POV Cantika
Kami sudah sampai di rumah Rajendra. Rumah ini sangat luas, megah, terlihat indah hanya dengan menatap pagarnya saja.
Bahkan halaman luas ini bersih, tanaman pun tampak terawat.
Akan tetapi rumah ini auranya sangat gelap, Jahat, membuat semua orang merinding ingin pergi menjauh.
Pintunya kupu tarung begitu besar dan tinggi semacam gerbang saja. Begitu masuk tampak ruang tamu yang sangat luas, namun suasananya remang-remang.
Kulihat panglima Kekei berjongkok di atas lemari sambil menggaruk-garuk kepalanya, seperti sedang berpikir.
Begitu dia melihat kami datang, langsung melompat turun dan menunduk. Tak berani benar rupanya dia menatapku.
“Mereka kerasukan, karenanya Kekei tidak bisa berbuat apa-apa, dia menunggu kita” ucap Rajendra. Rupanya dia berkomunikasi dengan panglimanya itu dari dalam hati.
Kami melangkah masuk dan berbelok ke arah kanan, ke tempat penyimpanan benda seni.
Saat Rajendra berjalan terlebih dahulu tampak ada sesuatu seperti titik cahaya kecil di bagian belakang kepalanya tapi aku tak tahu itu apa.
Saat akan meraihnya,.....
Tiba-tiba kudengar suara isak tangis seorang wanita. Dan kulihat ternyata itu Sofia sedang duduk di lantai sedang menangis sambil memeluk sebuah guci.
Sontak aku ingin mendekatinya. Namun Rajendra melarang. Dia menarik tanganku.
“Dia sedang kerasukan. Tapi tak apa, itu guci ratapan. Tidak jahat, hanya suka menangis” jelas Rajendra.
“Panglima bilang tadi Sofi diincar makhluk jahat, sehingga penghuni guci itu merasukinya agar dia aman.”
“Sekarang dia mau membawa Sofia keluar” lanjutnya lagi. “Kita beri jalan”
“Keluarlah” ucap Rajendra pada Sofia Sembari minggir memberi jalan.
Perlahan Sofia berdiri sambil tetap memeluk guci itu berjalan ke arah luar.
Namun tiba-tiba sebuah bayangan hitam melesat di lantai dengan cepat menarik kaki Sofia kuat.
Sofia terpelanting, guci itu terlepas dari tangannya dan tubuhnya akan segera menghantam lantai dengan keras. Beruntung sebelum itu terjadi,.....
Panglima Kekei menangkap guci itu dan Rajendra dengan gerakan cepat menangkap tubuh Sofi.
Secepat kilat, Panglima Kekei melesat memotong bayangan hitam yang mengikat kaki Sofia dengan pedangnya.
“Crahs....”
“Kretek... kretek.....” Terdengar suara retakan.
Benar saja sebuah kaca antik yang di pajang manis di meja retak.
“PYARRR.......!!!!..” Pecah berhamburan. Hingga membuat kami mundur beberapa langkah.
Syok, itu yang kurasakan saat ini. Rupanya bayangan hitam yang menarik kaki Sofia berasal dari sana. Kaca antik berbingkai kayu ukiran tanaman sulur berwarna coklat klasik.
Begitu makhluk penghuninya ditebas, benda yang menjadi rumahnya pun hancur. Hais..... Pecahan kaca di mana-mana.
Kenapa kejadiannya cepet banget sih? Mataku sampe kualahan melihat semuanya. Hampir saja, Sofia celaka. Untungnya kedua lelaki beda alam yang bersamaku ini tangkas. Reaksi mereka cepat dan tepat.
“Padahal kaca itu sangat unik, sayang sekali” ucap Rajendra sambil berdiri menggendong Sofia yang pingsan.
Kami akan membawanya ke pos satpam dulu, agar dia aman. Bisa-bisanya di saat seperti ini dia malah mengatakan hal itu.
“Bingkainya kan masih utuh. Nanti pasang kaca biasa kan bisa, yang gak ada hantunya” ketusku, mengikuti langkahnya dari belakang.
Rajendra tampak acuh saja dengan ucapanku. Ternyata tidak... Dia menoleh, tersenyum seraya berkata..... “Kan tidak Ori lagi sayang....”
Aku mencebik, hanya melihatnya sekilas.
Sampai di pos satpam, Rajendra memerintahkan mereka untuk menjaga Sofia dan seumpama dia sadar, jangan sampai masuk ke dalam rumah lagi, apa pun yang terjadi. Kedua satpam mengangguk mengerti.
Kami kembali ke dalam rumah.
Setelah melewati kaca yang pecah berserakan di lantai. Kami menemukan kursi roda ayah Sofia kosong. Kami lanjut berjalan.
Di depan sana.... di kegelapan..... terlihat seorang pria sedang berdiri membelakangi kami. Rajendra tidak memperbolehkanku mendekat, jadi kupanggil saja dari jauh.
“Tuan Hasan..... Tuan baik-baik saja??”
Senyap....
“Tuan Hasan.....” Kupanggil lagi.
Mendengar suaraku. Dia berbalik dan berlari ke arah kami. Wajahnya tampak menyeringai dengan tangan diangkat ke depan seakan mau menerkam.
Semua itu terlihat jelas karena Rajendra menyalakan lampu. Rumah jadi terang benderang.
Rajendra dalam posisi siap berkelahi. Dan Panglima Kekei siap dengan pedangnya. Alamak...... Apa-apaan ini? Kutepuk jidat.
Tuan Hasan itu pria tua lemah sakit-sakitan, masak mau dihajar? Tak habis pikir aku dengan tingkah mereka.
Aku pun maju menghadang, menatap tajam ke arah mata tuan Hasan. Sontak dia berhenti berlari dan...
“Aku melihatmu..... Gotcha....” Kuambil sebuah tongkat golf yang berada di dalam sebuah guci.
“Tidak......jangan...” Ucap Tuan Hasan gemetar.
Ku ayun-ayunkan stik golf itu.
“Hayo...... Kau keluar sendiri atau aku hancurkan rumahmu.” Rumahnya adalah sebuah guci berwarna merah berukir naga emas yang indah.
“Baiklah...” Ucap Tuan Hasan. Namun tiba-tiba dia maju menyeringai hendak menggigitku.
“Geerrrrghhhh...” Geramannya menyeramkan sekilas mirip zombi di teve.
Untungnya Rajendra cepat memiting salah satu tangannya, mendorong dan menekannya ke dinding hingga dia tidak dapat menggigit.
“Melawan ya....” Ucapku sambil memukul guci merah itu menggunakan tongkat golf pelan.
“Tingg........ngiiiingiinnnn”
“Haagyyaggggghhh...” Tuan Hasan memekik seakan kesakitan.
Entah mengapa dia tampak begitu kesakitan, padahal gucinya hanya kupukul pelan. Guci ini juga, kenapa suaranya nyaring sekali? Dengungannya mirip suara sepiker masjid yang berdengung menyakitkan telinga.
Aku berjongkok melihat bagian guci yang kupukul. Ternyata bagian kepala naga.
“Cantika? Apa yang kamu lakukan? Ambilkan saja tali” kata Rajendra
“Tak perlu bang” jawabku.
“Ting! Ngiiiinggggg.....”
“Agrhhhhh.....”
“Ting! Ngggiiiingggggh......”
“Argaghhhhrrrr...”
Begitu dipukul gucinya, tuan Hasan akan memekik kesakitan. “Baiklah makhluk jelek, kamu keluar sendiri atau aku main musik dengan rumahmu.
“Ting, Ting, Ting, Ting, Ting! Ting!! Ting!!!”
Kupukul gucinya semakin lama, semakin keras. Ayah Sofi lepas dari cekalan Rajendra berguling-guling di lantai kesakitan.
Tiba-tiba dia berdiri, “Akkhhggg....” Berteriak keras sambil memegang kedua telinganya.
Seketika dia luruh ke lantai, Rajendra sigap menangkap tubuhnya. Untung saja, kalo tadi dia sampai membentur lantai bisa gawat! Minimal benjol atau malah masuk IGD.
Ada asap merah yang keluar dari tubuh tuan Hasan dan masuk ke dalam guci itu. “Sudah diam di sana, awas kau keluar lagi!” ancamku.
Kuambil sebuah cobek antik untuk menutup bagian atas guci. Aku masih berlutut di depan guci merah itu, saat Rajendra mendudukkan tuan Hasan di kursi rodanya.
Kami membawanya ke pos satpam terlebih dahulu. Agar dia aman. Karena aku akan melakukan pembersihan. Menyisir setiap sudut rumah ini.
Saat kami kembali masuk ke dalam rumah, kulihat seorang gadis sedang berdiri menunduk menangis di dekat guci yang tadi dipeluk Sofia.
“Kenapa kamu menangis?” Tanyaku.
Sambil tetap menunduk, dia berkata “Tolong aku... Bawa aku pergi dari sini. Kabarnya istana ibu ratu sangat indah”
“Ya.... kami akan membawamu ke sana, jaga dirimu baik-baik. Jangan pecah” ucap Rajendra sambil berlalu.
Aku akan berjalan menyusulnya, namun gadis menangis ini memegang pundakku dan berbisik “Dia di ikuti sesuatu, jadi gak bisa panggil ibunya”
Kemudian gadis itu berubah menjadi asap dan masuk ke dalam guci. Guci berwarna biru bergambar pemandangan danau yang indah.
Rajendra diikuti sesuatu? Kenapa aku tidak melihatnya?
Tring....tring....tring.... Aku mendongak ke arah suara. Ternyata Panglima Kekei berayun-ayun di atas lampu kristal. Dia sedang mengamati keadaan.
Tingkahnya seperti monyet saja. Aku tersenyum, memang dia monyet.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments