"Sarah... ayo bareng" Ucap seorang pria hendak membuka helm. Namun, Salma tidak menyadari jika pria tersebut memanggil namanya. Selain lupa nama Sarah, Salma tengah menunduk asik dengan handphone di tangan.
"Sarah..." Pria yang sudah membuka helm itu mengulangi.
"Apa, loe manggil gue?" Dahi Salma berkerut, mengamati pria dewasa di depanya. Rupanya dia benar-benar lupa jika tukar nama dengan Sarah.
"Kamu kenapa Sarah?" Pria yang di atas motor pun menatap Salma bingung. Mana mungkin Sarah tidak mengenalnya. Lagi pula wajah Sarah tidak seperti biasanya. Sang kekasih jika dipandang menyenangkan. Mendengar tutur katanya yang lembut membuat pria itu meleleh.
Tidak biasanya pula Sarah memanggilnya loe, apa lagi sambil mengulum permen karet. Mulutnya tertutup dengan balon, meninggalkan kesan tidak sopan. "Ya Allah... segitu setresnya kekasihku. Karena perlakuan ibu tirinya," pria yang tak lain adalah Rafi itu berspekulasi.
"Kenapa pria ini, lihatin gue terus?" Salma pun bertanya dalam hati. "Astagfirullah... ini kan pria yang di foto itu," Batinya berkecamuk. Segera ambil langkah seribu agar Rafi tidak curiga.
"Maaf Mas... aku pusing... barusan diomeli," Adu Salma, pura-pura memelas. Padahal baginya, Omelan ibu tirinya masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Salma memandangi Rapi lekat-lekat. "Jadi ini kekasih Sarah? Tampan juga, baik lagi, daripada Haris, guru kiler, angkuh, menyebalkan." Batin Salma.
"Aku mengerti Sarah, ayo naik. Nanti keburu Rania menyusul kamu lagi," Rafi membujuknya.
Tanpa ragu, Salma naik ke atas motor Rafi. Bagi Salma berboncengan dengan pria seperti ini sudah biasa.
"Pegangan" Rafi segera mengenakan helm. Wajah tampan yang tersembunyi di dalam helm tersebut, tersenyum bahagia. Selama ini mengajak Sarah berboncengan susah sekali. Tetapi pagi ini, mengiyakan tanpa ragu.
"Masih setengah tujuh, bagaimana kalau kita sarapan di warung depan sana," Rafi ambil kesempatan, berharap Sarah tidak menolak.
"Boleh juga Mas," Salma tentu mengangguk cepat, karena pagi ini belum sarapan. Tadi subuh dibangunkan agar membuat nasi goreng tetapi malas. Jika memasak untuk mamanya sendiri, seburuk-buruknya Salma masih mau. Tetapi untuk mama dan adik tiri Sarah. Oh tidak. Sebab, menurut cerita Sarah, walaupun sudah capek memasak. Minta imbalan sepiring nasi pun harus mencuci setumpuk pakaian tanpa mesin cuci.
Rafi parkir motor di depan warung makan sederhana, tanpa berkata-kata mengait jemari Salma mengajaknya masuk.
Salma terkejut, hampir menghempas tangan Rafi, tetapi dia segera sadar jika ini bagian dari sandirawara. Selama ini memang kebanyakan teman-temannya pria, tetapi jika mereka berani pegang-pegang bisa-bisa dia tendang.
Di meja paling pinggir mereka duduk di kursi plastik. Jika Salma memesan omled mie instan, Rafi memesan bubur. Sambil menunggu pesanan, Rafi melirik Salma yang tengah senyum-senyum mantengin handphone.
"Kamu sudah dapat kiriman handphone dari Papa kamu?" Sudah berapa kali Rafi menawarkan handphone agar memudahkan dirinya untuk berkomunikasi, tetapi Sarah beralasan menunggu kiriman papa.
"Sudah lama," Jawab Salma cuek.
"Sudah lama?" Rafi kaget, punya handphone sudah lama, tetapi mengapa ketika dia minta nomor tidak pernah dikasih.
"Oh maksudnya kemarin. Iya kemarin... hihihi... lupa," Salma cekikikan hanya untuk mengusir rasa gugup.
Rafi lantas diam, sesekali menoleh Salma. Dia kesal, momen seperti ini yang selalu ditunggu-tunggu, tetapi rupanya Sarah tidak menggunakan kesempatan ini dengan baik. Menyibukkan jempol entah apa yang diketik.
Satu mangkok bubur dan satu gulungan omled sudah tersedia di hadapan mereka. Rafi segera makan, tetapi Salma masih asik dengan handphone.
"Sarah... simpan dulu handphone kamu, cepat sarapan. Nanti terlambat," Rafi mencoba untuk bersabar.
"Oh iya, makanannya sudah datang," Salma tertawa.
Tidak menanggapi lagi, Rafi segera menyuap bubur. Pandanganya tertuju pada omled di piring Salma. Belum ada lima menit sudah tidak ada. Lalu melirik Salma, tampak pipinya menggelembung penuh dengan omled. Bahkan menelan pun sampai mendelik.
Rafi menarik napas berat, menyugar rambutnya ke belakang. Kenapa dengan sarah? Segera dia ambil teh hangat memberikan kepada Salma. "Minum" titahnya. Melihat gaya makan Salma sebenarnya sudah malas untuk melanjutkan makan, tetapi jika tidak dihabiskan tentu saja mubazir.
"Terimakasih," Jawab Salma, dengan mulut penuh. Lalu menyeruput teh sedikit. Ya. Sarah memang putri Asyima, wanita berkelas. Tetapi Salma tidak pernah belajar cara makan yang benar. Sebagai single parent, Asyima sibuk mencari uang di luar, berangkat ketika Salma belum bangun, dan pulang ketika Salma sudah tidur.
"Sudah?" Rafi menyingkap kemeja, melihat arloji di pergelangan tangan. Pagi ini tentu tidak banyak waktu lagi untuk berduaan.
"Ayo" Salma pun beranjak menggendong ransel berwarna hitam, sambil menggigit handphone. Ia tidak menyadari jika Rafi melihat tingkahnya. Namun begitu, Rafi memaklumi, mungkin saja Sarah sedang senang-senangnya mempunyai hp baru.
Pandangan Rafi beralih pada minuman Salma, teh hangat kesukaan Sarah hanya diminum sedikit. "Teh kamu tidak dihabiskan Sar?" Tanyanya kemudian.
"Aku tidak suka teh Mas," Jawab Salma sambil berlalu.
Rafi memandangi Salma dari belakang. Tidak suka teh? Sejak kapan, Sarah tidak suka teh? Selama setahun mengenal Sarah, Rafi tahu apa yang pacarnya suka, dan tidak dia suka. Tetapi ya sudahlah, Rafi segera menyusul. Bersama Salma kurang lebih 30 menit, Rafi dibingungkan dengan banyak hal. Kebiasaan Sarah jelas tidak demikian.
"Kalau lagi naik motor, handphone sebaiknya jangan kamu pegang Sarah," Rafi yang sudah menyalakan motor mengingatkan.
"Tenang saja Mas, ada yang berani macam-macam sama gue... tendang," Jawabnya sambil menggerakkan kaki.
"Hup..." Merasa Rafi menatapnya bingung. Salma menutup mulut dengan telapak tangan karena keceplosan. Menjadi orang lain itu ternyata berat baginya. Tidak ada bedanya seperti mengerjakan soal matematika yang membuat kepalanya mau pecah.
"Sudahlah..." Rafi starter motor, terasa berat bagian belakang, kemudian melesat pergi. Kira-kira beberapa meter dari sekolah, ia berhenti.
"Kamu mau turun disini apa di depan?" Rafi ingat jika Sarah tidak mau hubungannya dengan dirinya diketahui teman-temannya.
"Di sini saja," Salma pun akhirnya turun. Sebelum Rafi melanjutkan perjalanan mendekatkan telapak tangannya ke arah Salma.
"Ngapain?" Dahi Salma berkerut.
"Salim dong... jika tadi kita sebagai kekasih. Saat ini aku gurumu," Rafi terkekeh. Salma menuruti perintah Rafi, yakni mencium punggung tangannya. Lagi-lagi Salma kaget merasa kepalanya diusap, tetapi kendaraan Rafi sudah menjauh.
"Haduuhh... Jangan-jangan... Sarah suka dipegang-pegang begini," Monolognnya, lalu melanjutkan perjalanan.
Gedung berlantai tiga, sudah banyak murid-murid di sana. Itulah sekolah Kartini. SMK negeri di mana Salma menggantikan Sarah. Tidak ada yang dia kenal walaupun berpapasan dengan anak-anak, tetapi Salma melangkah percaya diri. Ada juga satu dua siswa siswi yang menegur, Salma hanya tersenyum.
"Sarah... tumben sih... loe kesiangan?" Tanya Mela sahabat Sarah, sudah menunggu di depan kelas.
Salma tersenyum, walaupun belum mengenal Mela, tetapi sudah diberi tahu Sarah, tentang ciri-ciri sahabatnya. "Biasa... gue nyuci dulu." Jawabnya sambil berjalan. Dua tangannya memegang sisi tali ransel cara berjalannya tidak ada anggun-anggunya sama sekali. Tentu berbeda dengan Sarah sahabatnya. Bukan hanya Rafi yang merasa aneh, tetapi Mela pun sama.
"Sarah... tumben sih? Loe ngomongnya loe gue?" Cecar Mela, mengikuti langkah Salma yang masih bingung mencari meja.
"Kan loe yang ajarin," Salma tertawa ngakak.
"Eh, eh! Loe mau kemana Sarah? Tempat duduk kita kan di sebelah sana,"
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Kakak Shanuum
aduh salma dan sarah harus benar2 bisa cepat menyesuaikan diri sesuai peran nya
2024-03-12
0
Eka elisa
smoga slma brubh kyk sarah ya.. wangi dn rapi....
2024-03-11
1
Nur Hidayah
Lucu banget sih kamu Sarah palsu🤭😂
2024-03-06
0