Salma memegangi pipinya yang terasa perih, seumur hidup baru kali ini mendapat tamparan. Ia tidak berani menatap pria yang tak lain papanya Sarah.
"Papa tanya darimana kamu?!" Aiman menjewer telinga Salma.
"Pa, Paaa... lepas ... sakit Paaa..." Jawab Salma, lalu mendongak menatap mata Aiman. Rupanya di belakang Aiman ada dua benalu yang tengah menyeringai.
"Masuk!" Aiman berlalu lebih dulu.
Salma melempar tatapan sinis kepada Bianca dengan Rania yang tengah tersenyum meledek. Salma tidak peduli tetap berjalan tetapi sengaja menabrak lengan Rania.
Tiba di ruang keluarga, Aiman sudah menunggu di sana. "Papa tanya sekali lagi! Darimana kamu?" Aiman menurunkan intonasi suara.
"Aku pulang belajar Pa," lirih Salma, lagi-lagi menunduk, sambil meremas kedua telapak tangan.
"Belajar kamu bilang?! Lihat ini! Sarah?!" Aiman melempar hasil kertas ulangan ke wajah Salma hingga berhamburan ke lantai.
Salma menoleh dua wanita yang tengah puas menonton dirinya bak pertunjukan yang menghibur. Sudah pasti ini ulah mereka yang sudah lancang masuk ke kamar menunjukkan hasil ulangan untuk menjatuhkan dirinya di depan papa Sarah. Salma menunduk, ingatannya kembali pada Sarah. Dulu dia pernah mengatakan bahwa Aiman mudah kena hasut dua benalu di rumah ini. "Awas kalian nanti," Batin Salma. Kedua tangannya mengepal.
"Kamu keterlaluan Sarah! Papa capek mencari uang demi kamu. Tetapi kamu malah keluyuran setiap hari. Kenapa kamu menjadi bodoh Sarah!" Bentak Aiman.
"Terus saja Pa, bilang aku bodoh" Bukan Salma jika tidak menjawab.
"Aku memang bodoh Pa, tetapi semua ini karena perlakuan dua wanita itu," Salma menunjuk Rania dan Bianca yang tengah membelalak karena kaget mendengar ucapan Salma.
"Bagaimana aku mau belajar Pa, jika setiap hari dipaksa mengerjakan pekerjaan rumah, sementara dua orang ini hanya ongkang-ongkang kaki,"
"Dia bohong Pak" Elak Rania. Memotong ucapan Salma.
"Diam kamu!" Telunjuk Salma menjurus ke mata Rania.
Aiman mengangkat tangan kembali hendak memukul Salma.
"Sekarang pukul aku Pa! Jika ini bisa membuat Papa bahagia karena sudah menyiksa anak Papa sendiri" Air mata Salma pun akhirnya jatuh. Entah mengapa hatinya sedih sekali ketika dirinya dikatakan anak bodoh. Padahal ia bukan Sarah.
Aiman menurunkan tanganya kembali kala menatap wajah Salma merah bekas gambar tangannya. Selama ini Aiman belum pernah memukul Sarah semarah apapun.
"Papa harus tahu, selama ini aku menjadi budak dua wanit ini. Makanya aku menjadi anak bodoh. Tetapi Papa percaya begitu saja bukan? Jika dua wanita ini mengadu ini itu" atas nama Sarah Salma berani berbicara tentang kebenaran. Entah Aiman mau percaya atu tidak, Salam meninggalkan tiga orang yang hanya diam termangu. Dengan langkah gontai Salma menuju kamar.
Prak!
Salma melempar tas yang berisi buku-buku ke tembok, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke kasur dengan posisi tengukurap.
Salma kali ini menangis sejadi-jadinya, untuk yang pertama kali selama tinggal di rumah Sarah. Hatinya merasa sakit, mendapat perlakuan buruk hanya karena nilai jelek. Padahal dia sudah mati-matian berusaha.
Ting.
Notifikasi masuk, Salma ambil handphone di sebelah lalu memeriksa.
"Salma... aku sudah mewakili kamu menikah dengan Haris. Saat ini kamu sudah sah menjadi istrinya. Aku akan berusaha agar Haris jangan sampai minta haknya, sebelum kamu datang hidup bersama Haris. Aku mohon kamu jangan lama-lama memenuhi janji kamu"
Begitulah pesan yang ditulis Sarah. Tidak ada niat untuk membalas, lalu menutup ponsel.
***************
"Kenapa Salma nggak balas pesan aku sih... padahal kan dia buka," Gumam Sarah. Dia duduk di kursi meja belajar yang berada di kamar Haris. Baru saja selesai mengerjakan tugas lalu menyempatkan diri kirim pesan, tetapi tidak ditanggapi tentu saja kecewa. Tangan kiri menopang dagu, tangan kanan mengetuk-ngetukkan pulpen ke atas meja hingga menimbulkan suara musik.
Sore ini dia hanya di rumah seorang diri, sementara Haris sedang ke luar entah ke mana.
Mendengar derung mobil di luar, Sarah mengintai dari jendela. Mobil pick up yang mengangkut forniture berhenti di depan rumah. Tidak lama kemudian, Haris ke luar dari mobil tersebut.
"Pak Haris bawa apa itu? Banyak sekali," Monolog Sarah, lalu bergegas ke depan membuka pintu.
Pria bertopi, kaos lengan pendek dan celana jins yang melekat di badan. Haris tampak lebih muda daripada saat mengenakan kemeja ketika mengajar di sekolah. Masih di pinggir pintu, Sarah memperhatikan Haris yang tengah menurunkan barang-barang dibantu kernet lalu menggotong ke dalam.
"Pak Haris... darimana barang-barang ini?" tanya Sarah. Segera dia minggir dari pintu agar tidak menghalangi jalan.
"Beli Salma, tetapi barang-barang ini tidak mewah seperti di rumah kamu," Jawab Haris ketika tengah mengatur letak sofa, meja makan, dan kursi.
"Siapa juga yang tanya barang ini mewah atau nggak, Pak" Sarah kesal lalu melenggang ke dapur. Dia ambil gelas di rak dan mengisinya dengan air, tidak lama kemudian kembali.
Di ruang tamu hanya tinggal Haris seorang diri. Dua orang lainnya sudah pergi lima menit yang lalu. Ia duduk di sofa sederhana yang baru dia beli. Napas nya naik turun karena baru selesai mengangkat benda-benda tersebut, ternyata lelah juga.
"Minumnya Pak," Sarah berjongkok sambil meletakan nampan.
"Terimakasi Sal, eemm... enak juga ternyata punya istri, apa-apa di layani," Jujur Haris setelah menghabiskan segelas air putih.
"Bapak membeli semua ini habis berapa? Saya punya sedikit tabungan Pak, siapa tahu membantu," Sarah mengalihkan. Uang yang dia punya milik Salma, wajar jika Sarah melakukan ini.
"Tidak usah Salma" tolak Haris cepat. Jika dia mau, Asyima juga menawarkan fasilitas. Uang Salma juga pasti banyak, tetapi Haris ingin belajar bertanggung jawab sebagai seorang suami.
Sudah seperti istri sungguhan, sore itu Sarah memasak dilanjutkan makan malam.
"Aku tidak menyangka kamu bisa memasak juga," Ucap Haris, ketika memandangi menu di meja makan. Salma yang terkenal malas itu, bukan hanya memasak, tetapi rajin mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga. Padahal biasanya hidup di layani asisten.
"Sudah tidak usah dibahas," Pungkas Sarah.
Mereka makan dalam diam, sesekali Haris melirik Sarah. "Gaya makan orang berkelas itu berbeda," Batin Haris.
Malam harinya Sarah masih harus belajar, padahal semua pekerjaan rumah dia kerjakan sendiri.
"Sudah Salma... sebaiknya istirahat" Haris mendekati Sarah. Ingin sekali mengusap kepala Sarah, tetapi takut kena bogem. Kerena Sarah menolak hal itu.
"Tanggung, Bapak tidur saja dulu," Sarah kali ini bisa belajar lebih tenang, lantaran Haris sudah membeli kursi. Tentu saja, dia akan tidur di luar.
"Ya sudah... aku temani," Haris naik ke tempat tidur, main game. Walaupun guru butuh hiburan juga. Satu jam kemudian, ia melihat Sarah telungkup di atas meja berbantalkan tangan.
Haris turun dari tempat tidur mendekati Sarah. Dia angkat perlahan kepala Sarah yang sudah pulas beralaskan lengannya. Haris memandangi wajah Sarah lebih dekat. "Ya Tuhan... ternyata cantik sekali istriku..."
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Eka elisa
jgn sekarang sarah jgn plng dulu sblum slma usir tu duo keong racun dri rumh...
2024-03-11
2
Nur Hidayah
Pandang trs wajah Sarah pak Haris😂
2024-03-11
1
D'wie author
Dia bukan istrimu, Pak Haris. Tp smg entar jd istri beneran deh. Smg Sarah bisa luluh sama Haris seperti Salma yg luluh sama Rafi.
Is is is, bapak nggak ada akhlak. Lebih percaya sama duo racun drpd putri kandung sendiri.
2024-03-10
3