Tubuh ramping melayang dalam gendongan tangan kekar, rambut panjang dan kakinya menjuntai, kala Haris membawanya ke tempat tidur. Dia rebahkan perlahan-lahan tubuh mungil tersebut kemudian menutupnya dengan selimut.
***************
Malam berlalu begitu cepat, adzan subuh mengalun merdu dari mushalla yang tidak jauh dari komplek sederhana. Mata Sarah bergerak-gerak rasanya berat untuk membuka. Namun, mau tak mau dia harus bangun, sudah biasa baginya bangun saat subuh.
"Kok aku tidur disini?" Sarah kebingungan memindai kasur di sebelah kiri kanan. "Ya Allah... Jangan-jangan aku tidur dengan Haris?" Sarah bermonolog. Segera dia turun dari tempat tidur membuka pintu kamar. Orang yang sedang dia takuti rupanya tidur meringkuk di sofa tanpa selimut.
"Oh... dia tidur di situ..." Sarah mengusap dadanya terasa lega. Udara pagi terasa dingin walaupun tanpa ac. Wilayah ini memang terkenal paling dingin di antara kota penyangga Jakarta. Sarah kembali lagi ke kamar ambil selimut, kemudian menutup tubuh Haris sebelum akhirnya ke kamar mandi.
Tanpa Sarah sadari Haris mengulum senyum memandangi Sarah yang tengah berjalan menjauh. Rupanya pria itu hanya pura-pura tidur.
***************
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsallam..."
Kopiah hitam, koko putih, lengkap dengan sarung kotak-kotak. Dia adalah Haris baru pulang dari masjid.
"Kok lama Pak, nanti kesiangan loh," Wanita yang sudah mengenakan seragam lengkap tengah mengenakan alas laki di kursi.
"Tadi ngobrol dulu dengan Pak rt. Kamu sepagi ini sudah siap?" Tanya Haris berdiri di depan Sarah.
"Memang Bapak tidak hafal, setiap hari saya datang jam berapa?" Sarah balik bertanya. Padahal mereka tiba di sekolah dalam waktu bersamaan.
"Iya, bawel" Sambil berlalu, Haris memencet hidung Sarah. Sang pemilik pun mendelik gusar, tetapi Haris sudah masuk ke kamar.
"Cepetan Pak, lama banget sih..." Sarah kesal ketika menunggu Haris diajak Sarapan tetapi entah apa yang dilakukan pria itu di kamar sana.
"Belum jam enam" Rupanya Haris sudah keluar dan berdiri di depan pintu kamar, dengan kostum yang berbeda. Yakni kemeja putih memandangi Sarah yang tengah merengut.
"Sudah Sal... mendingan kita makan, jangan manyun. Sudah aku katakan wajah kamu itu jelek kalau cemberut begitu," Haris gemas melihat Sarah tambah sewot.
Haris memandangi nasi goreng di piring dengan telur ceplok sudah tinggal makan, merasa terharu. Semua itu sudah Sarah siapkan untuknya. Ia melirik Sarah yang tengah menuang air, tersenyum senang. Dia tahu muridnya itu tidak menyukai dirinya, tetapi perhatian Sarah, membuatnya tak mampu berkata-kata.
"Sarapan itu jangan kebanyakan Pak. Nanti ngantuk loh," Sarah melirik Haris, makan nasi goreng sampai nambah.
"Soalnya masakan kamu enak," jujur Haris. Lalu meneguk air yang sudah Sarah siapkan. Selesai makan mereka berangkat ke sekolah, tetapi bukan berduaan dengan mobil, maupun berboncengan motor. Sarah memilih masing-masing dan sudah berangkat lebih dulu.
"Salma... loe hari jumat ke mana?" Tanya Hani ketika baru tiba. Sebab, Sarah libur sejak hari jumat untuk persiapan segala sesuatunya.
"Ada acara keluarga Han..." Sarah menjawab cepat, khawatir Hani curiga.
"Oh... gue kira loe kencan sama pak Haris, masa... nggak masuk kok barengan hahaha," Hani berkelakar.
"Idih, anak cewek ketawa jangan mangap gitu apa Han. Aurat tahu" nasehat Sarah.
"Elaaahh... gue gini juga loe yang ajarin Sal, pakai sok nasehati" Hani melengos.
"Sudahlah... jangan dibahas," jawab Sarah. Khawatir merembet ke mana-mana.
"Hai... cantik..."
"Hai Salma..."
Begitulah, seperti biasanya para siswa yang masih duduk di koridor berisik menggoda Sarah. Bersamaan dengan itu, Haris yang baru saja tiba mengawasi dari pintu arah masuk ke kantor.
"Sal, lihat. Apa gue bilang, Pak Haris itu suka sama loe," bisik Hani. Salma menoleh ke belakang, tetapi Haris segera membungkuk pura-pura melepas sepatu.
"Kamu ini Han, sudahlah... masuk kelas yuk," Sarah menarik tangan Hani hendak meletakkan tas di kelas.
*****************
Di sekolah Negri Kartini, satu kursi di kelas 12 a, kosong. Guru yang tengah mengajar di depan sana kebingungan.
"Mela... teman kamu ke mana?" Tanya Rafi mendekati kursi kosong tersebut, rupanya kursi Salma.
"Sepertinya Sarah tidak masuk sekolah Pak," Mela mengatakan, sejak kemarin handphone Salma tidak bisa di hubungi.
Rafi manggut-manggut tetapi hatinya gelisah, Sarah tidak masuk? Padahal kemarin siang dia belajar bersamanya. Apa mungkin dia sakit? Sebab, kemarin Salma mengeluh lelah. Jika memang demikian seharusnya minta izin.
"Ya sudah... lanjutkan belajarnya," Rafi duduk di depan menunggu tugas anak-anak selesai. Ia berpikir pulang sekolah nanti akan menemui Salma.
************
Di tempat yang berbeda, satu cangkir kopi telah tersaji di depan seorang pria. Entah sudah berapa batang rokok yang dia hisap. Habis satu batang menyulut kembali, hingga asbak penuh dengan puntung. Dia adalah Aiman, semenjak pertengkaran dengan putrinya kemarin sore, Salma tidak mau keluar kamar. Hingga pagi ini pun tidak ada turun, padahal harus berangkat ke sekolah.
Mendengar langkah kaki di seret ke arah pintu, pria itu menoleh. Rupanya istrinya sudah rapi entah mau ke mana.
"Kamu mau kemana Bi?" Aiman sebenarnya kesal, padahal pulang ke rumah hanya sebentar, tetapi istrinya bukan menemani di rumah, malah meninggalkan dirinya.
"Mama mau arisan Pa, tidak lama kok," Jawabnya sambil menarik sepatu dari rak lalu memakainya.
Aiman menarik napas panjang, jika Sudah begitu tidak bisa apa-apa selain membiarkan istrinya pergi. Dia letakkan rokok yang masih setengah di asbak, menekan-nekan hingga mati. Dia beranjak hendak mengurangi egonya sedikit menemui Salma di kamar.
"Sarah..." Panggilnya. Sebenarnya Aiman sangat menyayangi Sarah, tetapi wanita berkepala ular itulah penyebabnya.
"Sarah..." ulang Aiman, karena tidak ada sahutan, Aiman mencengkeram handle pintu. Di atas tempat tidur, Salma masih bergulung selimut.
"Sarah... bangun..." Aiman menggoyang kaki Salma.
"Apa... Aku masih ngantuk," jawab Salma cuek.
"Kenapa kamu tidak sekolah, Sarah?" Aiman mengangkat kepala Salma hingga duduk. Dengan terpaksa, Salma turun dari tempat tidur, lalu berjalan ke kamar mandi. Tetapi bukan untuk mandi melainkan cuci muka, kemudian kembali. Rupanya Aiman masih menunggu dirinya.
"Jadi yang dikatakan Mama kamu itu benar Sarah... jika selama ini kamu sering membolos," ucapan Aiman sungguh tidak tepat waktu. Jika sudah mogok begitu, Salma hanya ingin dirayu, bukan malah dimarahi.
"Kalau aku menjawab hanya sekali ini membolos, toh Papa tidak akan percaya bukan? Karena Papa lebih percaya dengan Rania yang jelas bukan darah daging Papa" air mata Salma merembes. Entah mengapa saat ini ia menjadi cengeng.
"Maaf Pa, coba perhatikan mata aku. Aku menangis semalaman, sampai bengkak begini dan itu gara-gara Papa" Itulah alasan Salma mengapa tidak masuk sekolah karena malu matanya bengkak.
"Andai saja, Papa di posisi aku, anak Papa. Dimarahi di depan ibu tiri dan anak tiri. Mengatai aku bodoh. Aku sedih Pa... huhuhu..." Salma duduk di lantai memeluk lutut.
Aiman terpaku mendengar ucapan putrinya. Selama ini Sarah tidak pernah membantah nasehatnya walaupun sepatah kata. Tetapi ini sampai mbrebet. Aiman bangkit dari duduknya mendekati Salma, kemudian berjongkok di depanya. Aiman mengangkat kepala Salma, hingga saling berhadapan.
"Maafkan Papa," ucap Aiman. Lalu mengajak bicara Salma dari hati ke hati. Mungkin lantaran tidak ada Bianca dan Rania, maka Aiman bisa bicara dengan leluasa.
"Pa... tolong jawab dengan jujur, ke mana perginya Mama?" Tanya Salma tentu ini demi Sarah.
"Sudah... jangan tanyakan itu lagi Sarah, bukannya Papa pernah cerita sama kamu. Kalau mama kamu itu pergi entah ke mana," tegas Aiman.
"Pa... apakah keluarga Papa maupun Mama dulu ada yang melahirkan anak kembar?" Pancing Salma.
"Anak kembar?"
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
kalea rizuky
ganteng nya rafii deh
2025-02-18
0
Lee
Ayolah pak Aiman bicara yg jujur., jdi ikutan deg-degan...
2024-03-18
0
Lee
Ini sarung sejuta umat. Abahku punya bnyak dan kotak-kotak semua 😂
2024-03-18
0