012 — Jeffrien

Bruk.

Sangking kelamaan berpikir dan tidak fokus pada jalan di depannya, tak sengaja ia bertabrakan dengan anak kecil dengan wajah kental kebaratannya. Bocah itu terjatuh sekaligus juga dengan mainan pesawat besarnya yang ia bawa dengan susah payah.

Bocah itu mendengus tak suka melihat wajah Kahis, gadis itu langsung mengambilkan beberapa printilan dari mainan yang hancur tercecer oleh ulahnya. Kahis panik, apalagi bocah itu kini mendongak menatap Kahis dengan mata yang berkaca-kaca.

Kahis segera memegang pipi bocah itu tapi langsung segera ditangkis, bocah itu kembali mengusap-ngusap air matanya agar tidak terjatuh.

“Apakah kau mau aku membelikan mainan baru untukmu?” tanya Kahis tersenyum tapi tetap saja bocah itu cemberut dengan mendengus sembari menatap satu-satunya mainan paling berharga yang ia miliki. Sangat spesial.

“Kau’kan pribumi, memangnya kau mampu membelikanku mainan?” sungut bocah itu membuat emosi Kahis tersulut sedikit.

“Mampu, ayo.” ajak Kahis sembari menghela nafasnya, lalu menggenggam jemari bocah kecil itu tetapi sedikit tertahan.

“Ini mainan eksklusif dari Belanda, hadiah dari Papaku tapi kau menghancurkannya,” adu bocah kecil itu dengan nada yang sedikit bergetar. Kahispun menggaruk keningnya kikuk, bagaimana? Apakah Kahis harus sekarang juga terbang ke Belanda?

“Mainan seperti ini sudah sering aku temui dan modelnya juga … uhh sangat kuno. Kau tau? Ada mainan yang sangat limited, kau penasaran tidak?” bujuk Kahis tapi harapannya tidak sesuai bocah itu malah menangis keras.

“Akan kuadukan dirimu pada Papa, mainan ini tidak kuno tahu!” adunya dan kini bocah itu mengeraskan tangisnya hingga membuat orang yang berlalu lalang menatap sinis padanya.

Kahis langsung menggendong bocah itu walaupun agak terpontang-panting menahan serangan bocah itu agar ia sendiri dapat turun dari gendongan. Tangisnya semakin pecah dan Kahis begitu panik belum pernah berhadapan dengan situasi saat bocah menangis, lalu harus ia apakan lagi?

Kahis dengan menghembuskan nafas berat ia harus berbalik, menuju toko mainan yang dimiliki oleh Belanda untung saja ia teringat tempat itu. Jika ia lebih berhati-hati berjalan, ia tidak akan serepot ini untuk berbalik. Mohon sekali, tulang punggung dan kakinya butuh peregangan.

Setelah memasuki toko mainan dan mata bocah itu langsung berbinar, ia langsung menghentikan tangisnya. “Aku mau yang itu!” pinta bocah itu dengan semangat, Kahis mengalihkan pandangannya menatap mainan kereta panjang yang dipajang di bagian pameran.

Kahis menepuk jidatnya, mau tak mau ia harus menuruti. Bocah itu bersorak riang, pesawat yang awalnya ia banggakan kini tersisihkan. Bocah itu menyuruh Kahis membawakan pesawatnya dan kini bocah itu memeluk erat mainan kereta ekslusifnya.

Dompet Kahis kosong membuat gadis itu tersenyum getir, hanya tersisa kepingan.

“Akan aku perlihatkan pada Papa permainan wow sekali ini!” teriaknya kencang.

Bocah itu langsung berlari keluar, meninggalkan Kahis yang juga langsung mengejarnya. Memangnya mau diapakan lagi pesawat yang ada padanya ini?

“PAPAAA!”

Kahis sedikit membuntu, pikirannya berhenti sejenak saat berusaha mencerna hal yang ada di di sekitarnya. Terasa ada gemuruh, sorakan, teriakan keras dan langkah ribuan kaki yang berlari, gadis itu terkejut saat kumpulan massa dari berbagai arah dengan senjata tajam berlari ke titik sejumlah serdadu yang berdiri.

“PAPAAA!”

Kahis langsung berlari kencang dan bocah itu sedang memanggil sosok Papanya yang berdiri di tengah kerumunan tanpa menyadari anaknya sedang memanggil, mendekati bahaya.

Sedikit lagi Kahis bisa menyusul, namun tarikan yang baru sampai itu terlepas dan mengharuskan Kahis ikut dalam kerumunan massa. Ah, sialan tubuhnya terasa remuk terpontang-panting terhimpit oleh massa yang buta pikiran dan tersulut emosi. Dahinya harus membentur aspal berkali-kali, untungnya bocah itu aman di dalam dekapannya yang menangis keras. Ingin saja Kahis melahapnya bulat bulat jika ia tidak sadar ini adalah anak manusia.

DORRRR!!

DORRRRR!!

Kerumunan massa yang sengaja dibentuk oleh pribumi untuk menunjukkan aksi protes sekaligus mengancam para serdadu tentara Belanda itu dengan aksi yang cukup keras. Namun lama kelamaan mereka menyurut, menghindarkan diri dari serangan tembakan serdadu dan berhasil ditameng oleh para serdadu.

“Pocco!” teriakan yang dapat terdengar oleh Kahis, aduh di sela badannya yang remuk Kahis terpaksa mendongakkan kepala menatap pria berseragam militer yang juga menatapnya.

Pria itu mengambil bocah yang telah diketahui namanya adalah Pocco dari dekapan Kahis. “Nona, kau tidak apa-apa?” Kahis mendengus, gadis itu kini memasang wajah garang dan berkacak pinggang.

“Kau tidak bisa menjaga anak?!” bentak Kahis pada pria di depannya, pria itu mengalihkan tatapannya. Mereka di antara perlindungan serdadu, hingga mengharuskan mereka bertiga dijadikan atensi pertama.

Kahis dengan bersungut-sungut mengembalikkan pesawat besar itu secara kasar.

“Tidak, Nona. Terima kasih.” ucapnya singkat membuat Kahis kesal.

“Hanya begitu saja? Belanda memang tidak tau cara berterima kasih?!” tanya Kahis dengan nada tinggi, pria itu menghembuskan nafasnya berkali-kali.

“Kau butuh apa, Nona?”

“Minimal tolong keluarkan aku dari kepungan ini!” sungut Kahis dan pria itu segera mengarahkan pandangannya ke belakang, ke arah serdadu yang lain.

Kahis lalu melihat nametag pria itu, Jeffrien van der Hoeven. “Karl, Maximez, tolong antar Nona ini ke tempat yang aman!” titah Jeffrien kepada anak buahnya, Kahis masih dengan mata menyolot menatap Jeffrien.

“Baik Letnan! Ayo ikut kami, Nona.” Tak lama itu dua serdadu berpakaian militer Belanda menghampiri Kahis.

“Sekali lagi terima kasih, Nona,” ujar pria itu lagi, sembari menggendong Pocco yang kini tak lagi menangis.

Kahis pun mengangguk dan melangkahkan kakinya pelan, Kahis berbalik lalu matanya terpasang dengan tajam ke arah pria bernama Jeffrien hingga empunya keheranan. “Dasar Ayah tidak becus, belajar dulu menjadi Papa!” teriak Kahis dengan kencang, lalu langkahnya berjalan cepat.

Pria bernama Jeffrien itu seketika terhenyak sebentar, menatap Pocco yang juga menatapnya. “Papa sudah berjanji menemukanku dengan Ibu,” Pocco bersuara.

Jeffrien menyembunyikan senyum getirnya, selanjutnya bagaimana? Jeffrien menatap punggung Nona yang baru pertama kali ia lihat yang semakin menjauh. Nona pribumi itu benar-benar menyadarkannya bahwa Pocco membutuhkan sosok seorang Ibu.

“Jangan bilang Papa lupa,”

Terpopuler

Comments

husnia wahidah

husnia wahidah

kapan up nya thor? seru banget baru kali ini nemu cerita kaya gini

2024-05-06

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!