017 — Rumah Jeffrien

Dug dug dug!

Brak brak brak!

Carlio mengerjapkan matanya perlahan, tidur nyenyaknya yang begitu amat sebentar sangat terganggu karena suara gaduh di pintu kamar. Carlio menatap Kahis yang kini tertidur lelap, ia berdecak sebal kepada si pengganggu tidur mereka. Jika tidak ia hentikan, gadisnya itu akan kehilangan tidur nyenyaknya.

Carlio beranjak dari ranjang lalu mencari kaos dengan mengingat di mana ia terakhir kali tanggalkan.

Dug.

Dug.

Lelaki itu belum sempat memakai kaos, hanya memakai celana panjang kemudian langsung menghampiri ke arah pintu.

Ceklek.

Baru saja pria itu menngeluh kasar, namun saat melihat ke arah bawah rasa kesalnya itu kini menjadi kebingungan. Bocah kecil yang menatap Carlio lamat-lamat lalu mengerjapkan matanya, kenapa bocah itu harus memasang muka polos? Kecil sekali.

Carlio menaikkan satu alisnya, pertanda untuk bertanya ada apa. Bocah kecil itu kini menengok dari sela pintu yang hampir sepenuhnya tertutup oleh badan besar Carlio.

“Pocco!” teriak Jeffrien memanggil anaknya yang tiba-tiba kabur darinya saat tidur bersama di kamar. Jeffrien dan Carlio sama-sama tampil acak-acakan tak karuan dengan wajah bantal yang melekat. Mata mereka sama-sama sayu dan merah karena kantuk yang sangat melanda. Rasanya mereka hanya tertidur satu detik.

Bluss.

Pocco tiba-tiba berlari memasuki ruangan tidur Carlio dan Kahis, pria itu ingin sekali melarang tapi tak enak sekali ini adalah rumah sahabatnya. Pocco menaiki ranjang dari sisi kanan dengan susah payah, ingin sekali menghampiri Kahis yang tertidur lelap. Carlio berdecak kecil, menahan Pocco yang hampir menggapai Kahis.

Pocco dengan bandelnya merengek keras saat digendong oleh Carlio, menendang lalu memukul Carlio keras. “Aku ingin tidur bersama, Bibiiiiii,” rengek Carlio dengan keras, hingga suara yang begitu mengusik membuat gadis itu mengerjapkan matanya perlahan.

Menatap Pocco yang kini tengah menjambak Carlio, pria itu tampak mengenaskan. Poccopun tersadar dan meminta Carlio melepaskannya. “Bibiii, usir pria ini!!” pinta Pocco.

“Berikan dia padaku,” pinta Kahis sembari mengadahkan tangannya meminta Carlio memberikan Pocco.

Carlio menatap gadisnya dengan gelengan dan wajahnya merajuk kecil namun seketika langsung kicep setelah Kahis memberikannya pelototan.

Pocco berseru riang, kini dirinya berada di pangkuan Kahis lalu merebahkan dirinya di sebelah Kahis, tempat milik Carlio tadi. Pocco menyengir lebar pada Carlio yang menatapnya sinis. Kahis membelai rambut Pocco, meminta anak kecil itu untuk segera tidur sesekali melihat Carlio yang tampak merajuk tanpa berpindah tempat.

“Pocco, ayo tidur bersama Papa!” ajak Jeffrien yang kini berdiri di ambang pintu. Carlio langsung mengiyakan ajakan sahabatnya, dirinya segera mengambil Pocco yang kini di ambang sadar.

Namun, Kahis langsung menepisnya dan meletakkan telunjuk di depan bibir pertanda untuk meminta Carlio diam. Kahispun menatap Jeffrien, melambaikan tangannya untuk meminta Papa muda itu pergi. Jeffrien dan Carlio saling menatap dan akhirnya Carlio mengedikkan bahunya acuh, menghampiri Jeffrien.

Carliopun melakukan hal yang sama seperti Kahis pada Jeffrien, melambaikan tangannya pertanda mengusir. “Sanalah Papa muda,” ujar Carlio.

Brak.

Carlio menutup pintu lumayan keras, wajahnya penuh lekuk sembari menghampiri Kahis ditepi ranjang. “Tidak boleh seperti itu,” ujar Kahis mengingatkan, Carlio tetap saja kesal.

Carlio mengangkat tubuh kecil Pocco menggeserkannya sedikit ke samping, Kahis menatap lelakinya itu. Sekarang giliran dirinya yang diangkat oleh Carlio, lelaki itu mengangkat Kahis seperti bukan beban. Keadaan gadis itu masih sama, tubuhnya terasa remuk apalagi tungkai kakinya. Carlio mengecup sekilas bibir kecil yang sedikit robek itu, mengambil selimut dan menutupi tubuh Kahis sekaligus Pocco.

Dengan semrawut Carlio merebahkan tubuhnya di samping Kahis, mendekatkan dirinya tanpa jarak. Kahis mencium kening Carlio, mengusap wajah tegas itu perlahan. Carlio merasa hatinya sangat hangat dan berdesir, kemudian Carlio memeluk Kahis erat.

“Jangan pergi,” gumam Carlio dengan wajah yang kini disembunyikan. Kahis menepuk-nepuk punggung Carlio menenangkan, gadis itu merasa amat bersalah lalu kini lelehan air matanya terjatuh.

Carlio refleks mendongak, merasakan pergerakan aneh dari Kahis. Padahal gadis itu bersusah payah menyembunyikan tangisnya, namun hal itu tidak bisa disembunyikan pada Carlio. Lelaki itu bangun, sedikit menopang kepalanya lalu mencium mata Kahis berkali-kali.

“Aku menyakitimu, sayang?” tanya Carlio dengan serak, gadis itu menggeleng lalu memeluk Carlio pelan. Carlio sesekali melihat Pocco, takut-takut anak itu belum tidur dan melihat hal yang dilakukan mereka berdua.

Kahis terisak kecil, Carlio panik lalu segera menenangkan agar isakan itu tidak mengeras.

“Sssttt, kita bertiga sayang,” ujar Carlio menenangkan, Kahis mengangguk pelan.

Kahis melepaskan pelukannya, melihat wajah tegas Carlio lalu membelainya lembut. Matanya tampak berbinar kaca oleh air mata.

“A-aku mencintaimu, Carlio,” ungkap Kahis, Carlio menyembunyikan wajah terkejutnya walaupun sebenarnya ia tahu bahwa mereka berdua sama-sama bertaruh perasaan.

“Aku juga mencintaimu, Kahisyana. Lebih dari cinta yang kau berikan padamu. Bahkan selama ini aku meragukan rasaku pada Tuhan, teruntukmu aku berani bertaruh,” balas Carlio kepada Kahis sembari menatap iris coklat terang itu, pupilnya tampak membesar.

“Apakah aku harus membuang keraguan perasaanmu pada diriku?” tanya Kahis pada Carlio. Lelaki itu tak menjawab, mencium bibir Kahis berkali- kali.

“Tidur, Nona kecil itu tidak perlu biar aku yang berusaha menyakinkan dirimu untukku,” pinta Carlio.

***

“Bagaimana kita akan menunggu bahwa berita rumah singgah ternyaman serdadu, dihancurkan oleh komandonya sendiri,” celoteh Glenio, sembari menyantap makanan miliknya lebih dahulu.

Jeffrien dan Carlio saling memandang, seperti berbicara lewat pergerakan mata. Keduanya memilih diam, tak peduli dengan ucapan Glenio. Mereka sendiri yang akan tersulut jika menanggapi ucapan Glenio.

Mereka bertiga menjalin hubungan sejak mereka kecil, ditempatkan di sekolah yang sama kecuali Glenio yang memiliki jarak lebih tua dari mereka. Jeffrien tak bisa membantah, memang sedari dulu sifat Carlio dan Glenio begitu timpang. Biasanya dirinya akan menjadi penengah, namun hanya Carlio yang mau menghargainya sedangkan Glenio tetap bersih kukuh jika dia benar tidak menerima bantahan.

“Kalian terkena syndrom apa sebenarnya? Mengapa bisa kalian berdua terpincut dengan gadis pribumi rendahan yang tak jelas asal usulnya,” protes Glenio dengan nada remeh.

Carlio membanting sendok tidak terima. “Apa mau aku rontokkan seluruh gigimu?” gertak Carlio. Jeffrien menenangkan dirinya terlebih dahulu agar tidak mudah tersulut, ia menepuk lengan sahabatnya meminta untuk bersabar.

“Bahkan sifatmu seperti anak kecil yang harus ditepuk-tepuk lalu dibujuk terlebih dahulu,” ujar Glenio lagi berusaha tidak peduli.

“Kahisyana? Gadis kotor yang telah terjamah pria berkali-kali?” sulut Glenio.

Bughh!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!