Setelah membeli stok persediaan bahan masakan selama seminggu. Hanum kembali ke rumah kontrakannya. Namun entah apa yang terjadi, ia melihat barang-barangnya yang tidak seberapa tergeletak di luar rumah. Hanum berlari mendekati barang-barangnya yang sudah di keluarkan. Tak lama berselang seorang pemilik kontrakan keluar dari dalam rumah itu, Hanum mengerutkan keningnya menatap sang pemilik kontrakan. Ia heran kenapa barang-barangnya di keluarkan dari rumah itu, perasaannya kontrakannya masih ada sisa satu Minggu lagi.
"Assalamualaikum, maaf Bu Ningrum, kenapa barang-barang saya di keluarkan?" Rasanya dada Hanum sesak sekali, air matanya sudah hampir menetes jika ia tidak menahannya di hadapan wanita berusia sekitar empat puluhan itu. Ibu pemilik kontrakan melipat tangannya di depan dada, menatap Hanum dengan tatapan pongahnya.
"Rumah ini sudah saya jual, kamu silahkan pindah dari sini malam ini. Karena besok pemilik baru rumah ini akan menempati rumah ini." Tanpa berdosa ia berkata kepada Hanum. Hanum langsung menggelengkan kepalanya tak terima.
"Tapi Bu, masih ada seminggu lagi kontrakan saya hingga jatuh tempo. Jika memang rumah ini sudah ibu jual, beri saya waktu untuk mencari kontrakan baru bu. Ini sudah hampir malam, kemana saya harus mencari kontrakan pada malam hari begini." Hanum tetap berkata lembut dan santun walaupun sudah di perlakukan semena-mena oleh pemilik kontrakan. Hanum memang selalu menjaga adabnya di hadapan orang yang lebih tua. Tentu saja semua itu karena ajaran orang tuanya.
Pemilik kontrakan tidak mau tahu, ia sudah menerima lunas uang dari penjualan rumah yang di tempati Hanum. Ia ingin Hanum segera pergi tanpa mau peduli di mana Hanum tidur malam ini. Para tetangga keluar dari rumah mereka masing-masing dan hanya menatap iba wanita bercadar tersebut.
Hanum meremas gamis yang ia kenakan. Ia tidak boleh menangis dan menunjukkan sisi lemahnya di hadapan orang-orang. Ia harus kuat hidup di rantau orang. Begini sekali nasib menjadi orang bawahan. Selalu tidak pernah di hargai dan di perlakukan semena-mena oleh orang kalangan atas.
Hanum tersenyum getir di balik cadarnya. Meraih tas dan koper miliknya yang tidak seberapa. Walaupun sudah di perlakukan seperti itu oleh pemilik kontrakan, tapi Hanum tetap mengucapkan salam tanda ia menghormati orang yang lebih tua darinya.
"Baiklah Bu Ningrum, kalau begitu Hanum permisi, Assalamualaikum."
"Wa'akaikumsalam," jawabnya ketus.
Hanum berjalan menarik koper dan tas yang ia sandang meninggalkan tempat itu. Entah harus kemana ia malam ini. Azan magrib terdengar berkumandang. Kebetulan masjid terdekat tak jauh dari ia berjalan, Hanum pun melangkahkan kaki menuju masjid untuk melaksanakan tiga rakaat yang harus di segerakan.
Barang-barangnya ia letakkan di samping ia shalat. Ia melaksanakan shalat dengan khusyuk bahkan sampai meneteskan airmata. Cobaan apalagi ini yang menimpa dirinya. Belum lagi abangnya terus mengancamnya untuk di kirimkan uang. Sekarang ia harus terusir dari kontrakan yang masih tersisa seminggu lagi.
Selepas shalat Hanum bermunajat kepada Yang Maha Kuasa. Mengadukan segala keluh kesahnya kepada Allah SWT. Ia menangis sesenggukan di atas sajadahnya. Meratapi nasibnya yang entah bagaimana kedepannya. Namun ia sama sekali tidak marah dan membenci sang pencipta. Ia anggap ini adalah ujian hidupnya agar semakin dekat kepada-Nya. Ia pasrahkan segalanya dan memohon untuk di berikan ke ikhlasan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan demi cobaan yang terus melanda.
Hanum lanjutkan dengan wirid serta membaca ayat suci Al-Quran hingga waktu isya tiba. Selepas shalat Hanum menenangkan dirinya. Selagi masih pukul delapan, ia akan mencari kost-kostan terdekat. Ia menguatkan hatinya dan melangkahkan kaki dengan tegap dan menghadapi semuanya dengan lapang dada.
Kurang lebih setengah jam Hanum berjalan, ia belum juga mendapati rumah kontrakan atau kos-kosan baru. Bahkan perutnya sudah berbunyi sedari tadi. Namun untuk mengisi perutnya dalam keadaan saat ini pun membuat ia tak berselera.
"Kamu harus kuat Hanum." Hanum bermonolog dengan dirinya sendiri. Menatap langit dan menghembuskan nafas panjang.
"Sstt.. Sstt... Halo gadis manis, mau kemana malam-malam begini? Mendingan ikut kita, ya gak bro!" Hanum menoleh ke sumber suara. Ia ketakutan saat melihat dua orang lelaki berbadan besar menatap dirinya dengan lapar.
Hanum berjalan mundur dan bersiap lari dari dua lelaki tersebut. Namun belum sempat ia lari, tangannya di cekal oleh salah satu lelaki berbadan besar itu. Hanum berteriak meminta tolong, namun lagi-lagi naasnya tidak ada satu orangpun yang melewati jalanan sunyi itu. Akhirnya buliran bening itu keluar juga membasahi pipinya. Ia merasa menjadi wanita lemah malam ini, tidak kuasa melawan takdirnya.
"Ya Allah, lindungi hamba dari orang-orang ini." Hanum terus meronta untuk di lepaskan. Beristighfar sebanyak-banyaknya dan menguatkan dirinya. Ia harus lepas dari dua lelaki berbadan besar itu.
"Berteriaklah yang kencang. Tidak akan ada yang mendengarkan kamu sayang. Ayolah jangan munafik, kita tahu pakaian kamu itu hanya untuk menutupi sifat aslimu."
Hanum begitu marah ketika pakaiannya di hina seperti itu. Dengan memberanikan diri, Hanum menendang area sensitif salah satu preman, membuat sang preman melepaskan cekalannya dan terjatuh ke tanah karena begitu sakit yang ia rasakan. Melihat hal itu, Hanum memiliki kesempatan untuk kabur. Ia berlari sekuat tenaga, sedangkan yang satu lagi berusaha mengejar.
Hanum tidak memperdulikan kemana ia melangkah saat ini. Pokoknya ia harus lepas dari sarang buaya. Ia menangis sejadi-jadinya di bawah gelapnya malam. Hingga ia tak sadar sampai kemana ia berlari. Yang pasti saat ini preman itu tidak lagi mengejarnya. Hanum berhenti dan mengambil nafas sebelum melanjutkan langkahnya. Tak terasa hujan tiba-tiba mengguyur seluruh kota. Hanum memejamkan matanya dan kembali melangkah mencari tempat untuk berteduh sementara.
"Paling tidak kamu di sini aman Hanum. Kamu tidak boleh lemah dan menyerah. Kamu harus kuat demi ayah di kampung." lagi-lagi Hanum bermonolog dengan dirinya sendiri.
Rasa lelah dan lapar tak ia hiraukan. Hingga ia terlelap di gubuk kecil itu. Tanpa sadar, baru sepuluh menit ia menutup mata, Hanum terkejut mendengar suara petir dan kilat begitu besar.
"Astaghfirullah, Ya Allah... harus kemana hamba malam ini. Hamba tidak memiliki keluarga yang bisa hamba datangi." Ia kembali menangis menatap hujan yang turun semakin lebat. Tiba-tiba sorot lampu kendaraan roda dua menyilaukan matanya. Hanum mengambil langkah waspada, bersiap lari jika orang itu akan berbuat jahat kepadanya.
"Hanum,"
Hanum kaget menatap lelaki yang turun dari kendaraan roda dua itu. Ia mendadak lega seketika karena ia mengenal wajah yang ada di hadapannya.
"Mas Pratama, kenapa mas ada di sini?" Pratama menatap Hanum dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia heran kenapa Hanum ada di luar tengah malam begini, apalagi dalam ke adaan hujan lebat. Di tambah lagi Hanum membawa koper besar dan tas serta beberapa kantung kresek yang entah apa isinya.
......................
...To Be Continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments