03. Pengalihan patah hati

"Pulang sendiri, Mbak Eren? Calon suaminya mana? Dipanggil sama satuannya, ya? Ah, kalau jadi istri tentara memang begitu, Mbak. Uangnya ada, waktu yang nggak ada. Gimana pengajuan tadi, Mbak? Lancar-lancar aja, kan? Saya sudah siap ikut acara pedang pora, nanti. Sudah jahit baju juga, khusus buat datang ke undangan Mbak Eren dan Mas Ian."

Serena tersenyum tipis menanggapi celotehan tetangga sebelah yang mengintip dari balik pagar beton tatkala ia hendak memasuki rumah.

"Saya masuk dulu ya, Bu Mega." Tidak perlu repot melihat reaksi paruh baya itu, Serena menutup pintu rumahnya. Di dalam, ia menemukan keberadaan Nana-adiknya, yang asyik menonton siaran berita.

"Gimana tadi, Mbak? Aman semuanya? Atau malah dirujak sama pejabat kesatuan Mas Ian?" Wajah tengil Nana berhasil menyulut kekesalan Serena yang memang tengah sensitif.

Tidak perlu menyahut, Serena lantas berjalan menuju dapur, untuk sekedar bertemu mama yang lagi menggoreng ikan dengan helm di kepala.

Barangkali, Kasih Sulastri—Mama Serena—tidak sama seperti ibu-ibu lain yang tahan panas; tahan banting; tahan meteor sekaligus. Yang satu ini, terciprat minyak panas sedikit, hebohnya bukan main. Makanya, setiap berurusan dengan goreng-menggoreng yang berpotensi membuat minyak panas meletup-letup, ia sedia memakai helm dan jaket kulit. Sungguh, Mama yang mana lagi yang Serena bisa pahami?

"Anak Mama sudah pulang!" Sulastri menyapa antusias. "Sini-sini, duduk dulu. Kita cerita." Ikan tongkol dalam panci pun ditiriskan.

Sulastri lantas melepas helm dan jaket, menyisakan daster warna hijau daun yang di bagian ketiaknya ada bolong sedikit.

"Apa saja tadi pertanyaannya? Profesi kamu apa dipermasalahkan? Mama seringnya ketemu abdi negara yang calon istrinya itu anak kesehatan. Nah, yang calonnya seorang baker itu jarang. Jadi, kamu bisa diterima di sana?"

Mengabaikan pertanyaan beruntun itu, Serena memilih mengambil garpu untuk memisahkan daging ikan dari tulangnya. Ia tahu tanpa bertanya bahwasanya mama hendak membuat sambal ikan tongkol suwir.

"Ma, kalau seandainya papa berselingkuh dan mama tahu sebelum kalian menikah dulu, apa yang mama lakukan?" Ekspresi wajah Sulastri lantas memerah. Walaupun yang dikatakan sang anak adalah pengandaian, ia tidak bisa menganggap sekadar andai-andai.

"Oh, sudah pasti mama batalin pernikahan itu! Mama ini keren, cantik, berwawasan. Kalau papa sampai melirik yang lain di saat-saat mendekati pernikahan, berarti otaknya bermasalah. Masa enggak cukup sama mama sampai-sampai mendua? Sudah untung dapat istri yang seperti mama. Di luar sana mana ada yang mau menerima papa dengan segala tingkah anehnya itu kalau bukan Mama. Huh, mana Papa?"

Sulastri mau bicara empat mata kalau suaminya memang selingkuh sebelum menikah dulu. Belum ada selangkah Sulastri beranjak, ia mendengar suara lirih dari sang anak, yang otomatis membuatnya kembali duduk.

"Itu juga yang akan aku lakuin saat Mas Ian selingkuh; membatalkan pernikahan, Ma."

Oh, ini sungguh mengejutkan untuk dicerna Sulastri. Tidak pernah menduga anaknya berakhir diselingkuhi membuatnya sedikit syok. Namun, sebagai seorang mama yang pengertian, Sulastri tidak akan bertanya perihal perasaan anaknya kini; tidak juga bertanya bagaimana kejadiannya sampai calon suami Serena bermain belakang; tidak mau bertanya pula mengapa Serena terlihat baik-baik saja.

Sulastri... mencoba memahami.

"Kalau seperti itu, ya sudah, batalkan saja. Mama selalu ada di pihak kamu untuk segala hal. Anak Mama selalu yang terbaik, laki-laki di luar sana juga banyak yang jauh lebih baik dari Letnan satu itu." Maka duduklah Sulastri di samping si anak sulung, sekadar mengusap rambut dan mengecup pelipisnya. Biar pun Serena sudah dewasa, Sulastri selalu merasa dia masih membutuhkan belaian layaknya balita.

Dalam pelukan mama, Serena membuka layar ponsel untuk menghubungi Sabir. Belum sempat mengetuk kontak yang tertera, sebuah pesan masuk mengambil alih fokus ia dan Mamanya.

Yolanda Retno (Ibu PKK)

Eren, apa sedang sibuk?

Kira-kira kalau ibu memesan lima ratus Bluder untuk besok lusa, bisa atau enggak, ya?

Serena mengulas senyum begitu menyadari kalau lembur telah menanti. Ia senang, sungguh! Barangkali dengan cara ini, ia tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan akibat dikhianati.

***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!