"Dor!" Annisa berteriak. Mengagetkan Raya yang baru keluar dari gerbang sekolah. "Bocah kecil, kemana saja kamu selama ini, hmm?"
Gadis tomboi itu memeluk Raya, tak lupa mencubit hidungnya yang setengah mancung.
"Nggak kemana-mana," jawab Raya.
"Syukurlah!" Lega rasanya. Annisa pun memperhatikan Raya, menyadari perubahan besar pada mantan pemulung kecil itu.
Anak itu tidak terlihat kotor. Seragamnya pun baru, begitu juga dengan atribut sekolah yang menempel dari kepala hingga ujung kakinya.
Selain itu, kulitnya tampak bersih dan terawat. Dan yang paling membuat Annisa terkesan adalah aura anak itu yang tidak terlihat murung.
"Mamamu sudah sembuh kan?" Annisa memainkan dua tangan Raya. Mengira perubahan besar itu terjadi karena ibu Raya sudah sehat sehingga dia bisa merawat Raya dengan baik.
Raya pun menggelengkan kepalanya. "Mama sudah meninggal."
"Apa? Meninggal?" Annisa cepat-cepat merubah ekspresinya. "Aduh, m-maaf ya? Mbak Annisa nggak tahu!"
Annisa pikir, Raya akan sedih mendengar pertanyaannya barusan. Tapi ekspresi Raya tidak terlihat seperti seorang anak yang baru ditinggal mati ibunya.
Bocah itu menggelengkan kepalanya lagi. Bahkan tersenyum lebar seolah tak terjadi apa-apa. Jujur saja Annisa heran melihatnya. Bukankah seharusnya anak itu menangis?
"Sudahlah!" Annisa menghela nafas berat. Lalu memainkan rambut Raya yang dikepang dua. "Mungkin dia belum mengerti apa itu artinya meninggal dunia," batinnya.
Dan tiba-tiba ...
"Raya?" Annisa memegangi bahu Raya kuat-kuat. "Bagaimana kalau kamu tinggal di rumah Mbak Annisa? Kamu mau, kan?"
Annisa tahu anak itu hanya punya ibu, untuk itulah dia berniat membawanya pulang. Soal mama atau abangnya, Annisa yakin mereka tidak akan keberatan.
Paling-paling Annisa hanya akan dijewer karena membawa pulang anak orang tanpa meminta ijin terlebih dulu.
Lalu, soal biaya untuk menghidupinya, Annisa bisa meminta pada Abiyyu. Menggunakan uang simpanan yang katanya sudah Abiyyu siapkan untuk biaya pernikahannya kelak.
Yah, seperti itulah rencana Annisa. Tapi Raya mematahkan angan-angan indah itu tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Tidak mau!"
"Eh?" Otomatis, Annisa mengguncang bahu Raya. "Kenapa nggak mau? Memangnya kamu mau tinggal sama siapa?"
"Sama mama Raya yang baru," jawab Raya.
Annisa benar-benar kesal sekarang. Dia tahu betul kalau Raya tak punya ayah. Jadi mana mungkin Raya punya mana baru. Memangnya orang yang sudah mati bisa menikah lagi?
"Jangan bohong!" Annisa pun berdiri. Mencubit pipi anak itu dan bertanya. "Mana? Mbak Annisa mau lihat!"
"Itu!" Gadis kecil itu menunjuk ke seberang jalan dan Annisa pun menoleh ke arah itu.
Sapuan angin menerpa wajah Annisa. Tapi halangan kecil itu tak cukup untuk menghalanginya melihat sosok Althafunnisa yang berjalan dari kejauhan.
"Mama!" Raya melambaikan tangannya, berlari kecil menghampiri Nisa. Mengabaikan Annisa yang mulai patah hati karena diperlakukan seperti mainan rusak dan dibuang di pinggir jalan.
"Mama!" Raya menarik tangan Nisa. Membawanya mendekati Annisa yang mematung sejak tadi. "Mama, kakak inilah yang sering memberiku roti."
Nisa senang melihat Raya sangat bersemangat. Nisa pun ingin berkenalan pada Annisa. Tapi ada satu hal yang harus dia tanyakan sebelum itu.
Nisa menekuk lututnya. Menyetarakan pandangannya pada Raya dan bertanya, "Kamu memanggil dengan sebutan apa barusan?"
Uniknya, Raya tidak menjawab. Dia hanya menunduk dengan wajah ditekuk. Lalu memberanikan diri untuk mengajukan sebuah pertanyaan pada Nisa. "Boleh nggak Raya memanggil mama?"
Nisa mengangguk. "Boleh!"
"Hore!" Raya tampak sumringah. Anak itu pun melompat karena senang.
Akhirnya, Nisa pun mendekati Annisa yang sejak tadi memperhatikannya. Wanita itu mengulurkan tangannya, mengumbar senyum yang tak terlihat karena tertutup masker.
Disisi lain, Annisa menyambut uluran tangan Nisa. Menampilkan adegan yang membuat Raya tersenyum geli.
"Nisa!" kata Nisa.
"Annisa!" kata Annisa.
Dua orang itu sama terkejutnya. Apalagi mereka menyebut nama mereka di waktu yang hampir bersamaan.
Sekarang mengerti kan, kenapa Raya memanggil Nisa dengan sebutan mama. Karena Raya tidak ingin membuat dua malaikatnya bingung ketika dia memanggil mereka.
"Althafunnisa!" ralat Nisa.
"Annisa!" ulang Annisa.
Seandainya Annisa tahu semuanya, gadis itu pasti akan menuduh Nisa sebagai pencuri. Pencuri pemulung kecil kesayangannya dan pencuri nama pemberian ibunya.
Dan seandainya Annisa tahu bahwa wanita inilah yang dia cari selama ini, pasti Annisa juga akan menuduhnya sebagai pencuri kakak lelaki kesayangannya.
Setelah mengobrol sebentar, Nisa pun mengundang Annisa ke rumahnya. Ingin menjamunya dengan baik sebagai bentuk ucapan terimakasih karena selalu memberikan roti untuk Raya.
Menariknya, Annisa menerima undangannya hanya untuk melihat wajah di balik masker itu.
.
.
.
"Tidak perlu mengantar." Annisa menghalangi Nisa. "Annisa bisa pulang sendiri!"
Hari memang sudah sore, tapi masih cukup terang. Tidak masalah meskipun Annisa pulang sendirian. Toh Annisa sudah terbiasa.
Tapi Nisa bersikeras mengantarkannya. "Tidak. Mbak Nisa akan tetap mengantar kamu pulang!"
Seolah terkena sihir, Annisa menurut. Tidak melawan seperti dia melawan Abiyyu. Gadis SMA itu berjalan mengikuti Nisa dan naik angkutan umum yang akan mengantarkan mereka ke rumahnya.
"Terimakasih, ya?" Nisa membuka obrolan. "Terimakasih sudah menyayangi Raya dan memperlakukannya dengan baik."
"Bukan apa-apa, kok!" Annisa tersenyum tipis. "Terimakasih juga karena Mbak Nisa mau menampung anak itu!"
Kali ini, dua-duanya tersenyum. Mereka pun mulai akrab dan membicarakan banyak hal. Dari sinilah Annisa tahu kalau Nisa adalah seorang janda tanpa anak.
Sementara itu, Nisa juga tahu kalau Annisa tinggal bersama kakak serta ibunya. Tapi Nisa tidak tahu kalau kakak Annisa adalah Abiyyu dan ibunya adalah Hanum-wanita yang dia antar ke rumah sakit sebelum pergi menjemput Raya.
Tak terasa mereka pun sampai juga. "Ayo masuk, Mbak?"
Annisa segera membuka pintu pagar. Lalu menarik tangan Nisa. Tapi Nisa menolak untuk masuk. "Lain kali saja, ya?"
"Kenapa?" Annisa tampak kecewa. "Ibu dan kakakku bisa marah kalau aku tidak mempersilahkan tamu masuk ke rumah."
"Kasihan Raya." Nisa melepaskan tangan Annisa dan mendorongnya masuk. "Buruan masuk, gih!"
Walaupun Nisa sudah menitipkan Raya kepada seorang tetangga yang baik hati, tapi tidak sopan rasanya jika menitipkannya terlalu lama. Makanya Nisa buru-buru pulang.
"Tunggu, Mbak!" Sempat ragu, tapi Annisa memberanikan diri untuk bertanya kepada Nisa. "Kenapa repot-repot mengantarku kalau Mbak Nisa mau langsung pulang?"
"Hanya ingin memastikan tidak ada pria jahat yang mengganggu bunga cantik sepertimu," jawab Nisa dengan senyum manis di bibirnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
🌷💚SITI.R💚🌷
annisa klu tau siapa nisa gmn ya pasti seru de
2024-11-09
0
Jumli
hahahaha 🤣
bagaimana kalau dia tau Nisa juga yang merebut hati Abiyyu😂😂😂
2024-06-26
0
Ila Lee
aku kira ketemu abiyyu
2024-06-19
0