BUNYI SIRINE

Sejak tadi Izume mati-matian menahan mual akibat cairan kental dan bau amis darah. Tepat saat mereka berkumpul di ruangan kosong, tempat yang dikatakan Riana tadi, ia tak segan-segan memuntahkan sebagian isi perutnya.

"Aku telah membun*h orang, aku telah membun*h orang," gumamnya dengan tatapan kosong.

Tangannya bergetar dan air mata menetes tak henti-henti. Perasaan mual ini jauh lebih buruk daripada saat ia memakan makanan basi.

Bagi seseorang yang belum pernah membun*h orang lain sebelumnya, lalu kini terpaksa melakukan itu, pasti bukanlah hal yang mudah.

Killa memandangnya iba. Tepukan pelan di pundak ia berikan sebagai bentuk sebuah dukungan.

"Nggak apa-apa, terkadang kita harus membun*h demi kebaikan kita sendiri." Sejujurnya, Killa sendiri kurang yakin atas kalimatnya.

"Kenapa masih belum ketemu?! Kita tidak punya banyak waktu!" Di sisi lain, Isni mengoceh lantaran sampai sekarang Oldia belum menemukan peta lokasi tempat ini.

"Bisakah kau diam dulu?!" Oldia berkata kesal.

"Tidak bisa! Waktu kita tidak banyak. Sebentar lagi pasti akan ada orang yang merasa janggal."

"Aku tahu! Tetapi, kau pikir mudah meretas situs keamanan tempat ini?!"

"Memangnya apa susahnya? Kau bilang dirimu seorang hacker, kan?"

"Tetap saja aku butuh waktu. Apalagi alat yang aku gunakan ini bukan komputer, melainkan sebuah handphone yang memiliki banyak kekurangan."

"Sudah, sudah hentikan!" Elia melerai keduanya. Jika diteruskan pertengkaran mereka hanya akan membuat situasi semakin rumit.

Sementara itu, Oldia menghela napas berupaya meredakan emosinya.

"Kau hanyalah seorang bocah ingusan yang umurnya masih tujuh belas tahun. Wajar yang kau lakukan hanya mengoceh tidak jelas," sarkas Oldia.

Kemarahan Isni semakin meledak-ledak mendengarnya. "Kalau bukan karena aku, memangnya kita semua sepakat bekerja sama dan kabur dari tempat terkutuk ini?!"

"Kubilang hentikan!" Elia hampir saja berteriak sebab termakan emosinya. Untungnya Elia masih sadar tempat.

"Dia yang mulai," ucap Isni melakukan pembelaan.

"Diam!" peringat Elia.

Awalnya Elia mengira Isni berbeda dengan anak sebayanya. Nyatanya tidak sepenuhnya berbeda.

Isni tetaplah seorang anak remaja yang emosinya masih belum stabil dan terlalu terburu-buru.

"Kau yakin bisa?" tanya Lesya sembari mengintip handphone itu.

"Ini lumayan sulit. Bahkan, tingkat kesulitannya melebihi sistem keamanan pemerintah, namun aku akan mencoba sebisaku," jawab Oldia.

"Cih! Apa dia bilang? Sistem pemerintah? Ucapannya seolah pernah meretas sistem pemerintah saja." Isni memutar bola matanya malas.

"Aku memang pernah melakukannya, mau apa kau?" balas Oldia sengit.

Umur mereka yang sebenernya hanya berbeda dua tahun membuat Oldia menanggapinya kurang dewasa.

"Oh, ya? Kau tidak sedang menghalu, kan?"

"Tentu saja. Aku adalah mahasiswa jurusan Teknik Informatika di universitas terkenal."

Isni hendak membalas lagi, namun Elia menghentikannya. Mata wanita itu menyorot tajam hingga Isni terpaksa menelan ucapannya.

"Rasanya aku pernah mendengar ada seseorang berhasil meretas situs keamanan pemerintah. Jangan-jangan itu memang kau?" tanya Hela menyela.

"Tentu saja itu aku."

"Baguslah. Kau pasti bisa meretas dan mencari lokasi tempat ini dengan mudah."

Oldia terdiam beberapa saat, merasa tidak yakin sendiri. Seharusnya ia bisa dengan mudah meretasnya, namun Oldia tidak menyangka keamanan situs tempat ini lebih hebat daripada milik pemerintah.

Oldia sadar bahwa hacker di tempat ini lebih berbahaya darinya. Mau, tak mau ia tidak bisa bertindak sembarang yang nantinya bisa membuat orang itu mengetahui tempatnya berada.

"Ketemu!" seru Oldia.

Sontak, seluruh perhatian tertuju pada layar persegi panjang yang menampilkan deretan angka dan huruf yang hanya bisa dimengerti Oldia.

"Kau menemukan denahnya?" tanya Lesya senang.

Oldia mengangguk antusias. "Saat ini kita berada di ruangan kosong yang sudah lama tidak ditempati. Namanya ruangan 106."

"Ruangan 106?" Killa mengerutkan kening bingung.

Tak hanya Killa, Oldia dan semua yang di sana juga tidak mengerti.

Tiba-tiba saja Izume mengangkat sebelah tangannya, mengambil sorotan mereka semua.

"Aku pernah dengar para pria berjas itu membicarakan ruangan. Hanya saja yang mereka bicarakan adalah ruangan 154," jelas Izume.

"Aku mengerti." Elia berbicara. "Ruangan 106 maupun ruangan 154 adalah ruangan yang isinya sama seperti ruangan kita. Yaitu, ruangan tempat para wanita dikurung dan dijadikan barang sewaan atau dibeli."

Izume menganggukkan kepala setuju. "Iya, itu mungkin saja."

"Ruangan 154, ya?" Isni menggelengkan kepalanya tak percaya. "Jika semua 'ruangan' di tempat ini ada 154, sedangkan dalam satu ruangan terdapat 15 orang. Berapa banyak korbannya?"

"2.310." Hela menjawabnya.

"Benar-benar bajing*n gila!" Isni menepuk tangannya seolah merasa kagum pada pencapaian yang didapat oleh para pria si*lan itu.

"Tetapi, tidak semua ruangan terisi. Itu artinya mungkin saja wanita yang dijadikan korban tidak sebanyak itu." Riana ikut berpendapat.

"Benar. Tetapi, ruangan para korban belum tentu 154, bukan? Mungkin saja mencapai lebih dari 154 ruangan atau bahkan 200 ruangan?" ujar Isni.

Membayangkannya saja sudah mengerikan. Rasanya seluruh wanita di sini tidak lebih dari sekedar sampah. Mereka diperlakukan sangat rendah, tubuh mereka disewa tanpa izin, dijadikan sebagai alat pemuas nafsu dan dijual ke para pria hidung belang.

Jika ternyata ada lebih banyak wanita lainnya yang mengalami hal sama, para pria seperti mereka memang pantas dibun*h.

"GAWAT!!!"

Oldia tiba-tiba berkata panik. Jemari wanita itu bergerak lincah di atas layar. Kode dan notifikasi error terpampang di layar handphone.

"SIAL! SIAL! SIAL!" umpatnya. Dengan kekesalan yang menggunung, Oldia melempar handphone itu asal.

"Apa yang kau lakukan, bodoh?!" Isni mencekal tangannya erat. Amarah tercetak jelas di mata.

"Oldia, kenapa kau membantingnya? Kita masih membutuhkannya untuk menemukan jalan keluar dari tempat ini, kan?" Elia pun ikut merasakan amarah. Sebisa mungkin ia menahannya.

Oldia tidak langsung menjawab. Ia mengatur napasnya yang tidak karuan.

"Kenapa diam, heh?" Isni semakin menyudutkannya.

"Oldia, katakanlah sesuatu!" Lesya ikut menyudutkannya. Bagaimana pun, ia juga ingin secepatnya keluar dari tempat ini.

"Sudahlah, Oldia pasti punya alasannya sendiri," bela Killa. Meski sebenarnya, ia pun tidak mengerti tindakan mendadak wanita itu.

"Kalau begitu apa alasannya, Nona Oldia?" tanya Isni sinis.

Oldia mengangkat kepalanya, menatap mata orang-orang yang meminta penjelasan.

Ia menarik napas, lalu menghembuskannya, bersiap akan kalimat yang diucapkan selanjutnya.

"Mereka ... telah mengetahui keberadaan kita."

Bertepatan dengan kalimat Oldia, bunyi sirine terdengar kencang tanda sebuah peringatan.

...—————•••———–—...

Daftar wanita yang berada di dalam ruangan 110 :

Laquitta Grizelle / Itta

Isni

Elia

Hela

Zora

Killa

Lesya

Oldia

Riana

Izume

Yilse (DIJUAL)

Tasha (DIJUAL)

Shia (DIJUAL)

Devia (DIJUAL)

Avira (DIJUAL)

Terpopuler

Comments

Medeia Iaros

Medeia Iaros

waduh

2024-02-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!