Bab 16. (Bukan) Sakit Jiwa

.

Pov. Ashenda Reamurthi

 

.

.

Sepasang mataku menangkap satu sosok melangkah tegas nan angkuh menuju ke arahku karena aku tengah berdiri di muka pintu kelas.

Di antara yang lainnya, penampilan dan kharismanya sangat terlihat kontras terpancar sebagai siswa terbaik di seluruh Edelweis. Hal itupun membuat ia tak luput dari kejaran para cewek di setiap kemunculannya.

Aku melenguh membuang pandangan saat melihat beberapa cewek bahkan berani mengecup pipinya. Dan ia seperti tak keberatan dengan hal itu. Dasar murahan. Batinku memaki. Ku putar langkahku menuju ke dalam ruangan, menolak untuk menyaksikan pemandangan tak sedap itu lebih lama lagi.

Selanjutnya sosok itu duduk dengan cuek dalam posisinya yang selalu sama sejak pertama kami masuk ke sekolah ini. Meski hubungan kami sedang tidak baik, namun ia selalu mengambil tempat di bangku sebelahku yang memiliki jarak sekitar dua langkah saja, sehingga aku dan dia selalu bisa saling melihat gerak gerik satu sama lain dengan jelas.

Oh Tuhan, tangannya kenapa?

Detak jantungku berdetak cepat saat melihat buku tangannya yang dilingkari perban kain kasa. Aku baru menyadari itu saat melihat ia seperti kesulitan untuk menuliskan sesuatu di bukunya.

Diam-diam aku jadi penasaran, apakah sebenarnya yang telah terjadi padanya? Lalu ku tarik diriku ke sudut ruangan, ku telfon mbak Lasih.

" Mbak Ashen ...!" Agak terkejut mbak Lasih mendengar suaraku. Bagaimana tidak, telah bertahun-tahun aku menghilang dari hadapan mereka. Lalu kini kembali muncul secara tak terduga. Rupanya mbak Lasih masih mengenali suaraku dengan baik.

Perlahan mbak Lasih menceritakan semua hal yang ingin ku ketahui tentang majikannya. Aku pun tak mengerti kenapa tiba-tiba aku ingin mengetahuinya.

Sambil sesenggukan mbak Lasih menuturkan semuanya. Aku tertegun tanpa menunjukkan reaksi apapun. Aku hanya merasakan pipiku basah, dan dadaku sesak menahan agar tak terisak.

Ku tutup sambungan telfon secara sepihak karena aku tak sanggup lagi mendengar penuturan pilu mbak Lasih.

Aku bersedekap di atas meja guna sembunyikan wajah dukaku. Airmataku membuncah tak lagi dapat kubendung.

Prakk!!!

Seseorang mengeprak meja ku cukup keras hingga membuatku kaget bukan main. Aku refleks mendongak dengan pandangan nanar. Sosok tinggi menjulang itu sudah berdiri di hadapanku dengan muka sinis. Sejenak aku merasa tak percaya bahwa ia yang telah melakukan itu.

" Mending lo ngundurin diri dari olimpiade. Dan ngaku kalah secara sukarela." Sosok itu berkata dengan dingin dan datar sehingga menambah kesan angkuh di wajahnya.

" Maksud lo apa?!" Ku sahuti ia dengan parau sambil kuseka airmataku dengan cepat.

Cowok itu bergerak menukik ke arah wajahku hingga hidung runcing nya berada tepat di hadapanku dengan jarak sekitar lima senti saja. Aku bergidik ngeri demi melihat tatapan matanya yang begitu tajam penuh amarah.

" Karna lo gak akan lebih unggul dari gue!" Tegasnya dengan nada kasar. Ia sedang berusaha untuk menjatuhkan mentalku agar aku merasa down dan bisa mempengaruhi usahaku untuk mengunggulinya.

Sebetulnya aku pun tak lagi mengerti apa yang menjadi tujuanku. Diam-diam rasa bersalah mulai menghantuiku. Aku tak pernah menyangka tindakanku beberapa tahun silam akan mempengaruhi kejiwaannya sedalam itu.

Kini aku tak lagi bermimpi untuk mengalahkannya. Sebaliknya justru pasrah jika harus menjadi hamba sahayanya sesuai konsekuensi jika ia yang berhasil unggul dariku. Dan rasanya menghambakan diri untuknya adalah hal yang cukup pantas demi menebus dosa-dosa yang telah aku buat.

Aku yang tengah sibuk bergumul dengan batinku sendiri tak begitu menyadari kalau sosok itu sudah tak lagi berada di hadapanku.

***

.

Pov. Mikhail Alferov

.

Aku masih mematung di space bangku cadangan, meskipun jam ekskul sudah usai setengah jam lalu. Kejadian tadi pagi di kelas tiba-tiba mengusik pikiranku.

Aku tak habis pikir bagaimana aku bisa berkata demikian kasar pada Ashen dalam kondisinya yang sedang menangis. Tentu saat itu ia sedang mengalami suatu masalah yang besar hingga tak dapat ia bendung kesedihannya. Tapi bukannya iba, aku malah mengintimidasinya untuk menyerah dari olimpiade.

Mendadak dadaku terasa sesak. Aku tak percaya aku telah bersikap demikian pada orang yang dulu sangat berarti bagiku. Bahkan hingga saat ini perasaan itu belum berkurang sedikitpun. Justru semakin bertambah animoku atas dirinya betapapun ia selalu berusaha menolakku.

Oleh sebab itu aku sangat berambisi untuk mengunggulinya, dengan begitu walau mungkin terpaksa ia akan kembali jatuh ke dalam pelukanku.

" Lo masih disini, Mikh?." Aku menoleh cepat mendengar suara itu. Benarkah sosok itu adalah Ashen? Aku belum mempercayai pandanganku.

Masih belum bereaksi, ku lihat cewek itu mendekat dan dengan santainya melingkarkan kedua tangannya di leherku hingga posisi dadanya berada tepat di depan wajahku.

" Ashen?" Aku mendesis sambil terus memperbaiki penglihatanku. Tiba-tiba cewek itu mendengus kesal, namun tanpa melepaskan tangannya dari tengkukku.

" Jadi lo masih ngarepin dia?!" Suara cewek itu meninggi, saat itulah aku baru kembali ke alam sadarku.

Cewek itu bukanlah Ashen. Refleks aku mendorong bahunya dengan amarah hingga membuat cewek itu jatuh terpental ke atas rerumputan. Ku tinggalkan ia yang masih meringis kesakitan karena tubuhnya terhempas cukup keras.

Byurr!

Shower menyala dan seketika menyemburkan air dingin di kepalaku berikut seluruh tubuhku. Berharap dapat menjernihkan pikiranku yang kurasakan mulai aneh dan di luar kendali. Sudah lama aku mangkir dari menjumpai dokterku di Moscow sehingga kekacauan ini terus saja terjadi tanpa ada penanggulangan.

Ampul obat terakhir yang biasa membantu menenangkan pikiranku pun entah menghilang kemana. Mungkin aku tak sengaja meninggalkannya di suatu tempat.

Sebuah pukulan berkekuatan penuh tiba-tiba saja menghantam rahang kananku begitu aku keluar dari kamar mandi sekolah. Hal itupun tak pelak membuat tubuhku terbanting kembali ke pintu.

Ku raba darah segar yang mengalir di sudut bibirku sambil menyadari siapa yang telah berani melakukan ini padaku. Jody, teman sekelas ku.

" Lo punya masalah apa sama gue hah?!" Aku berkoar dengan suara keras. Jody menatapku tak gentar bahkan siap melayangkan pukulan berikutnya ke wajahku, namun aku berhasil menangkisnya karena aku masih menahan diri untuk membalas.

" Lo udah bikin tangan Raisa patah tau gak! Lo tuh yang cari masalah! Dia sekarang dibawa ke rumah sakit!" Jody balik berkoar kasar.

" Apa? Tangan Raisa patah?" Aku tak percaya ucapan Jody, ku rasa aku tak begitu keras mendorongnya tadi. Tidak mungkin sampai berakibat demikian fatal.

Bukk! Jody berhasil mencuri kesempatan untuk melayangkan pukulan kedua ke wajahku di saat aku lengah.

" Gue gak peduli lo adalah siswa terbaik di sekolah! Gue juga gak peduli lo anak sultan! Lo itu sakit jiwa! " Jody memakiku sekehendak hatinya yang tak pelak membangkitkan iblis yang bersemayam di dalam tubuhku.

Aku menghajarnya membabi buta demi lampiaskan angkara murka. Aku tak terima dikatakan sakit jiwa olehnya, meskipun aku sering tak sadar atas apa yang telah ku lakukan, tapi aku masih mengenali diriku sebagai pribadi yang waras.

Akibatnya, aku dipertemukan lagi dengan dokter Ilham yang ternyata adalah ahli jiwa terbaik di kota ini.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!