Rafi meraup wajahnya dengan satu tangan, melihat cara minum Salma main tenggak begitu saja. Padahal sudah dia sediakan gelas. Rafi menggigit jari, melirik Salma yang ngos-ngosan sambil menutup botol.
"Eemm... maaf, aku haus," Salma gugup, ketika mengangkat kepala. Ternyata Rafi tengah menatapnya datar. Ia letakkan botol yang tinggal setengah di atas meja.
Rafi ambil gelas lalu menuang air. Menatap Salma sekilas dalam hati berkata. Beginiloh cara minum yang benar. "Sejak kapan kamu minum ditenggak gitu Sarah?" Pertanyaan itu akhirnya muncul juga.
"Eemm... kan aku sudah minta maaf, Mas. Sebenarnya tidak biasa minum seperti itu sih. Tapi keburu haus," jawab Salma asal saja, padahal memang sudah kebiasaan. Salma lalu menunduk, menyembunyikan kebohongan di matanya, kala Rafi seperti mengawasi.
"Aku ke kamar mandi sebentar," pamit Rafi, tidak menjawab lagi alasan Salma. Rafi tahu jika Sarah kemarin memang selalu mengedepankan adap, tetapi sekarang tidak lagi.
Salma memandangi Rafi yang beranjak ke belakang, hingga menghilang di balik pintu kamar. "Ya Allah... mau sampai kapan seperti ini?" Salma merasa berat sekali menjalani peran menjadi Sarah. Salma pikir, menjadi Sarah, cukup menundukkan ibu tiri dan adik tiri. Tetapi Salma kini terjebak dengan permainan sendiri.
Salma kini sadar, menjadi Sarah, berarti harus merubah dirinya agar menjadi wanita lembut, pandai, dan memikat banyak pria. Sedangkan dirinya? Hanya wanita urakkan. Namun begitu, dia sudah terlanjur nyaman dengan dunia seperti itu.
Andai saja bukan karena perjodohan yang terburu-buru, mungkin saat ini akan tetap enjoy hidup bebas dengan tingkah polahnya sendiri, tidak harus menjadi diri orang lain.
"Kamu menunggu di sini ya, aku mau membeli makanan dulu," Rafi rupanya sudah keluar dari kamar mandi.
"Tidak Mas, aku sudah makan baso tadi di sekolah," tolak Salma memang benar.
Rafi pun duduk berhadapan dengan Salma. "Sar, sebaiknya kamu ikut bimbel yang di adakan sekolah," nasehat Rafi.
"Bimbel? Nggak mau!" Tegas Salma. Sebenarnya setumpul apapun besi, akan tajam jika diasah. Begitu juga sebodoh-bodohnya Salma, jika belajar tentu akan bisa. Tetapi kata belajar itu yang membuat Salma malas.
"Sarah... tapi sebentar lagi kamu ujian loh, kalau nilai kamu terus menerus merosot bisa-bisa kamu tidak lulus. Sarah..." Rafi menasehati hati-hati.
"Jadi... Mas Rafi mengajak aku kesini hanya disuruh belajar? Kalau begitu permisi," Salma ambil ransel yang dia letakkan di sofa samping tempat duduknya, kemudian menggendong. Tidak pamit lagi segera membuka pintu apartemen.
"Sarah... tunggu Sarah..." Cegah Rafi, tetapi Salma sudah menjauh meninggalkan apartemen.
"Aagghh... aku yang salah," Rafi membanting bokongnya di kursi, tanpa berniat mengejar Salma. Rafi merasa bersalah. Saat ini seharusnya bukan bersikap sebagai guru, karena bukan di sekolah, dan bisa memilah-milah. Dia lupa bahwa Sarah ke sini butuh ketenangan dari tekanan Rania dan ibunya. Bukan malah ditambah lagi dengan persoalan hitung-hitungan yang sulit.
"Maafkan aku Sarah..." Rafi ambil kunci motor lalu menuju kediaman Sarah.
***************
Dengan wajah marah, Salma rasanya ingin makan orang, jika memang itu patut. Tanganya mencengkram hadle pintu kuat-kuat, pintu pun akhirnya terbuka. Saking kencangnya hingga membentur tembok dan menimbulkan suara gubrak.
"Heh! Mulai berani kamu?!" Sinis Bianca, tiba-tiba sudah menghadang langkah Salma, dengan mimik wajah menakutkan.
Tetapi Salma bukan Sarah. Tentu justru mendelik gusar. "Jangan mancing-mancing." Salma tidak mau menimpali, karena takut dirinya hilap, memilih terus berjalan melewati Bianca.
"Ada apa Ma?" Rania pun muncul dari kamar. Menatap nyalang wajah Salma yang tengah menatapnya datar.
"Heh, loe kelayapan kemana? Pulang sampai sore begini?!" Bentak Rania kesal. Karena Rafi memilih memboncengkan Sarah bukan dirinya ketika pulang sekolah siang tadi.
"Apa urusan loe ngatur hidup gue? Mau pulang malam, atau pulang pagi. Mulai sekarang jangan pernah ikut campur lagi," Salma meluapkan emosi. Rasa kesal dengan Rafi belum hilang, tetapi ditambah duo racun membuatnya semakin naik darah.
"Tugas loe tuh banyak. Belum ada yang loe kerjakan," Perintah Rania, selayaknya bos kepada asisten.
"Tugas apa yang loe maksud? Mencuci dan menggosok baju kalian? Oh... No!" Salma tertawa meledek. Merasa lega sedikit bisa menumpahkan rasa kesalnya pada Rania.
"Diaaammm... kalian diam!" Bentak Bianca, menghentikan perdebatan.
"Saya sedang emosi sekarang, jika Tante tidak mau saya lawan juga, sebaiknya pelankan suara." Semarah-marah nya, Salma masih ada rasa hormat, karena Bianca orang tua.
Bianca terkejut dengan panggilan Salma, yakni tante. "Sudah berani kamu memanggil saya Tante?!" Bianca merasa tidak dihargai.
"Mulai sekarang... saya akan memanggil Anda, Tante. Kecuali... Tante sudah bisa merubah diri menjadi lebih baik. Baru akan menjadi ibu saya,"
Salma menumpahkan semua rasa, demi sakit hati Sarah. Dia yang justru mengendalikan peraturan di rumah itu. Agar Bianca maupun Rania, mencuci dan menggosok baju sendiri. Jika tidak, Salma mengancam akan telepon papa Aiman sambil menunjukkan handphone.
Semuanya mendadak diam. Jika sedang emosi begitu, Salma ingin makan yang banyak. Tidak merasa takut dengan tatapan mata Bianca, Salma ambil piring. Ia isi dengan nasi, lauk, dan kerupuk, hingga isi piring tersebut yang dominan.
Salma melengos pergi ke kamar sambil membawa piring. Meninggalkan Bianca yang tengah ngomel-ngomel karena makanannya Salma ambil. Jika Bianca bukan orang tua, Salma tentu sudah memaki-maki. Seburuk-buruk nya Salma tentu ada sisi baiknya.
Salma mengunci pintu, melempar tas ke semberang arah, kemudian duduk di lantai kamar. Kamar Sarah tentu berbeda dengan kamarnya yang ada sofa empuk. Tetapi di tempat ini hanya ada tempat tidur dan lemari.
Salma makan hingga tandas, kemudian meletakkan piring di pojokkan. Inilah cara Salma untuk menghilangkan stres. Biasanya jika perutnya kenyang akan tidur pulas.
Tingtung. Tingtung.
Ketika hendak tidur, Salma mendengar bel berbunyi. Segera dia turun dari tempat tidur menyibak gorden sedikit. Dari jendela kaca, Salma melihat tamu yang datang.
"Ihh... dia. Ngapain tuh guru datang ke sini," Gumamnya. Setelah menutup gorden, Salma naik ke tempat tidur kembali.
Di lantai bawah.
"Jadi... pak Rafi mau mencari Sarah?" Tanya Bianca ketika menyambut guru tampan tersebut.
"Iya Bu..." Rafi beralasan, jika kedatangannya ingin memberi les privat kepada Sarah.
"Tetapi Sarah sekarang sedang tidur Pak, anak itu pulang sekolah ngamuk-ngamuk. Rania tuh yang menjadi sasaran," Adu Bianca sok melankolis.
"Iya Pak Rafi, tadi juga Mama dibentak-bentak " Rania melebih-lebihkan. Lalu mengatakan bahwa Sarah sekarang semakin sulit di atur.
"Sebenarnya ada masalah apa dengan Sarah Bu? Kami semua para guru tahu, jika Sarah anaknya pandai. Tetapi saat ini nilainya merosot terus" Rafi mengatakan terjadi perubahaan yang signifikan dari perilaku Sarah dan yang lainnya.
"Saya juga bingung Pak. Sepertinya anak itu ada gangguan mental," Jawab Bianca asal. Rafi terkejut mendengarnya.
"Iya Pak, kami sudah telepon Papa, supaya Sarah dibawa ke rumah sakit jiwa," Rania menambahkan.
"Eheem..." Suara deheman, membuat semua menoleh pada wanita yang tengah menyeringai, di sertai tatapan tajam.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Eka elisa
hmpas dua keong racun itu ke neraka salma....
2024-03-11
2
Lee
wkwk....papa aimsn pun dtang nah lo ktauan bhongnya..lnjut bun seru bgt 😆
2024-03-10
1
Nur Hidayah
🤣🤣 rasain kalian semua😂
2024-03-06
1