyantap sarapannya. Tak lagi bertanya kepada Pratama. Pratama lega karena sang mama percaya. Sedangkan Hanum sebenarnya menyadari jika Pratama sedari tadi melirik ke arah dirinya. Namun ia sama sekali tidak berani menatap Pratama.
Setelah sarapan, Pratama langsung pamit kepada sang mama. Ia tidak bisa berlama-lama di ruang perawatan tersebut. Ingin sebenarnya ia bertanya bagaimana kondisi Hanum. Namun itu tidak mungkin ia tanyakan, apalagi gengsinya sungguh besar. Melihat Hanum sudah sadar saja, sudah membuat Pratama lega.
"Ma, Tama berangkat dulu ya, mama hubungi saja Tama jika ada apa-apa." Ia langsung menyalim takzim sang mama sebelum mamanya membuka suara. Sebelum melangkah ke luar, Pratama kembali melirik ke arah Hanum. Namun kali ini tidak ada yang menyadari sama sekali. Ruang perawatan tersebut kembali di isi oleh mereka bertiga.
Sonya yang sudah kegerahan karena tidak mandi dari semalampun memutuskan untuk mandi di kamar mandi tersebut. Namun sebelum itu ia menyuruh putranya untuk mandi terlebih dahulu. Setelah Samuel mandi dan berganti baju, ia kembali duduk di samping Hanum. Sedangkan Sonya memasuki kamar mandi.
"Anum masih sakit ya?" Samuel melirik alat-alat rumah sakit. Ia meraba alat-alat medis tersebut.
"Tidak Muel, sudah berapa kali Muel bertanya pertanyaan yang sama, hem? Muel jangan khawatir, sebentar lagi Hanum pasti boleh pulang ke rumah." Hanum berkata selembut mungkin, Samuel hanya tersenyum mendengarnya perkataan Hanum.
......................
"Bagaimana pak, apa ada kabar mengenai tembakan yang terjadi kepada keponakan saya?"
Ya, Surya kini ada di kantor polisi. Ia mengaku jika Hanum adalah keponakannya agar polisi cepat mencari tahu informasi mengenai siapa yang menembak Hanum. Lebih tepatnya menargetkan putra bungsunya, namun malah Hanum yang tertembak.
"Sepertinya seseorang di belakang si pelaku bukan orang sembarangan pak. Kami sampai saat ini belum mendapatkan informasi apapun. Walaupun si pelaku sudah tertangkap, namun ia tidak mau bersuara dan mengatakan yang sebenarnya siapa orang di belakang mereka." Surya mendengus geram. Siapa sebenarnya orang itu. Kenapa harus putranya. Setahu dirinya ia tidak memiliki musuh, lantas apa yang di harapkan orang itu dengan melukai putranya.
"Saya mohon pak, terus cari tahu buktinya dan infokan segera kepada saya jika bos mereka telah tertangkap."
Surya meninggalkan kantor polisi itu. Ia terlihat berwibawa dengan langkah yang tegap. Tanpa Surya sadari ternyata ada yang mengawasi dirinya saat keluar dari kantor polisi.
"Lapor bos, dia baru saja keluar dari kantor polisi. Namun sepertinya dia tidak mendapatkan bukti apapun dari pihak kepolisian." Orang yang sedang mengawasi Surya sedang bertelfonan dengan bosnya. Lalu kembali menutup handphone itu dan mengikuti arah tujuan Surya.
......................
...To Be Continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Rina Nurvitasari
semoga segera ketangkep pelakunya
2024-07-28
1