Gelap.
Pemikiran pertama yang terlintas di benaknya.
Itta mengulurkan tangan, mencoba meraih apapun yang ada di depannya.
"Kosong," katanya saat tidak merasakan apapun yang bisa disentuh.
Mata emeraldnya mengelilingi sekitar, mengamati dengan harapan menemukan setitik cahaya yang dapat menerangi. Namun, yang didapat hanyalah kekosongan dan kegelapan.
"Ini ... di mana?"
Hanya ada keheningan yang menjawabnya. Benar-benar tidak ada suara selain dari bibirnya. Bahkan, detak jantungnya pun seperti tidak terdengar.
Gelap, kosong dan hening. Anehnya Itta tidak merasa ketakutan.
Siluet bayangan putih melintas cepat. Itta mengerjapkan mata berulangkali untuk memastikan penglihatannya.
"Siapa?"
Lagi-lagi heninglah yang menjawabnya.
Bayangan putih itu muncul kembali dengan jarak yang sangat jauh dari tempatnya berada. Ia menyipitkan mata, lalu samar-samar bayangan itu membentuk sesuatu. Membentuk tiga orang yang punya peran penting dalam hidupnya.
Papa, Mama dan adiknya yang bernama Iva.
Mata Itta melebar seketika. Setetes air mengalir jatuh dari pelupuk matanya. Tangannya terulur seperti hendak menggapai sesuatu. Kakinya yang semula diam, kini bergegas cepat menghampiri.
Air mata terus-menerus jatuh. Perasaan sesak dan lega teraduk tak karuan.
Secepat mungkin Itta memeluk keluarganya. Tangisnya pecah. Ia terisak-isak.
"Ma ... Pa ... Iva ...."
Tangisan Itta semakin keras sebagai bentuk pelampiasan emosionalnya.
Hati Itta merasa lega luar biasa. Ia sangat bahagia mengetahui keluarganya baik-baik saja.
Itta tidak bisa membayangkan hidupnya akan sekacau apa jika semua keluarganya mati setragis itu.
"Aku tahu kalian masih hidup, aku tahu kalau kejadian itu hanya mimpi, aku tahu kalian tidak akan pernah meninggalkanku sendirian. Benar ... kan?"
Wajah Itta mendongak, menatap wajah Papa, Mama dan Iva penuh harap. Namun, yang didapat tak sesuai harapannya. Wajah mereka memang tersenyum, tetapi perlahan mengabur hingga pada akhirnya hilang sepenuhnya.
Tatapan mata Itta langsung berubah dalam satu detik. Ia mematung. Seluruh jiwanya terasa kosong, tidak bermakna dan menggelap.
"Papa?" panggilnya lirih.
Tak ada jawaban.
Itta menggigit bibirnya keras, mencoba menghilangkan perasaan sesak yang kembali menjalar.
"Ma?"
Tetap tak ada yang menjawab.
Itta semakin menggigit bibirnya sampai tanpa ia sadari cairan merah ke luar dari sana.
"Iva?"
Masih sama. Untuk pertama kalinya, Itta merasakan ketakutan yang sangat luar biasa.
"Ma, Pa, Iva, kalian di mana?!" teriaknya, bertanya pada ruang kosong tak bernyawa.
Suara kegaduhan menyapa indera pendengaran Itta. Lantas, ia menoleh ke belakang. Mata Itta menangkap sosok keluarganya di ujung sana sedang melambai dengan senyuman indah yang terpatri.
Sesegera mungkin Itta berlari kesetanan.
Batas tak kasat mata menghalangi langkahnya. Itta bergerak panik. Sementara itu, mereka yang di ujung sana hanya memandang Itta, tidak berniat membantu sedikit pun.
Sesuatu yang asing mulai terbentuk di sekitar orangtua dan adiknya, lalu membentuk sebuah ruangan.
Ruang keluarga!
Itu adalah ruang keluarga, tempat di mana banyak sekali kehangatan yang pernah Itta dapatkan.
Bola mata Itta tertutup sesaat, ingin kembali merasakan kehangatan keluarga dengan cara mengingat momen dulu. Saat matanya terbuka, tubuh Itta dibuat membeku oleh pemandangan mengerikan yang ada di hadapannya.
Kedua orangtuanya tergeletak penuh darah, pun adiknya. Pemandangan ini sama seperti pemandangan yang pernah dilihatnya.
Lutut Itta melemas, ia terduduk di lantai. Napasnya tercekat dan rasa sesak menggerogoti hatinya tidak tertahankan.
"AARRGGGHHH!!!"
Itta berteriak kencang. Kepalanya ia pukul sekeras mungkin, berharap rasa sakit tercabik-cabik dari hatinya berpindah ke fisiknya.
"INI MIMPI! INI PASTI MIMPI! AKU YAKIN INI HANYA MIMPI! SIAPA PUN TOLONG KATAKAN PADAKU BAHWA INI SEMUA ADALAH MIMPI! MIMPI YANG SANGAT BURUK! MA, PA, KATAKAN KALAU INI MIMPI!"
Sebanyak apa pun dirinya berteriak, sebanyak apa pun dirinya bertanya, tetap tidak ada yang menjawabnya.
Itta merasa hidupnya benar-benar berakhir.
Layaknya matahari yang kehilangan sinarnya.
...—————•••—————...
Mata Itta terbuka secara tiba-tiba. Napas gadis itu tercekat. Butiran air meluncur melewati pipi.
"Mimpi?" monolognya. Itta menghapus bulir air matanya dengan kasar.
"AAARRRGGGHHHH!!!!!"
Lengkingan suara khas seorang perempuan menarik atensinya. Lantas, Itta menolehkan kepala.
"AARRGGHHH! SAKIT, B*RENGSEK!"
Dapat Itta lihat seorang wanita yang memakai dress berwarna biru dicambuk berulang kali oleh seorang pria tampan, namun berpenampilan mengerikan.
Di samping pria itu, terdapat beberapa orang yang memakai jas. Tawa mereka menggelegar seolah mengejek sang wanita. Sementara itu, beberapa wanita lainnya meringkuk ketakutan sembari menangis tersedu-sedu.
Orang yang melakukan aksi cambuk itu tertawa paling keras di antara semuanya, begitu menikmati derita sang wanita.
Dia melempar cambuknya asal. Tangannya yang kokoh mencengkram erat dagu wanita itu. Ia menyeringai.
"Dengar! Kau harusnya bersyukur karena ini belum seberapa," ucapnya, kemudian menghempaskan wanita itu dengan kasar. Pria itu berdiri, menghadap anak buahnya. "Kalian boleh 'menikmati' wanita ini sesuka kalian. Anggap saja bonus."
Sontak, wanita itu langsung menegang. Ia menggigit bibirnya keras.
"Dasar b*jingan!" teriak sang wanita.
"Memang," balas pria itu santai. "Tunggu apa lagi? Kalian tidak mau wanita ini? Cepat seret wanita ini keluar!"
"Siap Tuan Eric!"
Wanita malang itu meronta-ronta tatkala para pria berjas membawanya pergi. Siapa pun pasti mengerti arti kata 'menikmati' yang dilontarkan pria bernama Eric.
"BINATANG! BAJING*N! KAU BENAR-BENAR BUKAN MANUSIA!!!"
Caci maki itu semakin membuat Eric tersenyum senang, seolah reaksi itulah yang dia inginkan.
"Itu hanya hukuman ringan, kalau ada salah satu dari kalian yang berusaha kabur lagi, hukumannya akan lebih mengerikan dibandingkan wanita jal*ng tadi."
Eric melangkah pergi, namun entah mengapa Itta merasa pria itu sempat meliriknya meski hanya satu detik.
Kalimat Eric menambah ketakutan untuk semua wanita yang ada di sini, termasuk Itta.
Meskipun tak sepenuhnya mengerti, Itta masih bisa menyimpulkan bahwa situasi yang dialaminya sekarang bukanlah hal yang baik.
"Mama ... aku takut."
Itta mematung.
Nada lirih yang entah milik siapa itu, mengingatkannya akan kenyataan pahit, bahwa keluarga tercintanya telah tewas secara tragis.
Kepala Itta bergeleng-geleng, berupaya menepis kenyataan itu.
"Ini pasti mimpi. Alasan aku ada di tempat tak dikenal ini karena aku masih bermimpi. Mama, Papa dan Iva juga pasti masih hidup."
...—————•••—————...
Kelopak mata Itta terbuka untuk yang kesekian kalinya. Ia terbangun dari tidurnya, lalu duduk dan mengamati sekelilingnya.
Helaan napas lelah ke luar dari bibir Itta.
"Masih sama," monolognya.
Sudah beberapa hari berlalu semenjak Itta tinggal di tempat kumuh ini. Setiap kali membuka mata, ia sangat berharap berada di dalam rumahnya lagi. Namun, mimpi buruk ini tidak kunjung berakhir.
Mata Itta tanpa sengaja menangkap sosok perempuan cantik yang tengah duduk meringkuk sembari terisak kecil.
Ia adalah wanita bergaun biru yang dicambuk beberapa hari yang lalu.
Semenjak wanita itu kembali dari 'hukumannya', ia seperti kehilangan tujuan hidup. Dia tidak makan maupun minum. Terus-menerus diam, meringkuk dan menangis. Hanya itu saja yang dilakukannya.
Seseorang masuk ke dalam ruangan ini dan membagikan makanan, sama seperti hari-hari sebelumnya. Setelah itu, dia pun pergi tanpa mengatakan sepatah kata.
Ruangan ini sebenarnya seperti ruangan pada umumnya berbentuk persegi yang cukup sempit. Penerangannya sangat minim dan hanya terdapat satu pintu sebagai akses ke luar masuk. Selain itu, tidak ada jendela atau akses lain untuk mengintip ke luar ruangan.
Seperti penjara yang dibuat dari tembok kokoh, bukan jeruji besi.
Lalu, makanan yang dibawa juga sebenarnya tidak layak dikonsumsi. Dari warna dan baunya saja sudah terlihat jelas kalau ini adalah makanan basi. Tak jarang juga terdapat belatung di sana. Namun, mereka tak punya pilihan lain selain memakannya.
Makanan ini hanya dibagikan sekali dalam sehari. Itu pun kalau para pria bajing*n itu mengingatnya.
"Hari ini belatungnya banyak sekali. Aku tidak selera makan," ujar salah seorang wanita.
"Kalau tidak makan, kau akan mati. Kita tidak tahu besok masih diberi makan atau tidak."
Orang yang di sampingnya memberi nasehat. Dengan terpaksa wanita tadi memakannya meski berat.
"HUEKKK!!!!"
Seseorang memuntahkan makanannya. Ia terbatuk-batuk.
"Aku tidak mau hidup seperti ini terus! Sampai kapan ini akan berlangsung?!" ucapnya. Air matanya berderai disertai isakan kecil.
Semua orang di dalam ruangan itu terdiam. Tak ada satu orang pun yang ingin hidup seperti ini. Memakan makanan basi, tubuhnya disewa sesuka hati mereka dan diperlakukan lebih rendah dari binatang.
Namun, apa yang bisa mereka lakukan?
Jawabannya adalah tidak ada.
Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Melawan artinya bunuh diri. Dan parahnya lagi, jika melawan, maka harga diri mereka juga pasti akan dihancurkan sehancur-hancurnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
siny hnifah
kasihan
2024-04-18
0
Iaros Iaros
/Puke/
2024-04-13
0