016 — Gadisku

Tamparan keras lagi-lagi Kahis dapat, tulang pipinya terasa retak. Sudut bibir Kahis terkoyak sedikit, kulit pipinya memerah terasa kebas. Linggar, gadis yang terkapar di sana menangis sesenggukan sesekali menatap Kahis perihatin. Malu rasanya mengorbankan orang lain hanya untuk menyelamatkan dirinya, sangat malu.

“Gadis yang ini kita berikan khusus untuk pada bos,” ujarnya sembari menunjuk Kahis lalu diangguki oleh temannya.

Dengan cekalan paksa, mereka diseret masuk. kahis dan Linggar berteriak, meminta dilepaskan namun tendangan yang tidak segan diberikan langsung dari belakang pada Kahis membuatnya tersungkur di lantai.

Kahis menenangkan dirinya, menelisik lorong gedung yang hanya diterangi oleh lampu teplok dan dinding yang dibangun hanya papan kayu. Huh, dasar menjijikan! Tidak bermodal. Lorong itu tampak sepi, di setiap sisi dinding ada pintu ruangan yang berjarak. Mungkin mereka menunggu di setiap kamar ya? Juga, bau alhokol yang menguar sampai ke luar. Mereka juga dalam keadaan mabuk ya?

“Mereka menunggu di mana?” tanya salah satu militer saat sadar lorong tampak sepi.

“Mereka sedang berpesta alkohol di ruangan ujung di atas, bersama bos,” timpal pria di sebelahnya. Kahis diam, memikirkan bagaimana cara dirinya agar dapat keluar dari sini.

DORRRRRRR!!!

DORRRRRRR!!!

Tembakan bertubi-tubi yang Kahis dan Linggar dengar, seketika cekalan pada lengannya sedikit merenggang.

“Ada apa di luar?!” teriak pria yang sedang mencekal Kahis, pria di sebelahnya tampak panik.

“Kau jaga mereka, aku akan memeriksanya!” ujar pria itu sembari berteriak melangkah dengan cepat untuk keluar.

“Sialan, kau!” balas temannya dengan frustasi berteriak. Kahis dan Linggar akhirnya saling pandang, menaikkan alisnya secara bersamaan.

Sret.

Brak!!

Pyarrrr!

Dua lemparan lampu teplok sukses mendarat telak pada kepala pria itu, Kahis dan Linggar segera mengambil lampu minyak yang lain saat pria itu sibuk terkapar memegangi matanya yang perih dan panas karena terkena minyak lalu sambaran percikan api.

Pyarrr!

Kahis melemparkan lampu minyak itu lagi dengan kepingan kaca yang ikut menghujam kepala pria itu berkali-kali hingga pria itu meraung-raung.

“Kau pergilah Linggar!” titah Kahis mendorong Linggar yang kini mereka terpisah akibat percikan api yang lama lama merembet melahap karena tumpahan minyak.

Blam.

Kobaran api itu semakin meluap, Kahis langsung berlari ke arah yang lain. Linggar yang tak sempat menyusul karena api itu kini menjadi jarak antar keduanya.

“Mbak!”

“Sialan, ke mana gadisku?!” Sentakan itu dirasakan oleh Linggar, menatap pria dengan sorot mata menyala-nyala wajahnya juga kini terdapat percikan noda merah.

“Jawab aku!” sentak Carlio lagi menunggu jawaban gadis yang tak dikenalnya tak sabaran, akhirnya Linggar menunjuk arah yang kini terhalang oleh lahapan api.

Carlio mendesah kecewa, pria nekat itu akhirnya memutuskan menerobos luapan kobaran api yang kini semakin membesar. Tak peduli seberapa pedih badannya kini, ia hanya ingin bertemu dengan gadisnya. Carlio memohon untuk kali ini.

Di sisi lain, Kahis berlari sembari berharap banyak dengan rentetan kunci yang ada di genggamannya. Ia menyempatkan mengambil kunci dari pria yang tadinya mencekal dirinya. Melewati lorong atas, mencari ruangan paling ujung yang dimaksud.

Apakah bangsa penjajah hanya memiliki militer sebodoh ini? Dinding yang terbuat dari papan mudah terbakar? Semiskin ini, Kahis memiliki niat.

Hingga tibalah ia pada ruangan pintu ujung sekaligus menjadi pembuntu lorong atas, bodoh.

Mereka pesta bermabuk? Kahis memasukkan semua kunci, mencoba semuanya berkali-kali.

Tak.

Terkunci, mereka akan mati.

Ia sangat bersyukur pada Yang Maha Esa, yang selalu berpihak padanya. Ia lemparkan lagi dua lampu teplok yang sengaja ia ambil di setiap dinding, membuat percikan api kecil yang nantinya akan merembet.

Kahis berbalik, bibirnya terasa puas. Ia berlari dengan tangan gerilya miliknya, menjatuhkan lampu teplok yang tergantung pada dinding secara sengaja sebanyak-banyaknya.

Hingga saat gadis itu berbalik ke belakang, kini api yang sengaja dibuatnya berkobar menyala. Mereka terbakar ya?

Bruk.

Ah, sialan! Kahis kehilangan tenaga tidak kuat lagi menahannya, ia tak bisa lagi memaksa tungkainya bergerak. Kahis mendongak menatap ke belakang, semakin lama api itu melahap seluruh ruangan. Kahis meringis tungkai kakinya terasa sakit. Gadis itu berbaring terlentang, menutup wajahnya yang terasa tersengat oleh panasnya api.

Ia akan mati karena ulahnya sendiri, sialan.

Kahis membulatkan matanya setelah melihat siluet bayangan yang sedang menghampirinya, habislah hidupnya.

“Kahisyana!”

Grep.

Dekapan hangat yang terasa membawanya pada mimpi, hidupnya telah berakhir?

Cup. Kecupan kilat pada bibirnya.

Kahis membuka matanya, menatap wajah dengan sorot tajam meneduhkan baginya. Ia tak percaya, pria itu kini mendekapnya erat dengan isakan kecil yang dapat ia dengar.

“Aku merindukanmu,” gumamnya jelas disertai isakan kecil. Lelaki itu membopong Kahis, gadis itu lagi-lagi merasa terlempar pada mimpi.

Kahisyana tak mengindahkan tatapannya pada wajah tegas milik Carlio, sekejap saat kobaran itu menyala wajah itu terlihat jelas menatapnya dengan sedih.

Ruangan itu penuh dengan api, Carlio berlari membopong Kahis mencari jalan keluar. Gedung itu sebentar lagi akan roboh, karena api yang dibuat oleh Kahis di bawah tadi.

Kahis mendekapkan diri pada Carlio erat, menelusupkan wajah pada ceruk leher Carlio karena merasa malu dengan ulahnya. Pria itupun juga merasa bersalah karena telat menyusul gadisnya.

“Aku melihat jendela terbuka di sana, sayang,” gumam Kahis kecil karena perih di sudut bibirnya yang sobek. Carlio menatap wajah gadisnya lalu turun pada bibir kecil yang terkoyak sudutnya.

Cup.

“Maaff,” bisik Carlio lembut.

Carlio dengan cepat menuju jendela yang terbuka, syukurlah. Ia menyorotkan penglihatannya ke bawah. Tinggi.

Ia menatap gadisnya lagi, mata tajamnya itu masih memerah. “Peluk aku yang erat ya,” pinta Carlio lembut. Gadis itu mengangguk, memeluk erat Carlio dan menelusupkan wajahnya pada dada Carlio.

Carlio mengecup sekilas kening Kahis, tangan kanannya melindungi kepala bagian belakang Kahis hingga di waktu berikutnya Carlio nekat melompat dari atas.

Bruk.

“Sayang?” panggil Kahis pada pria di bawahnya yang tak berkutik. Kahis mendongak menatap gedung dari atas lalu ke bawah.

“Tidak lucu, bangun!” pinta Kahis merengek pada Carlio tanpa reaksi. Gadis itu dengan nekat mencium bibir Carlio dan mulai melumatnya.

“Aku kembali hidup!” gumam Carlio.

“Tidak lucu!” sentak Kahis kemudian menarik Carlio agar cepat pergi menghindar sebelum reruntuhan gedung menimpa mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!