Kenyataan Yang Kejam

Tidak ada yang tahu, apa yang terjadi setelah Izume dilemparkan ke dalam kolam renang bersuhu panas itu. Mereka bahkan tidak yakin Izume masih hidup.

Putus asa, ketakutan, kecemasan, semua perasaan itu menghantui mereka. Tidak tahu apalagi yang akan Eric lakukan untuk menghukum mereka selanjutnya.

"Cepat masuk!" Suara berat khas seorang pria dan bunyi pintu penjara yang terbuka terdengar.

Sontak, para wanita mengangkat pandangan mereka. Mata mereka membesar tatkala melihat Izume diseret dan dilemparkan ke dalam penjara.

Para wanita bergegas menghampiri Izume. Hela, Killa dan Oldia membekap mulut mereka saat mengetahui kulit Izume melepuh sementara wajahnya terbakar.

Mata Izume tertutup rapat, namun detak jantungnya masih berpacu lemah.

Hela menangis histeris, begitupun yang lainnya. Sedangkan Isni membeku di tempatnya.

"Dia masih hidup! Kurasa kalau kita mengobatinya, dia mungkin akan selamat," ujar Killa.

"Percuma, tidak ada yang bisa kita lakukan." Oldia berkata realistis.

Tidak ada obat-obatan ataupun alat-alat kesehatan di sini, selain itu tidak ada yang menguasai ilmu kedokteran.

"Aku akan membunuhnya. Aku akan membunuhnya." Suara Isni dipenuhi kemarahan yang kuat.

Dia berdiri, menghampiri pintu penjara dan berteriak sekencang mungkin. Teriakannya tidak jauh dari kalimat, "aku akan membunuh kalian semua!"

"Diam jal*ng!" sentak pria penjaga itu.

Dia masuk ke dalam penjara, lalu memukul Isni keras hingga membuat remaja berusia 17 tahun itu terkapar pingsan.

"Ada keributan apa lagi ini?" Edwin tiba-tiba mendatangi mereka. Dia melihat dengan jelas tindakan penjaga tadi.

"Maafkan saya, tetapi dia terus-menerus berteriak, jadi saya membuatnya pingsan."

"Lakukan apapun, tapi jangan sampai ada yang terbunuh. Tuan Eric tidak akan menyukainya."

"Baik, saya mengerti."

Kemudian Edwin memasuki penjara. Para wanita menjadi waspada dengan keberadaan Edwin.

"Aku hanya akan membawa salah satu dari kalian," ujar Edwin.

Pria paruh baya itu menatap ke arah Itta. Tangannya meraih pergelangan tangan Itta, lalu menariknya kasar.

Riana yang melihatnya langsung menghadang langkah Edwin. "Tidak akan aku biarkan!"

"Kalian urus dia!" Edwin memerintahkan para bawahannya untuk menangani Riana.

...—————•••—————...

Dasi hitam yang melingkar di leher Eric dilepas. Begitu pula jas yang melekat di tubuh atletisnya, menyisakan kemeja putih polos yang digulung sampai sikut.

Pria itu menduduki sofa empuk nan lembut yang ada di dalam kamarnya. Tangannya bergerak mengambil segelas air putih dan meneguknya hingga tandas.

Setelahnya, Eric menyandarkan kepala. Helaan napas panjang keluar dari bibir tebalnya.

Dia masih bisa merasakan tekanan Adyan Abercio, bahkan setelah mereka tidak lagi berada dalam satu ruangan.

Tidak heran, Adyan adalah putra tunggal Abercio. Satu-satunya penerus keluarga Abercio dan orang yang levelnya jauh di atas Eric.

Dia lahir dengan sendok emas yang berlumur darah.

Ketukan pintu yang terdengar mengalihkan atensi Eric. Setelah Eric mengizinkannya untuk masuk, pintu itu perlahan terbuka.

"Selamat malam, Tuan." Edwin mengucapkan salam.

Di sampingnya terdapat seorang wanita cantik dengan gaun hitam yang memperlihatkan sedikit belahan dadanya, juga riasan di wajah menambahkan kesan cantik.

Eric terpana cukup lama.

Wanita itu sangatlah cantik. Bak sebongkah berlian yang berkilau indah. Siapapun pasti akan tertarik padanya.

Kala mata Eric untuk pertama kalinya melihat Itta dulu, ia langsung jatuh hati. Fokusnya tercuri. Maka dari itu, sekali pun Itta tidak pernah dipanggil ke luar ruangan. Eric tidak mau ada pria lain yang menyentuhnya.

Sejujurnya, Eric sengaja menunda malam ini. Namun, masalah yang dibuat para wanita itu membuat Eric was-was kehilangan Itta dan akhirnya memutuskan melakukan itu di malam ini.

"Pergi," titah Eric pada Edwin, setelah terlepas dari keterpanaannya.

Setelah Edwin pergi, kaki Eric berjalan mendekati. Ia melepas rantai yang mengikat tangan Itta menggunakan kunci.

Terakhir kali Eric menggunakan tali untuk mengikat para wanita, ia kecolongan. Maka dari itu, Eric menggantinya dengan rantai.

Eric mengangkat wajah Itta, memperhatikan dengan seksama setiap inci wajah wanita itu. Dari bibir merah alami, pipi merona, bulu mata lentik, alis tebal, hidung mancung, wajah halus tanpa jerawat dan tanpa komedo sedikit pun.

"Cantik. Cantik sekali," puji Eric berdecak kagum. Tangannya bergerak mengelus pipi Itta. "Kenapa kau bisa secantik ini? Aku yakin, banyak orang yang tergila-gila padamu."

Bibir merah Itta terbuka, ia membuka suaranya, "bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

"Tentu."

"Ini mimpi, kan?"

Hening. Ekspresi wajah Eric sulit dibaca hingga diam-diam Itta menggigit bibirnya takut. Kemudian, tawa keras menggelegar. Tawa merendahkan yang kentara sekali di indera pendengaran.

"Kau ini naif sekali," ucap Eric.

"Jadi ... ini kenyataan?"

"Aku mengerti perasaanmu. Tapi, ini memang kenyataan. Kalau tidak percaya coba lukai dirimu sendiri. Kalau mimpi, kau tidak mungkin merasa sakit, bukan?"

Eric hanya berucap asal, namun Itta malah menanggapinya dengan serius.

Wanita itu mengambil pisau kecil yang disembunyikan di saku celana Eric. Lantas, dengan cepat Itta menusuk perutnya sendiri, menghasilkan cairan merah yang menetes sedikit demi sedikit.

Mata Eric membelalak tak percaya. "Apa yang kau lakukan?!"

"Sakit," gumam Itta lemah.

Di saat kesadarannya akan dimakan sang waktu, memori kelam kematian keluarganya terputar di kepala.

Kalau semua yang dialami Itta adalah kenyataan, itu artinya kematian keluarganya juga merupakan hal yang nyata.

Keluarganya tidak mungkin membiarkan Itta berada di tempat seperti ini kalau seandainya mereka masih hidup.

Perasaan sakit yang semula selalu ditekan mati-matian, kini menggerogoti hatinya. Sedetik sebelum kesadaran direnggut, Itta meneteskan air mata.

...—————•••—————...

Hampir setengah jam bola mata Itta terus mengarah ke jendela, menatap langit-langit yang memunculkan bulan nan bintang.

Gaunnya sudah berganti menjadi gaun tidur berwarna kuning pudar, sementara luka di perut telah diperban oleh seorang pelayan wanita.

Itta baru mengetahuinya tatkala terbangun dari pingsannya.

Wanita itu masih berada di tempat yang sama seperti terakhir kali. Bedanya tidak ada Eric di ruangan ini.

Pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka. Itta tidak berniat membalikkan badan atau sekedar melirik orang yang masuk.

Orang itu menutup jendela, namun Itta tetap menatap jendela itu meski tak lagi menampilkan keindahan malam.

"Hey ...." Itta memanggilnya pelan.

Lelaki itu menghentikan aktivitasnya sejenak, kemudian menatap Itta dengan satu alis terangkat. "Ya?"

"Apakah ini mimpi?"

" .... "

Hening. Tak ada jawaban, tak ada suara.

Pertanyaan Itta bagai angin lalu yang sifatnya tidak penting. Tetapi pada dasarnya, pertanyaan itu memang tidak perlu dijawab.

Itta mengetahui jawabannya lebih dari siapapun. Namun, meski tahu akan hal itu, Itta dengan naifnya masih berharap ada satu orang yang mengatakan, bahwa ini semua hanya mimpi.

"Melakukan uji coba bunuh diri di depan Tuan Eric bukanlah ide yang bagus. Kau pikir, dia akan membiarkanmu mati begitu saja? Kau terlalu naif." Pria itu menatap Itta remeh. "Lebih baik menurut saja padanya, maka kau akan selamat. Lagipula 'mahkotamu' tidak terlalu berharga."

"Siapa?" Suara Itta sangat lirih, sampai hampir tidak terdengar.

"Apanya?"

"Namamu?"

Meski bingung, pria itu tetap menjawabnya, "Azri. Namaku Azri."

Sedetik setelah Azri mengutarakan namanya, Itta bergerak melesat mengarahkan pistol ke kepala Azri.

Sontak, pria itu mengangkat kedua tangannya. Dia melirik saku celananya, lalu kemudian menatap Itta.

Azri tertegun. Bukan karena pistolnya yang dicuri, melainkan karena sorot dingin Itta beserta air matanya.

"Dengar Azri!" Itta menatap tepat di manik matanya. "Kau tidak ber-hak menilai harga seorang wanita. Lebih baik kau mati daripada mengucapkan kalimat dari mulut sampahmu itu."

Nada Itta sangat tenang, begitupula tangannya yang hendak menarik pelatuk.

"MATI!"

...—————••—————...

Daftar wanita yang berada di dalam ruangan

Laquitta Grizelle / Itta

Isni

Elia (SEKARAT—SEDANG DISIKSA)

Hela

Zora (MATI)

Killa

Lesya (MATI)

Oldia

Riana

Izume (SEKARAT)

Yilse (MATI)

Tasha (DIJUAL)

Shia (DIJUAL)

Devia (DIJUAL)

Avira (DIJUAL)

Terpopuler

Comments

Lusy Anna

Lusy Anna

terpana kan lu wkwk

2024-05-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!