Tepukan itu cukup mampu membuat Zain sadar dari lamunannya. Sayang, pria itu masih tidak terlihat bersemangat. Dia lirik mamanya dengan malas.
"Iya, Ma. Ada apa?"
"Jangan permalukan mama, Zain. Jawab pertanyaan pak penghulu. Jangan melamun."
"Hm."
Zain pun langsung mengalihkan pandangannya kearah si penghulu dengan malas. Hal itu langsung membuat pak penghulu mengulang pertanyaannya kembali.
"Mas Zain. Ayo kita mulai ijab kabulnya sekarang!"
"A-- "
"Den Zain, nyonya Ratna. Non Leah-- "
Bi Inah datang dengan wajah panik. Seketika, tangan Zain yang baru ingin menjawab tangan pak penghulu langsung Zain tarik dengan cepat. Gugup dan takut, Zain langsung bangun dari duduknya. Dia sangat penasaran dengan berita apa yang si bibi bawakan untuknya sekarang.
"Bi Inah, ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa dengan Leah, Bi? Kenapa?"
"Non Leah. Den, Non Leah menghilang. Dia tidak ada di kamar. Di rumah atau di manapun. Bibi tidak bisa menemukannya. Dia-- "
"Apa!" Mata Zain membulat sempurna.
"Tidak mungkin. Leah tidak mungkin pergi dari rumah."
Tanpa pikir panjang Zain langsung meninggalkan majlis pernikahannya itu. Tidak ia hiraukan teriakan juga panggilan dari siapapun yang berusaha menghalangi kepergiannya sekarang. Karena bagi Zain, yang paling penting untuknya sekarang adalah Leah. Hanya Leah saja.
"Zain!"
"Zainal!"
"Tunggu, Zain!"
"Jangan pergi, Zain. Jika kamu pergi, kamu bukan lagi anak mama, Zain. Jangan pergi. Selesaikan pernikahan ini dulu baru pergi, Zain! Leah tidak akan pergi jauh. Zain!"
Tidak. Zain tidak lagi mendengarkan panggilan dari sang mama. Langkahnya yang besar, terus ia gerakkan hingga ia tiba ke mobil. Lalu, menjalankan mobil tersebut setelah bi Inah masuk ke dalam untuk ikut bersama dengannya.
Mobil Zain pacu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Untung saja dirinya tidak kenapa-napa karena jalan yang ia lewati malam ini tergolong sedikit sepi. Si bibi yang takut, tentu saja tidak bisa mengatakan apapun untuk protes. Karena yang lebih ia takutkan bukanlah jalanan yang sedang ia lewati, melainkan, kemarahan Zain yang sebelumnya tidak pernah menunjukkan arahnya sedikitpun selama ia bekerja dengan pria tersebut. Karena kemarahan orang yang tidak pernah marah lebih menakutkan dari kemarahan orang yang suka marah.
"Leah! Ke mana kamu, Leah?"
"Bi, benarkah Leah pergi dari rumah?"
"Iy-- iya, Den. Non Leah pergi. Soalnya, bibi sudah cari ke setiap sudut rumah tidak ada."
"Halaman rumah bagaimana? Apa jangan-jangan, Leah di taman atau pergi ke mana gitu."
"Den, bibi sudah mencarinya ke semua tempat di rumah. Tapi, bibi tidak menemukan."
Obrolan mereka tertahan saat mobil sudah memasuki halaman rumah. Gegas Zain turun dari mobil untuk segera melihat situasi yang sedang terjadi. Tujuan utamanya adalah kamar tidur mereka. Tempat di mana Leah yang dia kurung beberapa hari yang lalu.
Kosong. Kamar itu kosong tak ada penghuninya saat Zain membuka daun pintu dari kamar tersebut. Saat pandangan Zain tidak lagi melihat Leah, hatinya pun terasa kosong seperti kamar itu yang tidak ada penghuninya.
"Tidak. Kamarnya kan aku kunci. Bagaimana Leah bisa keluar dari kamar ini?"
"Bibi!"
"Ya, Den."
"Kenapa Leah bisa pergi, Bi? Bukannya kamar ini bibi kunci, kan?"
"Tunggu! Jangan bilang kalau bibi yang sengaja membuka pintu kamar agar Leah pergi dari rumah ini."
"Den. Tidak, Den."
"Bibi tidak membukakan pintu untuk non Leah supaya dia bisa pergi."
"Lalu? bagaimana Leah bisa pergi, Bi? Bagaimana?"
Si bibi langsung menundukkan wajahnya.
"Itu ... sebenarnya, non Leah juga punya satu kunci kamar ini, Den. Dia berdiam diri di kamar ini beberapa hari yang lalu bukan karena non Leah tidak bisa keluar. Melainkan, karena non Leah sengaja tidak ingin keluar, Den."
"Ap-- apa?"
Saat itulah Zain baru ingat akan hal tersebut. Memang benar apa yang si bibi katakan. Leah memang punya satu kunci pintu kamar ini. Karena memang, kamar ini adalah kamar miliknya. Kamar pernikahan mereka yang sudah ia tempati selama tiga tahun lamanya.
"A-- aku melupakan hal itu," ucap Zain dengan nada putus asa.
Kemudian, Zain teringat akan sesuatu. Dia pun langsung mengangkat kepalanya dengan tegas untuk melihat wajah si bibi yang ada dihadapannya.
"Katakan padaku, Bi! Apa yang terjadi selama aku tidak ada di rumah. Katakan, apa dia tahu kalau aku akan menikah dengan Mila malam ini?"
"It-- itu ... bibi ... gak tahu, Den. Tapi ... ah, iya. Tadi pagi, nyonya Ratna masuk kamar non Leah. Dia-- "
Ucapan itu membuat Zain langsung memegang kedua bahu wanita paruh baya yang ada dihadapannya saat ini.
"Apa! Kenapa bibi izinkan mama masuk kamar Leah? Bukankah aku sudah bilang sebelumnya, jangan biarkan siapapun masuk kamar Leah kecuali aku dan bibi."
"Maafkan bibi, Den. Bibi tidak bisa menghalangi apa yang nyonya inginkan," kata si bibi dengan wajah yang di tunduk karena merasa sangat bersalah.
Tidak punya apa-apa lagi untuk dia katakan, Zain langsung beranjak meninggalkan si bibi. Dia akan mencari Leah sekarang. Ke manapun tempat yang pernah Leah datangi akan ia cari.
Jika perlu, dia akan mencari ke setiap sudut kota untuk menemukan istrinya. Zain bertekad tidak akan berhenti mencari sebelum Leah ia ketemukan.
....
Plak! Sebuah tamparan mendarat di wajah bi Inah. Siapa lagi yang menghadiahkan tamparan itu kalau bukan mama Zain yang baru saja kembali ke rumah tersebut.
"Nyo-- nyonya." Si bibi berucap sambil memegang pipinya yang terasa sangat panas dan perih.
"Maafkan saya, nyonya."
"Maaf? Kamu bilang maaf? Apa kata maaf bisa memperbaiki kesalahan yang sudah kamu perbuat, Inah?"
"Zain hampir saja menikah dengan Mila. Kenapa kamu malah merusak kerja kerasku yang sudah susah payah aku lakukan selama ini, ha?"
"Maaf, nyonya. Saya panik. Saya tidak tahu harus berbuat apa saat tahu non Leah telah pergi dari rumah. Karena saya ditugaskan untuk menjaga non Leah oleh den Zain."
"Ah! Apa kamu tidak bisa menunggu, hah! Tunggu setelah ijab kabulnya selesai baru kamu katakan kalau si Leah itu pergi. Lagian, jika dia pergi dari rumah ini seharusnya itu adalah hal paling baik dalam. hidupku. Tapi kenapa! Kenapa malah kamu langsung merusak usaha kerasku yang sudah susah payah aku kerjakan, inah!"
Lantang suara mama Zain memenuhi ruangan tersebut. Namun, suara lantang itu terasa masih tidak membuat hati si mama puas. Wanita itupun langsung berniat untuk mencekik leher asisten rumah tangganya. Beruntung, Zain datang tepat waktu.
"Mama!"
"Zain."
"Apa yang mama lakukan, ha?"
"Zain. Kamu sudah pulang, Nak? Dari mana saja kamu, Zain. Mama cemas sekali Zain."
Sayangnya, Zain malah langsung mengabaikan apa yang sang mama katakan. Sebaliknya, rasa peduli ia perlihatkan untuk bi Inah yang saat ini sedang terduduk di lantai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Maurid Tambunan
untunglah tak jd menikahi mila
2024-08-17
0
Yolandamalika 🌸🌺
mama nya Zain sakit jiwa deh kayaknya. segala cara di halalin. nih nenek lampir yg asli Thor 🤭
2024-07-16
1
Ruwi Yah
mungkin mama zain perlu dibawa ke RSJ kali aja sarafnya udah ngeblenk
2024-06-25
2