Bab 7. Kecemburuan Mikhail

Pov. Ashenda Reamurthi

---

.

.

.

Aku bergegas menuruni tangga dengan terburu saat jam tanganku menunjukkan pukul tujuh pagi. Samar ku dengar suara Papa sedang berbincang dengan seseorang di ruang tamu. Kucium pipi mama yang menantiku di bawah yang lalu mengikutiku ke ruang tamu di mana papa berada.

Ternyata papa sedang mengobrol dengan Haikal, sepupuku dari pihak papa. Dia adalah anak sulung dari kakak perempuan papa yang rumahnya berjarak sekitar satu jam perjalanan dari rumahku.

Namun walaupun tidak begitu jauh, kami sangat jarang saling mengunjungi, hanya di hari-hari besar seperti momen hari raya atau di acara-acara keluarga kami punya kesempatan berjumpa. Dan sebelum hari ini, mungkin ada setahun kami tidak bertatap muka.

" Hai, Shen" Haikal melambaikan tangannya menyapaku.

" Tumben pagi-pagi udah mampir" Aku berkomentar, ku lihat Haikal mengenakan seragam demikian halnya denganku, dan ini kali pertama ia mampir.

" Mulai hari ini, Haikal yang akan antar jemput kamu ke sekolah" Suara bariton papa menggema sebelum Haikal sempat menjawabku.

Aku terhenyak. Entah apa yang membuat papa tiba-tiba membuat keputusan ini. Jika itu benar, itu artinya aku takkan bisa lagi pulang sekolah bersama Mikhail, juga takkan lagi bisa ikut ke rumah Mikhail saat akan mengerjakan tugas atau sekedar numpang tidur sore.

Namun keputusan papa adalah titah yang tak bisa dibantah. Terlebih mendapat dukungan penuh dari mama, keotoriteran papa makin mutlak tak bisa di ganggu gugat.

Sungguh dengan rasa terpaksa aku mengambil tempat di boncengan motor Haikal. Ingin rasanya aku menolak tapi aku tak berdaya.

" Pegangan shen" Haikal mengingatkanku untuk memeluk pinggangnya. Aku pun menurut meski dengan penuh kecanggungan. Walaupun dia adalah sepupuku, tapi kami tidak cukup akrab hingga ku rasa akan cukup sulit bagiku beradaptasi dengannya, begitu juga sebaliknya Haikal terhadapku.

Tak ada suara yang kami berdua ciptakan selama di perjalanan menuju sekolahku. Bahkan hingga gerbang sekolahku mulai tampak dari kejauhan, kami masih saja saling diam. Mungkin Haikal juga merasa bahwa aku tak begitu berkenan dengan keputusan papa ini.

" Kelas gue bubar jam 2, ntar gue langsung jemput lo ya." Ucap cowok itu setelah aku turun dari motor nya.

" Gak perlu buru-buru, kelas gue bubarnya jam 3" sahutku dengan nada datar. Ia mengangguk lalu segera berpamitan.

Begitu memasuki gerbang sekolah, tak begitu sengaja pandanganku tersapu ke lantai dua dimana kelas ku berada, dapat ku lihat dengan jelas ada sepasang mata yang menatapku curiga. Ku percepat langkahku demi untuk menjelaskan tentang cowok yang tadi mengantarku kepadanya.

" Itu tadi Haikal, sepupu gue dari pihak papa" aku memberitahu Mikhail takut ia berpraduga buruk terhadapku.

" Emang harus ya pake acara peluk pinggang segala" Nada bicara Mikhail pelan, namun cukup membuat jantungku serasa mau rontok. Wajah tampan cowok berdarah Rusia-Borneo itu terlihat dingin dan kaku. Nampak sekali kalau ia sedang cemburu.

Aku bangkit dari kursi ku, lalu berpindah posisi ke belakang kursi Mikhail yang seperti enggan betul untuk menoleh ke arahku. Ku rangkul ia dari belakang, kukecup pipinya demi redakan emosinya. Dan seperti biasa, ia akan segera luluh. Ia kecup tanganku yang melingkari lehernya pertanda emosinya telah mereda.

" Marylin gak ada disini" cetus Mikhail setelah bel pergantian jam berbunyi dan kami punya waktu sepuluh menit untuk beristirahat setiap pergantian jam. Jika ingin minum atau ingin camilan, kami tak perlu ke luar kelas karena semuanya tersedia di dalam lemari mesin otomat yang di taruh di sudut belakang ruangan.

Yang terpenting penghuni kelas harus bertanggungjawab atas sampah dari minuman atau makanan tersebut. Itulah salah satu keistimewaan kelas Edelweis dibandingkan dengan kelas Dandelion dan Orchid.

Seperti baru tersadar aku mencari-cari keberadaan Marylin. Tapi tak ku temukan. Setelah kami tanyakan kepada teman yang duduk bersebelahan dengan kursi Marylin, ia bilang tadi pagi orang tua Marylin menelfon pihak sekolah karena Marylin tidak bisa hadir dikarenakan sedang sakit.

.

📌

.

Pov. Mikhail Alferov

--

.

.

.

" Tenang shen, ada gue" bisikku, Ashen tak berani memasuki ruang sekretariat untuk mengambil ponsel dan tas nya karena Frederick sedang berada di sana.

Cowok cab*l itu mengetahui keberadaanku, ku jamin ia takkan berani macam-macam pada Ashen. Dan benar, Ashen kembali mendapatkan ponsel dan tas nya dalam hitungan detik saja.

Tapi setelah berada di luar, bukannya lega, Ashen malah nampak gelisah.

" Lo kenapa? " Tanyaku heran melihat sikap Ashen yang seperti tengah memikirkan sesuatu.

" Tas Helena jg ada di sana. " Jawabnya.

" Lo bilang kemaren mereka gituan di sekret. Masa iya dia gak berani ngambil tasnya sampe hari ini. " Akupun ikut heran dan mulai mencurigai sesuatu. Ku biarkan Ashen jauh tertinggal di belakang ku, aku harus mencapai kelas Edelweis 2 secepat mungkin untuk mencari informasi.

Dan seperti dugaanku, Helena tidak ada di kelas nya, menurut teman sekelasnya, Helena bahkan tak bisa di hubungi sejak akhir pekan kemarin. Hari yang sama ketika Ashen menyaksikan adegan tak pantas itu terjadi di sekretariat.

" Kita harus kembali ke sekretariat, tas Helena akan jadi bukti. Ada yang gak beres di sini" seketika aku jadi diliputi oleh rasa penasaran.

Ashen menarik tanganku seakan menghalangi, ada rona takut di wajahnya.

" Gue ngerasa Helena sedang butuh pertolongan" aku menyimpulkan.

" Tapi kalo Fred nyekap Helena di suatu tempat, buat apa gitu, mereka itu punya hubungan sukarela. " Ashen membantahku.

" Gue malah berpikir mereka ribut tentang sesuatu sampe bikin Fred emosi dan melakukan hal yang brutal" aku tak sependapat dengannya.

" Gak mungkin ... " Ashen mendesis setelah akhirnya menemukan pemikiran yang sama denganku.

Namun saat kami diam - diam kembali ke sekretariat setelah Fred tak ada disana, tas Helena juga telah raib.

" Tadi ada di sini. Gue yakin banget" Ashen tak mempercayai pandangannya.

" Gue semakin yakin ada yang gak beres di sini. Buruan cabut. Kita udah di curigai" ku gamit tangan Ashen untuk segera tinggalkan tempat itu.

Jam istirahat siang masih tersisa sepuluh menit lagi saat aku dan Ashen memasuki ruang konseling, bu Vanya agak heran melihat kedatangan kami karena biasanya siswa yang masuk ke ruangan itu adalah siswa yang bermasalah dan tentunya datang karena diundang paksa.

" Ada hal yang gak beres terjadi di sekolah ini bu ... " Aku lalu menceritakan semua hal janggal yang kami temukan hari ini, berikut pengalaman Ashen di ruang sekretariat kemarin.

Bu Vanya membetulkan letak kacamatanya, menatapku dengan serius.

" Gak mungkin hal sebrutal itu bisa terjadi di sekolah elite ini. Kalau itu benar, tentu reputasi sekolah yang terhormat akan dipertaruhkan di mata dunia. " Bu Vanya kedengaran meragukanku.

" Jadi ibu pikir ini omong kosong?" Aku tak puas.

Bu Vanya mengambil tempat tepat di sebelahku.

" Reputasi kalian berdua sebagai bagian dari kelas Edelweis gak mungkin dipertaruhkan hanya untuk sebuah omong kosong. Saya percaya. Tapi ini masih butuh pembuktian" bu Vanya menatapku dan Ashen bergantian.

" Ini perlu ditindaklanjuti dengan serius bu. " Aku agak mendesak bu Vanya.

" Tentu. Saya akan segera bicarakan hal ini dengan Pak Albert. Kalian sebaiknya kembali ke kelas. Jangan sampai ada yang mencurigai kalian. " Ujar bu Vanya kemudian sedikit membuatku lega.

Kami kembali ke kelas segera sebelum jam istirahat berakhir.

Tiba-tiba Ashen memelukku dari belakang. Seperti tak canggung ia lakukan itu di hadapan beberapa penghuni kelas.

" Gak tau kenapa perasaan gue semakin gak tenang" bisik Ashen, dapat ku rasakan keras detak jantungngya di punggungku.

" Bu Vanya yang akan urus selanjutnya. Tugas kita udah selesai. Lo gak perlu cemas" aku mencoba menenangkannya.

Padahal sebenarnya aku justru mencemaskan dia, sepertinya keterlibatan kami di dalam masalah itu cukup membuat ia terguncang. Aku bahkan belum melihat senyumya hari ini.

Kami melewati hari ini dengan perasaan cemas yang tak berusaha ditampakkan. Aku hanya berharap misteri ini akan segera terungkap agar kami bisa menjalani hari-hari seperti biasanya dengan penuh keceriaan.

Aku mematung sejenak, menghentikan langkahku menuju ke area parkir demi melihat sosok yang mulai ku kenali wajahnya tengah menunggu di atas Ninja nya di depan gerbang sekolah.

" Sopir lo udah jemput tuh" aku berkata kesal.

" Sorry Mikh, gue juga gak menginginkan ini. Tapi lo gak kenal bokap gue. Dia bisa aja bertindak lebih keras kalo kita sampe melanggar" Ashen berusaha meyakinkanku. Terpaksa kutelan kekesalan dengan tanpa bisa berbuat apa-apa.

Ku raih tubuh kesayanganku itu ke dadaku. Aku tak boleh membuat ia merasa terbebani dengan sikapku. Sebisa mungkin kubuat ia tenang meskipun giliran aku yang harus menahan gejolak rasa cemburu demi melihat ia dibonceng oleh cowok lain, walaupun mereka adalah saudara sepupu.

" Gue titip Ashen. Lo ati-ati bawa motornya. Dia gak suka dibawa kebut-kebutan. " Aku memperingatkan 'sopir pribadi' Ashen, agak cerewet demi tutupi rasa cemburuku.

Ia hanya membalas dengan mengacungkan jempol tangannya pertanda setuju.

Berat sekali rasanya ku lepaskan kesayanganku untuk pergi bersama cowok itu. Bagaimana tidak, selama hampir empat tahun, Ashen selalu pulang bersamaku. Tak seharipun kubiarkan ia pulang ke rumah tanpa kuantar. Aku tak mengerti apa yang membuat orangtua Ashen membuat keputusan ini. Apakah aku dinilai tak bisa menjaga Ashen atau bagaimana?!. Sehingga kami harus diberi jarak seperti ini.

Area parkir berangsur sepi, Ashen dan 'sopir'nya juga sudah tak nampak lagi di pandanganku.

.

.

.

YuKa/ 080324

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!