Aku ingin pulang ke rumah Sofia dan tidur seharian di sana. Namun putra Ratu Wulandari ini menahanku.
“Bang, aku capek, ingin menemui kamarku untuk tidur” ucapku memelas. Aku berjalan di belakang, mengikutinya menaiki tangga.
“Tidurlah di sini. Di sini ada banyak kamar kosong” jawabnya santai sembari duduk di sofa.
Sekarang kami sedang berada di lantai dua. Tepatnya di area santai ruang TV. Ini area terbuka yang berada di antara kamar. Lantai bawah sedang dibersihkan karena kekacauan tadi pagi.
“Duduklah” perintahnya sambil menepuk sofa di sebelahnya.
“Iya” jawabku.
Allah tolong... Jika sedekat ini dengannya, terbayang saat dia mencium paksa diriku tadi.
Tidak-tidak... Yang tadi karena pengaruh makhluk. Lagi pula kasar sekali ciumannya, itu bukan dia. Tapi kan itu raga dia. Tubuh dia. Bibir dia. Tangan dia. Pelukannya dia..... Tuhan...... Aku berusaha menjaga pikiranku tetap waras.
Tapi bagaimana bisa tetap waras? Jantungku saja berdetak kencang seperti genderang. Kupejamkan mata....kutarik nafas panjang lalu kuhembuskan perlahan. Aku ulangi hingga 3 kali.
Rupanya dia memperhatikan aku. “Bibirmu kenapa? Luka begitu?”
DEG
Oh tidak... Dia lupakah? Hemmm... tapi Kok dia nyantai ya... Duduk di sofa sambil sandaran gitu, kelihatannya nyaman banget.
Aku salting begini di depannya, dia sebagai pelaku malah santai....Karena dia bersikap santai, aku juga bisa, aku akan bersikap santai.
“Abang menggigitku tadi” Dia tersenyum mendengarnya.
“Tadi aku setengah sadar jadi tidak menikmati. Sekarang aku sadar sepenuhnya. Boleh abang ulangi?” Tanyanya pelan sambil mendekatkan wajah.
Kudukku meremang. “Tidak!” ucapku tegas sambil sedikit mundur.
“Hahahaha....” Dia tertawa lepas dan kembali bersandar.
Aku mengerutkan kening. Apa ini? Dia menggodaku hanya untuk hiburan? Aku kesal!! Awas saja!!
Aku langsung berdiri, “Jangan menggodaku lagi. Jangan menggangguku. Aku tidak takut ya padamu!”
Tanpa kusangka dia pun berdiri. Tinggi menjulang di hadapanku. Begitu dekat. “Tidak takut?” Tanyanya.
“Tidak takut.....” kataku dan secepatnya berlari menjauh, menyusuri lorong yang luas ini.
“Cantika....” Tak kuhiraukan panggilannya. Lekas aku masuk ke ruangan lain dan bersembunyi di samping lemari. Lemari ini persis di samping daun jendela. Konyol! Ngapain sih aku sembunyi? Tapi....
“Cantika......” Panggilnya lagi
Sejuk tiupan angin kurasakan, dari jendela yang kubelakangi. Angin sepoi membuatku berdesir.
Rasa apa ini? Kuremas blues di bagian dada sambil memejamkan mata. Mencari getaran dan debaran.
Ada rasa seperti..... Aku takut dia menemukanku. Tapi aku ingin dia menemukanku
Aku berusaha lari darinya. Tapi aku ingin dekat dengannya.
Ada sedikit rasa bahagia, tapi mengapa bercampur getir?
Untuk pertama kalinya ada bahagia yang terasa, di sini....di hatiku. Namun getirnya masih melekat.
Apa ini cinta? Apakah cinta itu suka dan duka yang bercampur? Bahagia dan sakit yang bersamaan menggigit?
Dia berjalan semakin dekat, kudengar langkah kakinya. “Aku akan menemukanmu.....” suaranya seperti bisikan yang membuatku merinding.
Tiupan angin mengibarkan hijab dan blusku, membuyarkan lamunanku. Aku berbalik, ternyata angin ini berasal dari kebun belakang.
Karena sudah kembali tersadar, sejenak aku merasa konyol. Main kejar-kejaran gini kayak film India.
Kudengar sayup suara kera, Kulihat di bawah sana Panglima Kekei sedang berayun di dahan pohon mangga. Dia bahkan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Sambil sesekali menggigit buah mangga yang dipetiknya.
Sungguh lucu pikirku. Panglima yang gagah perkasa pemilik kecepatan dan keakuratan yang luar biasa sedang bermain di dahan pohon seperti monyet.
Tanpa kusadari aku tersenyum melihat tingkah Panglima Kekei yang menggemaskan.
“Jangan memandangnya lekat, Abang cemburu” Pemilik suara bariton ini, aku mengenalnya. Lekas aku menoleh,
“Cemburu?” “Padanya?” “Yang benar saja” ucapku sambil bersedekap.
“Bagaimana pun dia lelaki” ucap Rajendra sambil menarikku ke pelukannya.
“Abang!” Pekikku terkejut.
Rupanya dia hanya ingin mencium pucuk kepalaku. “Jangan begini, ini terlalu dekat” aku berusaha mendorong dadanya menjauh.
“Aucgh...” Keluhnya
“Kenapa?” aku menjauhkan tangan dari dadanya.
“Kamu menekan bekas luka”
“Makanya jangan gini, nanti Panglima Kekei melihat” rajukku beralasan.
“Dia tak akan berani” bisiknya.
“Kau bilang akan menurut padaku, tidak membantah perintahku. Apa itu janji palsu?”
Aku terdiam, lagi-lagi aku terjebak. “Tidak, tapi ya gak begini juga kali bang” ucapku gugup.
Kemudian dia menarik pinggangku hingga kami menghadap ke jendela.
“Kamu penasaran dengan Panglima Kekei?”
Hatiku kecewa, kenapa malah membahas Panglima Kekei? Dia tak menciumku? Tak mengecupku? Tak memelukku erat-erat. Hhhh... Ada kecewa di hati.
Tapi apa sih yang kupikirkan.....Kenapa otakku korselet...Kan sudah tadi, dikecup di kening.
“Dia mencari mangga, abang tak tak kasih dia makankah?” Tanyaku tentang Panglima Kekei untuk mengalihkan pikiranku yang korselet.
“Hehehe.... yang benar saja” dia terkekeh
“Ada pak Suaib yang melakukannya. Lihat...” menunjuk keluar.
Terlihat seorang lelaki tua yang dia panggil pak Suaib membawa senampan makanan untuk Panglima Kekei dan menaruhnya di meja taman.
Di halaman belakang yang luas itu, terdapat kursi dan meja taman yang bisa digunakan untuk ngeteh atau ngopi sore.
Panglima Kekei pun turun dari pohon, melesat ke arah pak Suaib duduk. Mereka makan buah dan mengobrol santai. Cara melesatnya tidak seperti monyet yang berlari menggunakan ke empat kaki. Melainkan melesat seperti cahaya. Ya mau bagaimana lagi, dia kan jin.
Siapa pak Suaib mengapa dia bisa melihat Panglima kerajaan gaib itu?
“Pak Suaib adalah tukang kebun di rumah ini. Hanya dia yang dapat melihat makhluk halus di sini selain aku” jelas Rajendra.
“Jika ada makhluk yang kubawa dari istana. Beliaulah yang akan merawat mereka”
“Bahkan, jika penghuni guci ratapan sedang menangis, dia akan mengajaknya bicara untuk memenangkannya”
“Tentang Kekei, semasa kecil, aku kerap bermain dengannya. Dia mengajariku banyak hal.”
“Oh ya... Dia mengajarimu ilmu bela diri?” Tanyaku penasaran.
“Dia mengajariku naik pohon”
Hah? Pantes, kan gurunya kera.
“Bahkan pernah suatu hari dia mengajariku naik pohon tertinggi di kerajaan. Tiba-tiba ibuku memanggilnya secara batin. Sialnya dia langsung melesat pergi tanpa mengajariku cara turun dari pohon itu,” Rajendra tersenyum.
“Lalu?..hahaha.....kau ini lucu sekali” aku tergelak tawa.
“Aku berada di atas pohon seharian, untungnya ada paman siluman rajawali yang lewat. Kupanggil dia untuk mengantarku pulang”
“Waoh... Seru sekali masa kecilmu ya..... Memangnya saat itu umurmu berapa?”
“Lima tahun. Saat kuceritakan pada ibuku.... parahnya ibuku itu malah tertawa. Beliau sama sekali tidak mau menghukum Kekei meski aku merengek agar dia dihukum”
“Akhirnya Kekei pun tidak mau berjumpa denganku. Dia menghindariku selama satu bulan”
Aku masih setia mendengarkan.
“Tentang ilmu bela diri dan kedigdayaan, kudapatkan dari Syekh Alsyad. Bersama dengan putranya aku berlatih”
“Mereka manusia?”
“Ya, mereka manusia. Kabar terakhir, putranya melanjutkan kuliah S3nya di luar negeri. Sekarang aku tidak tau kabarnya lagi.”
“Emmm...” Gumamku tanpa sengaja.
“Emmm apa?” Tanyanya.
“Hah? Emmm aja... Ga ada apa-apa. Lagi pula aku tidak pernah melihat abang menggunakan ilmu. Cuma Kekei yang melesat ke sana ke mari”
“Hei.... aku bosnya” ucap Rajendra sambil berkacak pinggang.
“ Hahaha.......?” Kami tertawa bersama.
“Sok bossy kau bang”
“Oh ya, aku ada meeting jam 3 sore ini. Mungkin sampai malam.” Rajendra melihat jam tangannya.
“Mbak Nana akan mengurus keperluanmu. Tunggu aku” ucapnya seraya mencium pucuk kepalaku dan melangkah pergi.
“Ya” jawabku..
Ternyata sudah ada seorang pelayan yang berdiri di belakangku.
“Saya Nana non, istri pak Didi. Saya yang akan menyiapkan keperluan non. Mari saya antar ke kamar”
“Ya ampun mbak, jangan panggil non. Panggil Cantika saja” aku mengikuti langkahnya.
“Maaf non, gak bisa. Non nanti kan menjadi nyonya di rumah ini. Jadi manggilnya harus gitu” “ ini non, kamarnya”
Nyonya rumah? Aku saja gak mikir gitu.
Aku jadi ingat ucapan ibu Ratu Wulandari tadi,
Pada setiap kalimatnya, Ibu Ratu selalu memosisikan dirinya sebagai ibuku. Apa maksudnya? Apa beliau merestui aku sebagai menantu?
Pintu kamar itu sudah terbuka. Ada beberapa mbak-mbak pelayan di dalamnya.
Mereka menghampiri kami, memberi hormat padaku dengan sedikit membungkuk. Lalu berbincang seperti memberi laporan pada mbak Nana. Sepertinya mbak Nana ini kepala pelayan di sini.
“Yo wis... Apik. Pinter, bagus Kabeh” dan mbak-mbak itu pun berlalu.
“Ayo non, silakan masuk. Ini kamar non. Yang di sebelah sana, kamarnya tuan Ra. Kedua kamar ini, terpisah ruang TV di sebelah situ. Di tengah.”
“Iya mbak, terima kasih. Mungkin saya banyak merepotkan nantinya” ucapku.
“Merepotkan bagaimana? Yo ndak toh non. Kami malah seneng, bahagia ada non di sini”
Mbak Nana ini, logat Jawanya kental. Orangnya sopan, usianya kutaksir sekitar 40-an.
“Seneng kenapa?” Ucapku sambil membawanya duduk di tepi ranjang bersamaku.
“Eh.. non, saya ndak berani. Saya duduk di bawah saja” dia hendak duduk di lantai.
“Eh ya tidak.... kalo mbak duduk di lantai, saya juga duduk di lantai. Hayo pilih mana?” Kutahan tubuhnya.
“Eh...ya udah... Duduk sini saja ceritanya” akhirnya dia duduk di tepi ranjang bersamaku.
“Maaf.. maaf nih ya non, saya jadi curhat.”
“Iya, curhat saja mbk. Saya sambil tiduran ya. Soalnya capek” aku pun berbaring.
“Itu non, soal tuan Ra. Beberapa bulan yang lalu, semakin jarang Shalat. Padahal biasanya paling taat. Begitu azan berkumandang langsung Shalat. Ehh ini, wudu pun ndak pernah”.
“Kata pak Suaib, itu pengaruh benda-benda antik koleksinya. Ya memang, semakin banyak benda antik itu dibawa tuan ke rumah ini, rumah ini jadi semakin menyeramkan. Hawa-hawanya ndak enak gitu. Bikin merinding” mbk Nana memeluk tubuhnya.
“Kadang ada suara wanita menangis, kadang barang-barang bisa pindah sendiri. Apalagi pas hari Jumat. Wuih... Banyak bayangan hitam. Serem banget. Akhirnya ya... Dikosongkan, gak boleh ada yang masuk ke rumah ini”
“Pernah dulu... Pas... kapan, ya? Sekitar sebulan yang lalu. Ada temennya tuan datang. Tiba-tiba ditemui pak Suaib di depan. Pak Suaib bilang ke temennya tuan itu, kalo tuan ndak ada di rumah. Padahal tuan ada”
“Agak aneh non, tumbennya pak Suaib seperti itu. Seperti mencegah tuan ketemu tamunya itu”
“Siapa mbak?” Tanyaku
“Mas Gilang. Tapi kemudian tuan datang. Sepertinya mereka sudah janjian”
“Lalu pak Suaib?” Tanyaku kepo.
“Ya... Pak Suaib pamit, sambil geleng-geleng kepala gitu, kembali ke kebun belakang”
Gilang......
“Lalu mbak..???” Tanyaku. Karena mbak Nana tiba-tiba terdiam.
“Saya ndak enak non ceritanya, nanti dikira menjelekkan majikan” mbak Nana meremas seragam pelayannya.
“Sudah... Cerita saja mbak. Biar saya tau kelakuan tuanmu itu”
“Suami saya, pak Didi, semakin sering pulang malam bahkan sampai jam 3 pagi. Pas saya tanya, dia jawab kalo tuan Ra pergi ke diskotek. Jadi dia harus nunggu”
“Ohhh ga papa, saya tau itu mbak. Tapi dia di sana karena ada keperluan. Dia gak main perempuan kok” jawabku santai sambil menarik bantal, padahal aku sendiri tidak tahu alasan Rajendra ada di sana.
“Olah.... Ya Alhamdulillah non, klo seperti itu. Saya sempat khawatir lho... Tapi syukurlah... Akhir-akhir ini, tuan sudah rajin Shalat lagi. Terus tiba-tiba hari ini saya lihat non ada di rumah ini. Saya senang banget”
“Kenapa mbk?” Tanyaku lagi
“Karena selama ini tuan kan ndak pernah punya pacar, ndak pernah dekat sama perempuan. Jadi pas ada non, saya senang”
“Apa lagi, pas dipanggil ke sini tadi pagi. Ternyata rumahnya sudah bersih, maksudnya sudah ndak nyeremin lagi”
“Non, maaf saya ceritanya kepanjangan. Non istirahat ya. Kalo ada apa-apa panggil saya saja”
“Rumah saya di belakang, yang cat hijau. Kalo yang catnya biru, itu rumah pak Suaib”
“Iya mbak, maka sih” jawabku.
Mbak Nana pun keluar kamar dan menutup pintu. Aku sangat mengantuk, tapi masih ada yang kugaris bawahi dari cerita mbak Nana, bahwa Rajendra tidak pernah punya pacar?
Usianya 30. Ganteng, mapan, tidak pernah pacaran? Kenapa? Rasanya mustahil.
Semakin aneh dengan perlakuannya kepadaku? Padahal baru ketemu, belum juga 24 jam kenalan, sudah ngajak nikah. Aku benar-benar tidak paham.
“Uwaahhhh...” aku menguap, ngantuk banget. Sejenak kemudian aku terlelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments