Kedatangan Rekan Itta

Bangun-bangun Itta sudah melihat pemandangan tidak senonoh yang terpampang di depan matanya.

Adyan berdiri di depan cermin dengan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya, sementara bagian dadanya tidak tertutupi apapun.

Dilihat dari rambutnya yang basah, sepertinya Adyan baru saja selesai mandi.

"Bisakah kau mandi di kamarmu sendiri?" tanya Itta risi.

Pasalnya mereka memiliki kamar masing-masing. Terlebih lagi, kamar Adyan sebenarnya berada tepat di samping kamar Itta.

"Ini juga kamarku," balas Adyan.

Baiklah, Itta akui ini adalah Mansionnya Tuan Adyan Abercio. Semua yang ada di sini adalah miliknya. Meski begitu, Itta tetap ingin memakinya dalam hati.

Itta bangun dari kasurnya. Kakinya melangkah menuju jendela, lalu membuka tirainya. Ia menikmati pemandangan pagi yang tersaji di luar jendela.

Tubuh Itta mendadak membatu tatkala dirasa seseorang memeluk perutnya dari belakang. Tak hanya itu, hembusan napas hangat menerpa lehernya. Itta dapat merasakan kecupan kecil di bagian belakang lehernya.

"Tuan Muda Abercio tolong hentikan itu!" peringat Itta.

"Panggil saja Adyan."

"Baik, terserah kamu saja. Sekarang tolong hentikan tindakanmu," pinta Itta. Ia benar-benar tidak nyaman diperlakukan seperti ini.

"Tidak."

"Adyan, hentikan!"

Itta berusaha melepaskan lilitan di perutnya. Namun, tenaga Adyan terlalu kuat untuk dirinya yang lemah.

Sekeras apa pun berusaha, Itta tidak bisa membuat Adyan melepaskan pelukannya.

Tanpa sengaja penglihatan Itta mengarah pada tangan Adyan yang ada di perutnya.

Ada kain putih yang membalut tangan Adyan. Kain itu masih sama dengan kain milik Itta dulu.

"Kenapa kamu masih mengenakan kain itu?" tanya Itta penasaran.

Adyan langsung mengerti maksud Itta. Adyan pun melepaskan pelukannya, lalu memaksa Itta untuk menghadapnya.

"Kamu mau aku melepaskannya? Kalau begitu, bantu aku melakukannya."

Itta menuruti perintahnya tanpa banyak bicara. Setelah Itta melepas kain itu, ia menyadari bahwa sudah tidak ada luka lagi di tangan Adyan.

"Lukamu sudah sembuh, kenapa tidak melepas kain itu sejak lama?"

"Aku menunggumu."

"Jangan berbohong."

Bibir Adyan tertarik ke atas. Hanya sedikit hingga Itta tidak menyadari senyumannya.

"Aku akan memakai bajuku. Kamu juga bersiaplah. Mereka sudah datang."

Kepala Itta mendongak, sedangkan matanya menatap bingung. "Mereka? Siapa?"

"Kau akan tahu nanti."

Awalnya Itta masih kebingungan. Namun, binar mata Itta terlihat jelas tatkala mengetahui mereka yang dimaksud Adyan.

Senyum bahagia mengembang di wajah cantiknya. Meski mengetahui mereka membencinya, Itta tetap bahagia dengan kedatangan mereka. Setidaknya ada satu orang dipihaknya.

Riana, Isni dan Oldia datang ke mansion pribadi Adyan.

Riana yang tersenyum senang karena melihat Itta, Isni yang menampilkan sorot benci, dan Oldia yang tatapan matanya kosong bak tak bernyawa.

Bola mata Itta bergerak menatap Adyan. Mengerti arti tatapan wanita itu, lantas Adyan terpaksa mengangguk.

"Lima menit. Aku akan memberi kalian waktu lima menit untuk berbincang. Setelahnya temui aku di ruang kerjaku, Itta."

"Baik, aku akan datang nanti."

Lelaki itu tak membalas lagi. Dia langsung melangkahkan kakinya pergi.

Usai kepergiannya, Itta segera mengulurkan tangan memeluk tubuh Riana yang disambut antusias.

"Bagaimana kabarmu?" Riana bertanya dengan wajah hampir menangis, sebab kekhawatiran dan rasa senang yang menumpuk.

"Aku yang harusnya bertanya padamu. Bagaimana kabarmu dan yang lain?"

"Kami baik-baik saja. Selain kami, wanita di ruangan itu dibebaskan. Aku tak tahu alasannya. Namun, aku tahu pasti ada hubungannya denganmu. Pasti kau lah yang menyelamatkan mereka."

"Menyelamatkan mereka?" Isni menyela. Remaja itu tersenyum sinis. "Lalu, bagaimana dengan Elia dan kita yang ada di sini? Dia menyelamatkan mereka semua kecuali Elia dan kita bertiga!"

"Isni! Menyelamatkan banyak orang bukan hal yang mudah. Butuh waktu dan usaha yang banyak. Tunggulah sebentar lagi. Aku yakin, Itta pasti akan menepati janjinya." Riana membela Itta.

"Lalu, kenapa dia diam saja saat Elia mati? Kenapa dia tidak berusaha menolong?!"

"Elia mati karena bunuh diri." Itta mengangkat suaranya setelah sekian lama hanya mendengarkan perdebatan mereka. "Aku tahu, dia bunuh diri karena tidak kuat menahan siksaan yang Eric berikan."

Isni tersenyum sinis. "Dan, kau diam saja walau tahu Eric telah menyiksanya?"

"Memangnya apa yang bisa kulakukan? Saat itu, posisiku juga tidak jauh berbeda dengan kalian." Ucapan Itta membuat Isni diam seketika. Itta menghela napasnya pelan. "Sepertinya sudah lima menit berlalu, aku tidak bisa di sini lebih lama lagi, Adyan sudah menunggu."

...————–•••—————...

Itta langsung menemui Adyan setelah lebih dari lima menit berlalu. Dia memasuki ruang kerja Adyan tanpa perlu mengetuk pintu atau semacamnya.

"Kau terlambat dua menit," ucap Adyan.

Lelaki itu duduk di kursi kerjanya. Di depannya terdapat laptop yang terbuka. Mungkin Adyan sedang mengerjakan sesuatu.

"Mansion ini luas, sedangkan aku baru pindah ke sini. Butuh waktu untuk menemukan ruang kerjamu," alibi Itta.

"Kau bisa bertanya pada pelayan."

Itta tidak bisa menyangkalnya. Ya, Itta akui, dia memang sengaja terlambat karena terlalu malas bertemu Adyan.

"Kenapa kau memanggilku?" tanya Itta.

"Kemarilah." Adyan memberi isyarat agar Itta secepatnya mendekatinya.

Itta mengiyakan saja. Kakinya berjalan mendekati kursi Adyan.

Setelah jarak mereka kian terkikis, Adyan menarik tubuh Itta agar duduk di pangkuannya.

Hal itu jelas membuat Itta menjerit kaget. Tindakan mendadak Adyan di luar perkiraannya.

"Diamlah," ucap Adyan tenang.

Meski sebenarnya tidak terima, Itta tidak berkomentar lebih. Ia hanya bisa menelan kekesalannya saja.

Itta melirik layar laptop yang terpampang di depannya. Ia dapat melihat data-data laptop itu dengan jelas.

Benaknya mulai bertanya-tanya mengenai bisnis yang Adyan miliki.

Itta hanya tahu mengenai FyClub saja. Dia tidak tahu bisnis Adyan yang lainnya. Rasanya tidak mungkin jika Adyan mendapatkan kemewahan hanya dari mengandalkan FyClub saja.

"Kau tidak takut kalau aku melakukan sesuatu setelah melihat data-data di laptopmu ini?" Itta bertanya, sebab data-data ini pasti penting untuk Adyan.

"Lakukanlah, kalau kau mengerti data-data ini."

Si*lan! Adyan meremehkan Itta. Namun, Itta juga tidak bisa mengelaknya. Dia memang tidak mengerti arti data-data yang ada di depannya ini.

"Ngomong-ngomong aku ingin tahu sesuatu."

Ucapan Adyan membuat kepala Itta menoleh padanya. "Apa?"

"Apa rencanamu?"

Kening Itta mengerut. "Rencana?"

"Kau menyebut nama tiga orang itu. Riana, Isni dan Oldia dengan sengaja. Kau merencanakan sesuatu, kan?"

Ternyata Adyan menyadarinya dengan mudah. Dia menganalisis segalanya dengan cermat. Ingin berbohong pun rasanya sia-sia di depan Adyan. Lihat saja mata tajam Adyan yang seolah tahu segalanya tentang Itta.

"Aku ...." Mulut Itta terangkat ragu. "Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang."

"Baiklah, aku tidak akan memaksa."

"Benarkah?"

Sungguh, Itta tadinya berpikir Adyan akan marah besar atau minimal melayangkan tatapan tajam dan dingin padanya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

"Iya. Tapi, kuharap rencanamu bukanlah melarikan diri dari tempat ini. Karena kalau itu terjadi, aku akan mengejarmu kemanapun kamu pergi. Lalu setelah menemukanmu, aku akan mengurungmu di kamarku selamanya."

Terpopuler

Comments

anisa

anisa

kan yang ngomongnya ayang

2024-04-06

0

anisa

anisa

dih malah nyalahin orang lain kocak gening

2024-04-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!