Gadis Paling Rapuh

Awalnya ada 15 wanita yang terkurung di ruangan ini. Sebelas dari mereka sudah pernah ke 'luar ruangan' secara bergantian. Hasilnya lima dari mereka tak kembali, sedangkan enam wanita lainnya kembali dengan pakaian robek dan wajah dipenuhi air mata.

Rumornya, lima wanita itu dijual dan enam wanita yang kembali adalah wanita yang telah disewa tubuhnya. Hanya tinggal empat wanita saja yang belum tersentuh sama sekali, salah satunya adalah Itta.

Mungkin ini termasuk keberuntungan baginya. Wajah secantik Itta, namun sampai saat ini masih belum tersentuh oleh siapa pun.

Pintu ruangan mendadak terbuka. Semua mata terarah pada pintu tersebut.

Satu wanita lagi telah kembali, wanita ke-12 yang kini tubuhnya telah 'dipakai' seseorang.

Keadaannya hampir sama dengan wanita-wanita sebelumnya. Rambut dan pakaiannya acak-acakan, juga ada bercak merah di sekujur tubuh.

"Pelangganmu sangat puas. Mungkin besok-besok dia akan memesanmu lagi atau bahkan akan membelimu. Kerja yang bagus!" ujar Eric.

Dia menepuk tangannya dua kali, lalu munculah pria berjas hitam. Dia adalah bawahan Eric. Pria itu memberikan sepiring makanan ke wanita yang tubuhnya baru saja disewa.

"Makanan itu diberikan sebagai imbalan atas kerja kerasmu. Berterima kasihlah karena diberikan makanan layak. Setiap kau berhasil memuaskan pelanggan dengan baik, maka akan ada makanan layak untukmu," ujarnya sebelum pergi.

Makanan layak.

Itu adalah hal yang hampir mustahil didapat mereka. Meski rasanya hambar, tetap saja lebih baik daripada memakan makanan basi.

Hela memakannya. Terlihat sangat lahap, walau dengan tubuh bergetar dan air mata yang tak bisa terbendung.

Menjual tubuh demi sepiring makanan layak?

Hela tidak pernah berpikir akan melakukan hal itu.

"Berhentilah menangis, jal*ng!" Seorang wanita berdiri di depan Hela dengan suara lantangnya. "Kenapa kau menangis? Kau diberi makanan layak, seharusnya bersyukur! Memangnya kenapa jika harus menjual tubuh demi makanan? Toh, harga diri sudah tidak penting lagi sekarang! Lagipula bersetub*h dengan pria yang tidak dikenal bukanlah hal yang buruk juga. Selain mendapatkan makanan layak, kita juga mendapatkan kepuasan dari hal ini. Lantas, kenapa masih munafik?! Bukankah kita semua yang ada di sini menikmatinya?!"

Ia berkata lantang dengan kaki yang berdiri tegas. Namun, matanya berkata lain. Air yang menetes menjadi bukti segalanya.

"Yang perlu kita lakukan hanya menikmati prosesnya," lanjutnya. Ia menghapus tetesan air mata yang mengalir. Suaranya mulai bergetar. "Tak perlu melawan, hanya perlu menikmati. Iya, kita hanya perlu menik—"

Suaranya tidak lagi terdengar. Yang ada hanya isak tangis dan bahu yang bergetar. Wanita bernama Elia itu tidak sanggup melanjutkan kalimatnya lagi. Sebab, pada dasarnya ia pun tak mampu menganggap masalah ini sepele.

"Menangis tidak akan ada gunanya." Seseorang berucap santai. Namanya Isni. Dilihat dari postur tubuhnya sepertinya masih anak SMA.

Mata mereka terbelalak saat menangkap cutter di tangan gadis kecil itu.

"Kau dapat dari mana?" tanya Elia.

"Aku mendapatkannya sebelum aku berada di sini. Sudah sejak lama aku menunggu waktu yang tepat," jawab Isni.

"Jangan-jangan ...."

"Yeah! aku akan keluar dari ruangan menjijikan ini secepatnya."

"Apa kau tahu konsekuensinya?"

"Tahu."

"Dasar gila! Kau akan dihukum berat jika ketahuan lari!"

"Yeah, i know."

"Lalu, kau masih berpikir untuk lari?!" Sungguh, Elia tidak mengerti pola pikir gadis remaja ini.

"Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali. Masa depanku masih panjang, aku tidak mau berakhir seperti ini."

Tekad di mata gadis itu sangat kuat. Namun, memangnya masih ada harapan?

"Kau lihat dia!" Elia menunjuk Zora, seorang wanita cantik yang diperk*sa bawahan Eric secara bergilir karena pernah mencoba kabur.

"Dia adalah contohnya!" Elia berteriak. "Dia dicambuk seratus kali, lalu diperk*sa oleh para bajing*n itu secara bergilir! Kau juga pasti dengar apa yang dikatakan mereka, bukan? Jika ada orang yang berani kabur lagi, maka konsekuensinya akan lebih berat! Bahkan, mungkin saja kau akan di bunuh setelah diperk*sa oleh mereka!"

"Tidak masalah." Isni menjawab tenang. "Bukankah lebih baik berjuang meski akhirnya tak sesuai ekspektasi daripada menyerah di awal?"

Ucapan Isni berhasil membungkam Elia. Meski umur Elia berada jauh di atas Isni, namun gadis berumur 17 tahun itu mampu berpikir lebih baik.

"Jika kita semua bekerja sama, pasti akan ada kesempatan keluar dari ruangan si*lan ini." Isni berkata yakin. Matanya yang tegas berusaha meyakinkan mereka semua.

"Bagaimana jika tidak ada kesempatan?" tanya Elia.

"Maka kita akan membuatnya."

"Itu tidak mudah."

"Aku tahu. Tetapi, jika kita semua bekerja sama, aku yakin bisa. Bukankah kalian bersedia bekerja sama?"

Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya diam dengan isi pikirannya masing-masing.

Isni mengerti, mereka masih meragu. Konsekuensinya sangat besar jika percobaan kabur mereka gagal. Karena itu, ketakutan berhasil mengambil alih.

"Aku ... tidak yakin kita bisa kabur." Itu suara Killa, wanita pertama yang tubuhnya disewa di dalam ruangan ini.

"Tak ada yang tahu nanti. Aku yakin, kalian pasti tidak ingin berada di sini terus-menerus ataupun dijual pada pria belang."

Sayangnya, bujukan Isni tidak berpengaruh.

Sekeras apa pun berusaha meyakinkan, tetap tidak ada yang berani mengiyakan ajakannya. Padahal Isni adalah wanita paling muda diantara mereka, namun keberanian Isni melebihi yang lain.

"Aku tidak rela jika tubuhku dipermainkan, kalian juga pasti sama, kan?" Lesya ikut berbicara. Ia memilin jarinya ragu pada ucapan selanjutnya. "Mungkin, apa yang dikatakan Isni bisa kita pertimbangkan? Bagaimana pun, tubuh kita adalah milik kita sendiri, kita tak bisa memberikannya asal pada orang lain tanpa melawannya."

Senyum Isni terbit, merasa senang ada orang yang menyetujui ucapannya. "Benar. Kita harus melawannya dan pergi dari tempat ini secepat mungkin."

"Baik, aku setuju," ucap Oldia, mengangkat sebelah tangannya.

Hal itu semakin melebarkan senyuman Isni. "Bagaimana dengan yang lain? Masih ragu, kah?"

"Aku rasa ucapan Isni ada benarnya juga." Satu orang lagi menyetujui ucapannya.

Lalu mereka yang mulanya meragu, kini mulai memberanikan diri. Meski tak sepenuhnya yakin, banyak yang membenarkan ucapan Isni mengenai tidak ada salahnya berusaha meski hasilnya tak sesuai harapan.

Kesepakatan tercapai bersama. Mereka menolak menyerah, mereka akan berusaha berjuang demi mempertahankan harga diri dan juga demi meraih kebebasan.

Apa pun yang terjadi nanti, apa pun konsekuensinya, mereka akan menerimanya. Meski kematian dan hinaan yang lebih buruk akan menunggu. Tak apa, setidaknya masing-masing dari diri mereka sudah berani mencoba untuk keluar dari neraka dunia ini.

"Kau tidak ikut pembicaraan mereka?"

Itta menatap bingung seorang wanita yang tiba-tiba saja duduk di sampingnya. "Kau bicara denganku?"

Riana mengangguk. "Iya."

"Kalau begitu, jawabannya adalah tidak."

"Kenapa?"

"Aku tahu kalau ini hanya mimpi. Saat bangun nanti, aku pasti berada di kasurku yang hangat lagi."

"Mimpi?"

"Iya. Saat ini aku sedang bermimpi."

Bingung menjawab, Riana memilih diam.

Selama ini Riana sering memperhatikan Itta secara diam-diam. Itta terlihat paling tenang di sini. Riana kira, itu karena Itta bukanlah wanita lemah yang mudah menangis.

Sekarang ia menyadarinya. Di antara semua wanita di ruangan ini, ternyata Itta lah yang paling rapuh. Bahkan, ia membodohi dirinya sendiri dengan mengganggap kalau semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi belaka.

Terpopuler

Comments

siny hnifah

siny hnifah

dunia nyata emng nykitin

2024-04-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!