Aku pun menyisir rumah itu. Memperhatikan setiap sudutnya dengan pandangan mataku, mencari benda berbahaya.
Ada desir angin dingin yang membuat kuduk meremang. “Ada banyak ini, barangnya yang berhawa negatif, bagaimana?” Tanyaku pada Rajendra.
“Ikat dengan ini, tandai” dia memberikan berlembar-lembar kain merah yang sudah terpotong memanjang seperti tali. Aku menerimanya.
“Sejak kapan Abang menyiapkan tali-tali ini?” tanyaku sembari mulai mengikat benda-benda yang kuanggap berbahaya.
Ada gelang Giok hijau, kuning, biru, Gelang emas tebal dan berat, cincin, guci, cermin, tusuk konde, Keris, Bahkan mahkota. HHhhhhhh.... banyak betul, bisa sampai besok ini baru selesai. Gerutuku.
“Sejak ibu memintaku membawamu ke sini” jawabnya.
“Lihat gelang emas ini, kabarnya peninggalan kerajaan Majapahit” ucapnya lagi sambil tersenyum mengangkat gelang itu ke arah wajahnya. Seakan mengamati.
“Cantik sekali bukan... Sepertimu” sambungnya.
Kemudian Dia meletakkan gelang itu, mendekat padaku hendak mengelus pipiku.
Lekasku tepis tangan itu. Dia tampak terkejut, tangannya mengepal di depan wajahku.
Samar kulihat ada sepasang bayangan tanduk di belakang kepalanya.
Bukan tanduk yang berasal dari kepala Rajendra. Melainkan tanduk dari makhluk lain yang menempel di belakangnya. Belum sempat aku bereaksi.
Tiba-tiba dia menarik tanganku untuk masuk ke sebuah ruangan. Tampaknya itu perpustakaan.
Deblam!!!- Rajendra menendang pintu ruangan ini hingga tertutup rapat.
“Apa yang.....” Gumamku tercekat karena....
Tanpa aba-aba dia mengunciku di pojokkan. Dan menyerangku dengan ciumannya yang kasar.
“Ba.....bang.....” Dia sama sekali tidak memberi kelonggaran.
Aku tahu itu bukan dia.
“Kekei...... “
“Kekei...... tolong.....” Aku membatin kekei, tapi ia tak jua datang.
Rajendra mencium dan mencumbu bibirku bertubi-tubi. Menggigit, menghisap dengan rakusnya.
Bahkan dia memegang bagian belakang kepalaku agar mendongak dan memeluk pinggangku erat agar menempel padanya. Kupukul, kudorong, tapi tak ada pengaruhnya.
Air mataku menetes karena tak sanggup melawan.
Saat dia melepaskan ciumannya dan hendak membuka paksa hijabku. Dengan sekuat tenaga kudorong dia.
Aku segera berlari keluar ruangan. Untungnya tidak terkunci.
Begitu aku membuka pintu.....
Tampak Kekei berdiri siap dengan pedang terhunus menyilang di dadanya, menatap lurus ke ruangan tempatku berada. Aku berlari ke arahnya. Dan.... Begitu aku melangkah keluar ruangan.
Deblammm!!!! Suara pintu tertutup dengan kerasnya. Pintu itu tertutup dengan sendirinya. Aku syok menatap ke arah pintu. Tangis dan derai air mataku tak kuhiraukan.
“Ohhh jadi ini....” Kulihat kabut kurang ajar yang menyelimuti pintu terhubung dengan sebuah guci.
Segera kuangkat guci berwarna hijau yang duduk manis di sebelah pintu. Kuangkat tinggi-tinggi dan.....
PRANG.!!!!...Pyarrr.....!!!! Kubanting ke lantai hingga hancur berantakan.
“Akhhh.....akhhhh.. akhhh......”
“Achkkk.....achk.....” Suara jejeritan terdengar memekakkan telinga, kabut asap pekat dan angin berdesir hebat mengitariku dan Kekei.
Aku berlulut di tempat dengan menutup mata dan telinga. Sedangkan Kekei, tadi kulihat sekilas tetap pada posisinya.
Hanya berdiri tegap sambil menyilangkan pedang di depan dada. Dia fokus pada apa yang ada di dalam sana.
Rupanya guci itu dihuni banyak makhluk. Dan mereka yang membuat Kekei tidak bisa masuk saat batinku memanggilnya.
“Akhgg.......” Suara kesakitan tertahan, terdengar dari ruang perpustakaan. Itu Rajendra.
Segera kubuka pintu perpustakaan itu lebar-lebar. Tampak sesosok makhluk hitam besar berpendar merah dan bertanduk, sedang berusaha menarik sesuatu berwarna kuning dari dada Rajendra.
Terlihat seperti kain kuning yang tertanam menembus dada lelaki itu.
Rajendra sedang berbaring di meja perpustakaan yang besar. Dan makhluk besar itu ada di atas tubuhnya. Kekei melesat menebas makhluk itu, namun gagal.
Makhluk itu berubah menjadi asap yang berpindah ke sana ke mari. Kekei pun terus mengejarnya. Mereka sangat cepat.
Pemandangan ini seperti sedang melihat bayangan berwarna merah dan hitam yang meliuk-liuk di udara.
Hais...... seperti mainan laser kucing saja. Rupanya Kekei tak jua mampu menebas makhluk itu.
Aku harus melakukan sesuatu. Pasti ada sesuatu di sekitar sini. Aku pun berusaha melihat ke segala arah, menyisir setiap penjuru ruangan.
Mataku tertuju pada sebuah gelang Giok hitam yang berpendar merah. Persis seperti pendar yang keluar dari tubuh makhluk itu.
Segera kuberlari ke arah benda itu, namun makhluk itu mengejarku.
“Kkkkyyyyyaaaaggggggg.....” Jeritan makhluk itu mengerikan.
Merasa pasti kalah cepat, aku pun menatap tajam pada makhluk hitam yang melesat ke arahku itu.
Tepat di matanya, mata yang menyala merah. Seketika makhluk itu berhenti dan hanya melayang di udara.
Sementara mataku harus terus menatap makhluk itu, jariku menunjuk ke arah gelang hitam berpendar merah di atas meja. “Iii....itu....” gumamku.
Untungnya Kekei paham. Ia langsung melesat menebas Gelang Giok hitam hingga terbelah pecah menjadi beberapa bagian.
Crash.......KIIIIYYYYAAAAAAKKKKGGGGG........
Makhluk hitam yang melayang di udara itu menjerit melengking sangat menyakitkan indra. Aku berlari ke pojokkan, berjongkok sambil menutup telinga.
Meski mataku setengah memicing, namun kulihat jelas Kekei berdiri melindungiku Dari terpaan benda-benda yang terhempas karena kuatnya terpaan angin mengiringi kemusnahan makhluk hitam besar itu.
Beberapa saat kemudian semua mereda. Desir angin hebat sudah berakhir. Setelah semua keributan berlalu, aku berlari ke arah Rajendra yang terbaring tak berdaya di atas meja.
Ada semacam berlian kecil tergeletak di atas meja itu, di samping kepalanya. Secepat kilat, Kekei menebas berlian itu hingga terbelah dua. Akurat sekali, aku terpana.
Berlian itu hanya seukuran biji jeruk nipis. Tapi pedang Kekei membelahnya menjadi dua bagian sama besarnya.
Tanpa menggores meja sedikit pun. Luar biasa.
Rupanya benda itu yang dimaksud hantu gadis menangis tadi. Benda yang bersembunyi di sela rambut Rajendra.
Benda yang menghalanginya berkomunikasi batin dengan ibunya. “Uhuk...” Rajendra terbatuk. Segera aku tersadar dan melihatnya.
“Ibu... Tolong....” Rintihannya. Seketika ada cahaya kuning berpendar di sebelahku. Kekei berlutut di depannya sambil menunduk.
“Ibu...” Panggil Rajendra. Segera aku tahu yang datang adalah dewi Wulandari. Ibu angkat Rajendra. Aku segera menunduk.
“Jangan menunduk Cantika.... Ibu ingin melihat matamu.” Dewi Wulandari mengangkat daguku lembut agar menatapnya.
Aku terkesima. Seorang Ratu jin yang sangat cantik dan anggun. Wajahnya bersih berseri. Ada semacam permata kuning kecil tertanam di antara alisnya.
Bulu matanya lentik, bibirnya pink lembut. Kulitnya putih bersih, jemarinya juga lentik mucuk eri, meski kukunya tidak panjang sama sekali. Dia memakai gaun warna kuning keemasan. Memancar aura kekuningan dari seluruh tubuhnya. Semerbak aroma tubuhnya wangi.
Wanginya soft menenangkan. Ada semacam hijab yang menutup rambutnya. Hijab lembut indah warna senada dengan gaun yang dipakainya namun berkilauan seperti bintang-bintang. Benar-benar serasa bertemu bidadari.
Mata Dewi Wulandari senantiasa terpejam. “Meski mataku terpejam, mata batinku terbuka Cantika” suaranya lembut sekali.
“Sekarang tolong buka kancing baju Rajendra, ibu mau melihat lukanya” ucap Dewi Wulandari lagi.
Segera kulakukan perintahnya. Kubuka kancing baju Rajendra perlahan. Sontak aku terkejut melihat luka tusukan 5 jari besar-besar di dadanya.
“Putraku... Rajendra, tahan sebentar ya nak” Dewi Wulandari menusukkan ke lima jarinya persis di luka tusuk yang dibuat makhluk hitam tadi.
“Aaakhhhh....” putranya memekik kencang menahan sakit hingga dadanya membusung ke atas.
Kemudian Dewi Wulandari menarik tangannya. Dari tangan itu, terlihat cairan hitam membasahi kelima jarinya.
Lekas dia membalut tangan itu dengan kain berwarna kuning yang entah berasal dari mana. Seketika jari jemarinya bersih kembali. Dan kain kuning pembungkus cairan hitam itu lenyap begitu saja.
“Anakku....” Dia membelai dan mencium wajah putranya.
Kulihat luka di dada Rajendra sudah sembuh, tinggal bekas memar saja. Segera aku kancingkan kemejanya kembali.
Kemudian... Tringgg... Krinncinggg.... krinncinggg.... Tuk.....Gletuk... gletuk...gletuk....
Terdengar suara gemerincing dan tapak kaki kuda, rupanya ada kereta kencana yang datang, berwarna emas berkilauan. Terdengar juga suara kuda meringkik.
Tiga, tiga kereta kencana. Turunlah banyak prajurit dari kereta-kereta itu, mereka pun mengangkat benda-benda mistis berbahaya dari seluruh rumah ini.
Ruangan di rumah ini yang tersekat tembok seperti berubah luas dan lapang. Prajurit-prajurit itu pun dengan leluasa melakukan tugasnya.
Aku yang masih terkesima dengan semua itu, merasa ada yang menyentuh wajahku. Itu ibu ratu. Aku pun menunduk tak berani menatapnya.
“Tak apa, ibu ingin memastikan memang benar permata Cantikalah yang masuk ke dalam bola matamu”
Aku pun mengangkat wajah perlahan menatapnya, dengan lembut jemari ibu ratu mengelus kelopak mataku.
Baru kusadari ternyata dia duduk di atas meja sambil memangku kepala Rajendra. Lelaki itu masih terpejam kelelahan.
“Terima kasih Cantika, atas segala bantuanmu. Tolong titip Rajendra, Ibu harus kembali. Assalamualaikum....”
“Wa’alaikum salam” jawabku.
Pendar ibu ratu perlahan menghilang, begitu juga dengan kereta kencana. Diiringi suara gemerincing dan tapak kaki kuda. Semuanya pergi seperti menembus tembok.
Keadaan pun kembali sunyi. Kulihat Panglima Kekei berdiri di pojokkan sambil memberi hormat dengan sedikit membungkukkan badan, kemudian menghilang.
Suasana di rumah ini tak lagi menyeramkan. Hawa sejuk terasa, angin pagi berhembus menyegarkan dari jendela yang terbuka.
Aku mengambil napas panjang dalam...dalam... tanda lega semua sudah selesai. Kulihat jam dinding besar menunjukkan pukul 10.45 siang.
“Sayang... Tadi ibu datang....” Ucap Rajendra lembut.
“Iya, bagaimana keadaanmu?” Tanyaku, kikuk karena dia sedang tidur di pangkuanku.
Setelah ibu Ratu berpamitan, entah bagaimana bisa aku yang menggantikan memangku kepala putranya. Rajendra menggenggam tanganku dan berkata.
“Aku masih hidup” senyumnya terkembang. Dia beringsut berusaha untuk duduk. Aku membantunya.
Karena tidak lagi memangkunya, aku berusaha untuk turun dari meja.
Namun Rajendra si putra ratu Wulandari ini malah menarik kedua tanganku ke arah punggungnya. Membuat aku memeluknya dari belakang.
“Sebentar saja, peluk aku sebentar saja” pintanya.
Aku pun membiarkannya. Setelah mengalami semua ini. Aku merasa lelah.
Merasa tidak ada penolakan dariku. Semakin dieratkannya tanganku memeluknya.
Hingga pukul 11 siang, jam besar di ruangan ini berbunyi, suaranya keras. “Teng... Teng... Teng....” Hingga 11 kali.
“Sudah pukul 11, aku lapar” bisikku berbohong agar segera terbebas dari pelukan. Rajendra tersenyum, dan kami berdua turun dari meja, lekas keluar dari rumah itu.
Satpam datang menghampiri kami.
“Mereka baru sadar bos” lapornya.
“Bawa mereka ke dalam, rumah sudah aman. Minta semua pelayan untuk masuk kerja hari ini, di dalam sangat berantakan” titah sang bos.
Aku memapah Sofia memasuki rumah. “Sudah tidak ada makhluk jahat di sini. Sudah kami bereskan” ucapku.
Salah satu satpam mendorong kursi roda ayah Sofi untuk masuk rumah. Sedangkan yang satu lagi sedang menelepon para pelayan.
Ayah Sofia tidak sadar akan apa yang sudah terjadi. Yang dia ingat hanya menerima telpon dari rekan bisnisnya pak Gilang, setelah itu dia tidak ingat apa-apa.
“Gilang?... Dia juga yang memberiku gelang itu. Gelang yang berisi makhluk” Rajendra bicara sambil melihatku dan Sofia bergantian. Yang dia maksud adalah gelang yang berisi nenek tua di pesta Sofia.
Setelah kami makan siang bersama. Kami lanjut Shalat Dhuhur berjamaah.
Rajendra dengan telaten memapah pak Hasan saat mengambil air wudu dan untuk bisa duduk di sajadah. Beliau yang menjadi imam.
Sungguh momen yang membuatku kembali berkaca-kaca. Betapa aku merindukan ayahku.
Kemudian, Sofia dan Ayahnya pamit pulang. Rajendra meminta pak Didi mengantar mereka menggunakan mobil Sofi yang tadi dipakainya untuk datang kesini. Karena Sofia masih terlihat lemas akibat peristiwa tadi.
Kulihat Rajendra menyalami pak Didi sambil menyelipkan uang kertas pada sakunya untuk ongkosnya naik taksi nanti. Bos yang perhatian, batinku.
Sebenarnya aku juga ingin pulang ke rumah Sofi, dan tidur seharian di sana. Namun Rajendra menahanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments