Selesai dari toilet, Haris hendak kembali ke ruang guru. Sepanjang perjalanan beberapa siswa siswi mengangguk sopan. Tetapi bola mata Haris berputar mencari keberadaan Salma yang tidak ada di antara mereka. Bayangan mata merah setelah menangis tadi, membuatnya ingin tahu apakah dia baik-baik saja.
Wanita yang dipikirkan rupanya tengah berjalan ke arahnya. Wajah Sarah sudah baik-baik saja bahkan tersenyum melirik teman pria di samping.
"Salma... nanti malam kita jadi nonton kan?" Tiga pria yang tadi pagi mengajak keluar malam, kini kembali mendesak Sarah. Mereka tidak ingin melewatkan seperti malam-malam sebelumnya. Sekedar nongkrong dan bersenang-senang.
"Tapi maaf ya, mulai sekarang... aku mau serius belajar. Sebentar lagi kan ujian..." tolak Sarah halus, membuat mereka diam. Sarah lalu menatap ke depan, rupanya Haris memperhatikan dirinya.
"Dasar anak bandel, genit memang," Batin Haris, kemudian berpaling masuk ke dalam kantor. Di tempat itu, tampak para guru tengah ngobrol di temani teh. Bersantai sejenak sebelum pelajaran kedua dimulai. Sementara Haris memilih melanjutkan mengoreksi soal yang belum selesai. Karena jam kedua akan pindah ke kelas lain.
Mata Haris menyipit ketika tiba saatnya mengoreksi lembar jawaban yang bernama Salma Haira. "Hah? Betul semua... apa aku tidak salah lihat," Gumam Haris.
Merasa aneh, Haris membuka tumpukan tugas kedua yang belum dia periksa. Nama Salma yang dia cari lebih dulu. "Ini dia" Haris kembali mengoreksi soal yang berjumlah 10, tidak ada satupun yang salah. "Ini juga betul semua. Apa jangan-jangan... bocah bandel itu nyontek?" Pertanyaan berkecamuk di hati Haris.
*****************
Jika di sekolah Negri Pertiwi Haris bingung dengan otak Salma yang tiba-tiba jenius.
Sementara di sekolah Negri Kartini, kepala Rafi pusing tujuh keliling, ketika melihat hasil ulangan Sarah jeblok. "Kenapa sih kamu sayang..." Rafi melempar kertas ke atas meja.
"Ada apa Pak Rafi?" Tanya Rhohman guru agama, yang baru masuk selesai mengajar jam pertama. Melihat Rafi tengah menunduk memijit pelipisnya.
"Eh, Pak Rhohman" Rafi lalu ambil kertas yang sudah dia remas menjadi bulatan lalu membukanya kembali, sebelum menunjukan kapada pak Rhohman.
"Oh... ini to masalahnya," Pak Rhohman meneliti deretan angka sekilas, lalu meletakkan kembali.
"Aneh tidak, menurut Pak Rhohman? Kita semua tahu, jika Sarah itu selalu peringkat pertama kelas, tetapi kenapa nilainya bisa seperti ini Pak," Rafi geleng-geleng kepala. Terlepas Sarah itu kekasihnya atau bukan, sebagai seorang guru, Rafi merasa kecewa.
"Pak Rafi, naik turunnya nilai itu sudah biasa dialami murid-murid, tetapi kenapa Pak Rafi sampai berpikir serius begitu?" Tanya pak Rhohman.
Rafi tidak mau menimpali apa yang dikatakan pak Rhohman. Tetapi masa iya, dalam waktu satu hari nilai Sarah langsung merosot.
"Sebaiknya kita minum kopi dulu Pak Rafi" pak Rhohman menarik tangan Rafi ke kantin. Rafi tidak menolak, mungkin dengan minum kopi bisa menghilangkan rasa pusing kepalanya.
Suasana ramai terdengar cuitan anak-anak yang berebut membeli minuman dan makanan. Di ujung sana, mata Rafi menangkap orang yang sedang dia pikirkan, tengah bersenda gurau bersama Mela teman sebangku. Tawa mangap, mulutnya penuh dengan makanan, satu kaki nangkring di kursi. Gayanya seperti anak jalanan. Itulah yang Rafi lihat.
Rafi hanya bisa Istigfar, kali ini dia telah kehilangan Sarah yang dia kenal santun, dan anggun. Rafi menarik napas dalam-dalam, niat hati hendak menuju pedagang minuman tetapi teman seprofesi sudah berjalan ke arahnya.
"Pak Rafi, ini kopinya," pak Rhohman memberikan satu gelas kopi.
"Terimakasih Pak," Rafi malu, sampai lupa tujuan awal. Rupanya lama juga memandangi Salma.
Jam berlalu, waktu pulang sekolah tiba. Dengan langkah semangat karena merasa terbebas dari pelajaran yang membuat kepalanya pusing, Salma bergegas ke pinggir jalan.
"Loe jalan kaki lagi Sar?" Tanya Mela.
"Jalan kaki?" Salma terkejut.
"Elah... loe! Kenapa kaget gitu sih Sar? Biasanya juga loe jalan kaki," Mela menyenggol lengan Salma dengan sikut.
"Iya... maksudnya numpang angkutan," Salma tertawa.
Yang Salma tangkap dari pertanyaan Mela, berarti selama ini Sarah sering jalan kaki. Padahal jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh. Salma kesal sekali, pasti Sarah sering tidak mendapat uang jajan. "Keterlaluan nenek lampir itu, gue tidak akan membiarkan loe berbuat semena-mena lagi," Batin Salma.
"Sarah, gue duluan ya," angkutan ke arah tempat tinggal Mela datang lebih dulu.
Salma melambaikan tangan ketika Mela sudah berada di dalam angkutan.
"Heh! Sarah, mana uang jajan gue yang loe rampas tadi pagi?" Datang Rania, tiba-tiba saja menengadahkan tangan.
"Oh... loe mau uang jajan? Ini ambil" Salma mengiming-iming uang merah.
Rania terkejut melihat Salma pamer uang 100 ribu. "Eh, Sarah! Loe curi uang nyokap gue?" Tuduh Rania, Rania pikir tidak mungkin jika Sarah mempunya uang sebanyak itu jika bukan karena mencuri.
"Kalau gue sampai mencuri uang emak loe, itu karena gue tidak pernah mendapat hak sebagai anak Papa. Ngerti loe!" Sinis Salma. Dia masukkan kembali uang ke dalam saku.
"Sarah... kamu belum dapat angkutan? Kita bareng saja," Rafi tiba-tiba muncul sudah di atas motor.
"Iya Mas, saya mau," Salma, bukan Sarah, tentu saja bersemangat.
"Eh, nggak boleh" Rania menarik tangan Salma yang sudah berada di jok motor.
"Berani sama gue, tangan loe bisa patah," Ancam Salma.
"Aaagghh..." Rania berteriak, sebenarnya tidak diapa-apakan oleh Salma. Tetapi hanya minta perhatian Rafi.
"Sarah... jangan..." Rafi yang berada di atas motor pun terpaka turun, melerai kedua muridnya. Rafi menatap wajah Salma terkejut. Selama ini belum pernah melihat Sarah melawan Rania, apa lagi sampai melintir tangan adik tirinya seperti yang Rania tuduhkan.
"Sarah memang jahat Pak, ini belum seberapa. Kalau di rumah, rambut saya selalu di jambak," Rania memeragakan ketika Sarah menjambak rambutnya.
"Rania... sebaiknya kamu pulang numpang angkutan ya, saya ada perlu dengan Sarah" tolak Rafi halus.
Salma menjulurkan lidahnya kepada Rania. Rafi yang melihat itu hanya menggeleng, lalu menjalankan motornya menjauh dari Rania.
"Mas..." Salma membuka percakapan ketika motor akan belok ke arah tempat tinggal Sarah.
"Iya..." jawab Rafi.
"Bawa aku kemana gitu kek... saya malas pulang" jujur Salma memang malas bertemu dengan ibu tirinya. Sudah pasti tidak bisa istirahat, mendengar omelan.
"Ya..." Rafi menjawab pendek. Sebenarnya tidak baik mengajak Sarah pergi tanpa izin orang tuanya, apa lagi saat pulang sekolah. Tetapi mungkin ini kesempatan untuk berbicara dengan Sarah tentang nilai matematik yang hancur-hancuran.
Motor masuk di salah satu apartemen sederhana. Di tempat itulah Rafi tinggal. Pria yang berasal dari kota bandung itu tinggal seorang diri. Hidup mandiri di Jakarta.
"Mas di sini sendirian?" Tanya Salma, memindai sekeliling. Hanya ada satu kamar, ruang tamu. Tidak jauh darinya ada kulkas kecil.
"Ya, beginilah tempat tinggal aku Sar. Duduk dulu gih" titah Rafi, sembari membuka kulkas. Tahu jika Sarah saat ini tidak suka teh, Rafi ambil air mineral dingin yang masih di botol dengan dua gelas.
"Minum Sar," Rafi letakkan botol dan gelas di atas meja.
"Terimakasih, Mas. Gluk. Gluk. Gluk" Salma menenggak air dalam botol. Dia lupa jika saat ini berhadapan dengan Rafi. Bukan teman-teman tongkrongan.
Rafi meraup wajahnya dengan satu tangan, padahal sudah dia sediakan gelas, tetapi orang nomor satu di hatinya itu tidak mengerti.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Eka elisa
ajari slma dong pak psti otk nya encer kyk sarah.... cumn slma kurang di asah dn kurang prhtian pk.. rafi... smngt smoga pk rafi bisa bikin salma brubh yo pak....
2024-03-11
3
Lee
Sabar Rafi, Sarah yg ini agak berani 🤣
2024-03-10
1
Nur Hidayah
Rasain kamu Rania😂
2024-03-06
1