🥀🥀🥀
Tiara mengetuk pintu kamar nomor delapan.
Pintu kamar itu dibuka. Bukan Dante, tetapi pelayan hotel yang membukanya, mempersilakannya masuk dengan ramah dan bergantian pelayan wanita itu yang keluar sambil menutup pintu.
“Kedatanganku ke sini bukan untuk melaksanakan kesepakatan yang kita buat saat itu. Sejujurnya aku tidak pernah berniat untuk melakukan itu lagi. Saat itu aku berbohong menyetujuinya,” ungkap Tiara, berbicara sambil memandangi Dante yang duduk dengan kaki menyilang di sofa, di kamar itu.
“Kamu tidak capek melakukan ini? Mendingan urus keluargamu. Jika kamu ingin aku melunasi uang yang aku ambil dari kartu itu, akan aku lunasi sesegera mungkin. Besok aku transfer,” ucap Tiara, lelah berdebat. “Aku tidak mau jadi simpanan dan penghancur hubungan orang lain,” terang Tiara dengan wajah sedikit murung. “Satu lagi, sebenarnya aku bukan orang yang kamu maksud, aku hanya mengambil identitasnya saja. Dia sudah meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan mobil di jurang,” kata Tiara, berbicara dengan nada bicara cukup meyakinkan, seolah cerita bohong yang dibuatnya itu benar.
“Meninggal?”
Dante berdiri dan berjalan mendekati Tiara, berdiri di hadapan wanita itu dengan mata menatap dalam kedua bola mata indah Tiara untuk meyakinkan dirinya.
“Kamu ingin membohongiku dengan drama cerita bohong mu itu? Aku yakin pada diriku sendiri, kalau aku tidak mungkin salah orang. Hanya saja … dari mana kamu mendapatkan wajah ini?” Dante mengapit dagu Tiara, sedikit mengangkatnya dan memiringkannya kiri dan kanan.
“Wajah ini milikku.” Tiara menepis pergelangan tangan Dante sampai tidak lagi menyentuh dagunya.
“Aku tidak peduli apakah wajah ini milikmu atau tidak, tetapi aku bisa membuktikan kalau kamu adalah wanita yang memalukan itu dari tubuhmu. Setiap barang yang aku sentuh tidak akan pernah aku lupakan, meskipun tidak melihatnya,” ujar Dante dengan senyuman seringai.
“Anda melakukan kesalahan Pak Dante. Aku sudah tahu semua rahasiamu dengan Tiara, wanita yang kamu beli itu. Sekarang, saya ke sini untuk membalas mu untuknya. Kartu itu, identitas itu, semua yang kamu lihat sebagai tanda bahwa diriku adalah Tiara adalah rencanaku. Dompetku yang terjatuh di ruangan mu yang tidak aku pungut, lalu … bertingkah ketakutan di hadapanmu saat itu. Sekarang aku akhiri semuanya,” kata Tiara, tersenyum licik, memaparkan wajah seolah semua itu nyata. Padahal, semua itu hanya kebetulan yang dimanfaatkannya.
Tiara meraih kedua tangan Dante, menaruhnya ke kedua bagian pinggangnya dan merobek baju bagian bahu kanannya sendiri. Setelah itu, menampar kedua belah pipinya dan menjatuhkan badan sambil berpura-pura menangis.
“Mbak Tiara!” Lola membuka pintu kamar itu bersama dua orang petugas keamanan hotel Wions.
Apa yang diharapkan Tiara, terjadi. Rencana itu sudah dilakukan sejak tadi bersama Lola yang ikut membantu, meskipun gadis itu kurang setuju sebelumnya.
“Pak Dante. Bagaimana bisa Anda melakukan hal serendah ini?” tanya Tiara, dalam tangis palsunya memandangi Dante yang berdiri di hadapannya.
Lola membantu Tiara berdiri.
“Kalian melihat semua yang terjadi. Saya harap kalian bisa membawanya ke kantor polisi,” kata Lola dengan gelagat tubuh yang tampak takut karena tidak pernah berbohong begitu besar sampai memfitnah orang.
Dante mendengkus sambil memalingkan muka setelah sadar kedua wanita itu sedang memainkan drama sandiwara untuk menjebaknya. Dante berjalan mendekati Tiara, membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Kamu pikir aku bodoh? Lihat di vas bunga itu, aku sudah menaruh kamera pemantau. Kepura-puraan kalian akan terungkap. Suruh saja mereka membawaku ke kantor polisi. Kamu yang akan mendekam di sana,” bisik Dante, tersenyum tanpa ada rasa takut sedikitpun.
Tiara menunjukan mata ke vas bunga di atas meja yang dimaksud Dante. Ia menelan ludah bersama rasa takut.
“Sepertinya ini kesalahpahaman. Yang kalian lihat tidak seperti kenyataannya,” jelas Dante, bertingkah santai dengan senyuman di bibirnya.
“Itu tidak benar,” kata Lola, kesal karena menduga Dante sudah mengancam Tiara dalam bisikan itu.
“Benar. Maksudnya, kalian hanya salah paham. Sebenarnya kami sedang belajar akting untuk project iklan baru,” bohong Tiara, meyakinkan kedua pria keamanan itu sambil memainkan mata kepada Lola.
“Eh … saya pikir kalian sungguhan. Kalau begitu, kalian bisa lanjut,” kata Lola dan mengajak kedua pria itu meninggalkan kamar tersebut dengan menutup pintu.
“Percaya?” tanya Dante, membuat dahi Tiara mengernyit bingung.
"Kamu berbohong?" Tiara bergegas mendekati meja itu, memeriksa vas bunga di mana tidak ada kamera di sana.
"Sekarang kita cari tau, kamu benar orang yang sama atau tidak." Dante berjalan mendekati Tiara dengan senyuman seringai.
"Jangan kurang ajar." Tiara berjalan melewati Dante, tetapi pria itu menahannya dengan menggenggam pergelangan tangannya. "Harus berapa kali lagi aku menjelaskan kalau aku bukan Tiara ...," teriak Tiara bersama rasa kesal, dadanya sampai turun naik.
"Pakai jaket ini. Jangan permalukan dirimu sendiri seperti sebelumnya," kata Dante, membuat Tiara sedikit malu karena salah paham dengan tingkah pria itu. "Baiklah. Aku percaya kalau kamu bukan dia. Setidaknya itu bagus," kata Dante sambil memasang jaket itu ke badan Tiara.
Tiara melanjutkan kaki meninggalkan kamar itu bersama rasa kesal sampai kakinya menghentak.
Kepergiannya meninggalkan Dante berada dalam rasa ragu, melunturkan rasa yakin yang semulanya merasa Tiara yang dihadapinya saat ini adalah orang yang sama.
Dante mengeluarkan ponsel dari saku celana, menghubungi seseorang untuk menyuruh orang itu mencari identitas Tiara saat ini.
"Jika kamu memang benar bukan dia, aku tidak akan mengganggumu. Tetapi, jika itu memang kamu, sehelai rambut pun tidak akan aku bebaskan," kata Dante dengan tekad.
***
"Apa yang terjadi? Dia mengancam, Mbak?" tanya Lola setelah mereka berada di dalam mobil, dalam perjalan kembali ke apartemen. Lola yang mengemudikan mobil itu karena Tiara masih berada dalam emosi karena tingkah Dante.
"Dia pria paling licik yang pernah aku temui. Jangan bahas dia lagi," ujar Tiara dan menyandarkan punggung ke sandaran bangku mobil.
Lola rem mendadak saat seorang pemulung tiba-tiba saja menyeberangi jalan dengan cara berlari. Tubuh mereka tertarik maju, sampai dahi Tiara terbentur ke bagian depan mobil.
"Aww ...." Dahi yang terbentuk, tetapi Tiara malah memegang perutnya.
Lola membantu Tiara membetulkan posisi badan sambil bertanya-tanya.
"Mbak baik-baik saja?" Lola sedikit cemas.
"Perutku nyeri." Tiara menaikkan atasannya, ia memperhatikan bekas sayatan di perutnya. "Bekas operasi itu kembali nyeri," kata Tiara.
"Mbak minum obat nyeri yang diberikan dokter saat itu. Ini," kata Lola sambil mengeluarkan obat dari tas dan menyodorkannya kepada Tiara bersamaan dengan sebotol air.
"Jika anakku hidup, dia pasti sudah besar. Mungkin dia lebih bahagia di sana." Tiara mengingat momen-momen di mana dirinya merawat kandungannya selama delapan bulan sebelum melahirkan di usia kandungan yang tidak penuh sembilan bulan itu.
Raut wajah Tiara berada dalam kesedihan. Lola ikut merasakan rasa sedih itu karena ia juga menyaksikan bagaimana Tiara menunggu anak itu lahir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments