DENAH LOKASI

Tidak butuh waktu lama bagi para pria berjas itu untuk menemukan keberadaan Elia dan yang lain.

Elia harus berpikir secepat mungkin sebelum mereka datang.

Dilihat dari suara langkah mereka yang masih samar-samar, Elia yakin jarak diantara para pria itu dengannya saat ini masih lumayan jauh. Elia bisa memanfaatkannya untuk memikirkan jalan keluar.

Namun, otaknya kesulitan mencarinya. Dia tidak tahu harus melakukan apa.

"Elia, kita tinggalkan dia saja."

Elia menoleh mendengar ucapan enteng Isni. "Kau ingin meninggalkannya begitu saja?"

"Kehilangan satu orang tidak akan berdampak banyak untuk kita semua. Sebaliknya, kita kehilangan satu beban."

Tatapan mata Elia menyorot tidak percaya akan kalimat sadis Isni.

"Aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kau ingin pergi, lakukan saja. Jangan mengajakku," kata Elia dingin.

"Aku tidak mungkin meninggalkanmu yang telah menolongku."

"Dan, aku juga tidak mungkin meninggalkan siapa pun diantara kita."

"Kau ingin kita semua mati hanya gara-gara satu orang? Itu salahnya sendiri yang tidak berhati-hati dan akhirnya tertangkap."

"Tapi, kita tidak bisa membiarkan salah satu dari kita mati!"

"Ok, baik!" Isni sudah muak berdebat. Lantas, ia menodongkan pistolnya tepat ke arah pria itu membuat semua orang yang menontonnya terkejut. "Aku akan membunuh pria ini segera, lalu kita semua bisa pergi."

"ISNI!" teriak Elia marah.

Elia bukannya tidak mau pria itu mati, namun dia memiliki sandera. Kalau Isni menarik pelatuknya mengarah pada pria itu, maka pria itu pun pasti akan menarik pelatuknya.

Kecepatan peluru mereka mungkin sama, namun jarak mereka berbeda. Peluru dari pria itu pasti akan lebih dulu mengenai kepala Itta, sebelum Isni berhasil menembaknya.

"Isni, turunkan senjatamu sebelum pria itu menembak Itta!" Oldia juga berusaha meyakinkan Isni.

"Tidak akan. Mari kita lihat peluru siapa yang lebih cepat. Aku atau pria itu?"

Pria yang sejak tadi diam mengawasi itu tersenyum miring. "Menarik. Aku juga penasaran, apa bocah ingusan seperti kau mampu membunuhku sebelum aku membunuh wanita yang kalian panggil Itta ini?"

Isni dan pria itu langsung bersiap menarik pelatuk. Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Tepat sebelum pria itu menarik pelatuk, seseorang telah memukul punggung pria itu dengan keras menggunakan patung yang terbuat dari besi, sehingga membuatnya merintih sakit sedangkan pistolnya terjatuh ke lantai.

Killa langsung meraih pistolnya sebelum pria itu mendapatkannya lagi.

"SEKARANG ISNI!" seru Killa.

Isni mengangguk. Tidak mau mengulang kesalahan, Isni mengganti senjatanya menjadi pisau dan menusuk tepat mengenai jantung pria itu hingga mati.

Di sisi lain, Elia menatap semua hal yang terjadi dengan kebingungan. Kejadian itu terjadi begitu cepat.

"Isni sengaja melakukan hal-hal tadi agar dapat mengalihkan seluruh perhatian kepadanya, termasuk pria itu. Dengan begitu, aku bisa diam-diam mendekati dan memukulnya dengan patung besi," jelas Killa..

"Kalian boleh menyanjungku, tidak usah malu-malu," ucap Isni bangga. Mendadak ia merasa dirinya adalah superhero.

"Cih, siapa yang mau menyanjung orang bodoh sepertimu?" komentar Oldia.

Hal itu memancing kekesalan Isni. "Aku tidak berbicara denganmu. Pergi sana! Mukamu membuatku ingin muntah."

"Si*lan kau!"

"Diamlah kalian berdua!" Hela menempatkan jari telunjuknya pada bibirnya. "Kalian dengar? Kurasa mereka semakin mendekat."

Langkah kaki mereka kian terdengar lebih keras dari sebelumnya.

"Ya, kita terlalu lama di sini. Mari kita pergi sekarang!" ajak Elia.

...—————•••—————...

Eric mengambil handphone yang tergeletak asal di atas lantai. Dia membolak-balikkan benda berbentuk persegi panjang tersebut selama beberapa saat.

"Rusak," gumamnya. Sepertinya handphone itu rusak karena dibanting seseorang.

Pria itu mengedarkan pandangannya. Berdasarkan pengamatannya, tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain selain dari pihaknya di tempat ini.

Kemungkinan orang yang berhasil meretas sistem keamanan tempat ini telah pergi tatkala mendengar bunyi sirine beberapa menit yang lalu.

Eric akui, orang itu cukup hebat hingga bisa meretas keamanan tempat ini hanya menggunakan perangkat kecil bernama handphone.

"Tuan, tadi terdengar suara tembakan. Saya sudah mengirim beberapa bawahan anda untuk memeriksanya," ucap Edwin, bawahan Eric yang sudah bekerja puluhan tahun di sini.

"Kita akan memeriksanya langsung," ucap Eric.

"Tuan Eric!" seru salah satu bawahannya. Ia berlari tergopoh-gopoh.

"Ada apa?" Eric bertanya tanpa menoleh.

"Maafkan saya, Tuan!" Wajah bawahannya menunduk takut-takut. "Saya lalai dalam menjalankan tugas saya."

"Lalai?"

"Seluruh wanita di ruangan 110 yang saya jaga menghilang. Selain itu, rekan saya sudah mati dengan luka tusuk di bagian dada, sepertinya telah dibunuh oleh mereka."

Salah satu alis Eric terangkat. Detik berikutnya seringai tipis muncul di bibir tebalnya.

"Baiklah, semuanya sudah terjawab."

Eric berkata seolah mengetahui segala hal yang terjadi saat ini. Handphone rusak di genggamannya dia masukkan ke dalam saku.

Pria itu berbalik, menghadap para bawahannya yang menunduk hormat.

Wira yang bertugas menjaga ruangan 110 menunduk ketakutan. Kesalahannya mungkin akan menjadi pemicu kematiannya termasuk kematian keluarganya.

"Kalian cepat bawa kembali para wanita itu!" titah Eric. "Jika ada yang berani melawan, bunuh saja dia!"

"Siap Tuan!" ucap mereka serempak. Lantas, para bawahan Eric pergi dan bergegas mencari para wanita itu.

"Kau!"

Sadar akan panggilan Eric, Wira menoleh waspada dan takut, tidak ikut pergi bersama rekannya yang lain.

"S—saya, Tuan?" tanya Wira gagap.

"Ya."

"A-ada apa, Tuan?"

"Kau tahu?" Eric memiringkan kepalanya sedikit. "Tertangkap atau tidaknya mereka akan menjadi penentu nyawamu dan keluargamu."

Wira menegang atas satu kalimat yang dibisikkan Eric. Wajahnya menjadi pucat pasi. Bahkan, setelah atasannya itu melenggang pergi, raut wajah takut itu tetap tidak menghilang.

... —————•••—————...

Lembaran kertas kosong yang baru saja dipungut, dibuka perlahan di atas meja berdebu.

Tangan Oldia mengibaskan debu yang menempel pada permukaan kertas, juga meniupinya berulangkali.

Wanita itu mencomot pulpen yang telah dicarinya susah payah beberapa waktu lalu.

"Kayaknya masih nyala pulpennya," monolog Oldia.

Meski tidak pandai menggambar, Oldia tetap mencoba menggambar denah lokasi yang sempat diamati oleh matanya.

"Dengar!" Ucapan Oldia mengambil atensi semua wanita di sana. Tangan Oldia menyodorkan kertas yang telah digambarnya. "Aku akan menjelaskan beberapa tempat yang aku ketahui."

"Buruk sekali gambarnya," komentar Isni.

Sontak, mata Oldia melotot kesal. "Baiklah, kau saja yang gambar!"

"Aku, kan, tidak tahu apa-apa."

"Kalau begitu lebih baik diam saja!" sinis Oldia.

"Bisakah kalian berhenti berdebat? Kita tidak punya banyak waktu lagi!" lerai Elia.

Semenjak keluar dari ruangan 110, Oldia dan Isni selalu saja memperdebatkan hal sepele. Jika tidak segera dilerai, perdebatan itu akan memicu masalah baru.

"Baiklah, tolong dengar dan simpan di otak kalian masing-masing. Jujur saja aku tidak bisa menjelaskan lebih rinci mengenai tempat ini. Sebab, aku pun masih belum melihat sepenuhnya. Namun, ada beberapa yang aku ingat dan sempat aku gali infonya."

Oldia memperhatikan raut wajah teman-temannya, memastikan tidak ada satu pun dari mereka yang abai dengan penjelasannya.

"Di sini." Wanita hacker itu menunjuk salah satu tempat. "Itu adalah posisi kita saat ini." Lalu, telunjuknya mengarah ke tempat yang lain. "Tempat ini adalah tujuan kita sekarang."

"Tempat apa itu?" Izume mengerutkan keningnya.

"Ruangan bawah tanah."

Dapat Oldia lihat tatapan terkejut dari teman-temannya. Seperti yang dia duga.

"Ruangan bawah tanah? Apakah itu tempat rahasia atau tempat eksekusi?" Kini Killa yang bertanya.

"Aku tidak tahu. Tetapi, aku sedikit memeriksa tempat itu. Katanya tempat itu sudah tidak digunakan sejak lama. Itu adalah tempat terakhir yang sempat aku lihat. Aku tidak membaca seluruh informasi, namun aku tahu ruang bawah tanah itu memiliki akses keluar lebih aman. Mungkin, kita bisa mencari jalan keluar lewat tempat itu."

Riana mengangkat satu tangannya. "Maaf, tapi bagaimana jika tempat itu tidak aman?"

Hela di sampingnya ikut mengangguk. "Benar. Kita tidak tahu ada bahaya apa saja di ruangan itu."

"Kurasa kita bisa mencobanya. Bagaimana pun kita harus cepat pergi dari ruangan ini terlebih dahulu sebelum para pria itu menemukan kita." Isni ikut berpendapat. Untuk pertama kalinya, ia menyetujui saran Oldia.

"Baiklah, kita harus segera bergegas. Sebelum itu, ada yang ingin ditanyakan?" tanya Oldia, memastikan sekali lagi.

"A-anu ...." Lesya mengangkat tangannya ragu. "Kenapa Zora tidak ada di sini?"

...—————•••—————...

Daftar wanita yang berasal dari ruangan 110 :

Laquitta Grizelle / Itta

Isni

Elia

Hela

Zora

Killa

Lesya

Oldia

Riana

Izume

Yilse (DIJUAL)

Tasha (DIJUAL)

Shia (DIJUAL)

Devia (DIJUAL)

Avira (DIJUAL)

Terpopuler

Comments

Medeia Iaros

Medeia Iaros

wahh kemana nih

2024-03-07

0

anisa

anisa

tumbennn

2024-03-07

0

anisa

anisa

pasti capek ya dengar mereka debat terus 😭

2024-03-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!