Episode 6: Ulah Binatang Buas

Bukannya reda, hujan justru semakin lebat. Yohanes memutuskan untuk nekat meneruskan perjalanannya pulang.

Tidak peduli lagi seberapa banyak air hujan mengguyur tubuhnya. Jika tidak nekat, mungkin dirinya akan sampai pagi di kastel tua itu.

“Kak Yohanes!” Teriak seorang pemuda dari kejauhan.

Semakin dekat kereta kuda itu menghampiri Yohanes. Sosok pengemudi di atas kereta kuda mulai jelas terlihat.

“Ares…” Ucap Yohanes.

“Cepat naik kak… Hujan semakin deras,” ucapnya.

Tanpa berlama lagi, Yohanes segera menginjak pijakan kereta kuda dan menaikinya. Segera Ares memerintah kudanya agar berpacu lebih cepat lagi.

Kereta kuda itu hanya melindungi sisi bagian atas. Sisi bagian kanan, kiri, dan belakangnya terbuka, hingga air hujan masih dapat menyapa.

“Bagaimana kau tahu aku berada di sini?” Tanyanya.

“Aku mencarimu ke mana – mana, hingga menemukanmu di daerah ini. Kau tahu, daerah ini sangat jarang ada pemukiman penduduk. Sudah sangat lama terjamah dari khalayak ramai. Bagaimana kau bisa sampai di daerah sini?” Balasnya berbalik tanya.

“Aku baru saja selesai menemui seseorang. Lokasinya tidak jauh dari sini. Tiba – tiba saja hujan. Aku menemukan bangunan tua tidak jauh dari tempat kau menemukanku untuk meneduh sebentar. Tidak disangka hujan justru semakin deras,” ungkapnya.

“Kenapa kau tidak bilang padaku jika kepergianmu cukup jauh. Kereta kudaku terlihat reot. Tapi kuda jantanku masih sanggup hanya untuk menemanimu berkeliling kota ini,” pungkas Ares.

“Aku tidak ingin merepotkanmu. Lagi pula, memang aku sudah berniat ingin pergi seorang diri.”

Suara hujan yang melatar belakangi pembicaraan mereka, sehingga harus menggunakan nada suara yang cukup keras agar saling terdengar.

Perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam lamanya. Akhirnya sampai juga di tempat tujuan.

Kedatangan mereka sudah disambut oleh Eugenius.

“Dari mana saja kalian. Kenapa bisa basah kuyup seperti ini,” kalimat pertama yang diucapkan Eugenius menunjukkan rasa kekhawatirannya. “Tolong bawakan handuk untuk mereka,” perintahnya kepada seorang staf pelayan gereja.

“Kalau begitu, aku pamit,” ucap Ares.

“Kau tidak menginap saja di sini. Hujan masih sangat deras. Sebaiknya besok pagi saja baru pergi,” tawaran Eugenius.

Ares tersenyum manis setelahnya berkata, “Terima kasih, Pater Eugenius. Besok pagi – pagi buta aku harus pergi ke barat untuk keperluan ternakku. Sebaiknya aku pulang sekarang, pasti rumahku memerlukanku untuk perbaikan.

Hujan seperti ini, sering kali membuat atap rumahku tidak dapat terus menerus menampungnya. Jadi, harus segera di selesaikan,” Ares menolaknya dengan halus.

“Baiklah, kalau begitu kau harus hati – hati,” Eugenius menyentuh pundak Ares guna meyakinkannya.

“Terima kasih. Jika tidak ada kau, mungkin aku bisa terlambat untuk pulang,” ucap Yohanes.

“Sama – sama, kak Yohanes,” balas Ares.

Setelahnya, pemuda itu mengambil langkahnya pergi. Sebentar setelahnya, si staf pelayan datang membawakan dua handuk. Karena Ares sudah pergi, jadi dia tidak memberikan yang satunya.

“Tolong buatkan teh hangat untuk Pater Yohanes,” pinta Eugenius dan si pembantu menunduk, segera pergi.

“Apakah dia…” Yohanes menghentikan perkataannya.

Eugenius mengangguk dan berkata, “Ya… Dia seorang tuna rungu wicara.”

Yohanes yang melihat bagaimana Eugenius berkomunikasi dengan si pembantu. Setengah menggunakan bahasa isyarat dan setengah dengan penuturan katanya, membuat Yohanes bertanya untuk memastikannya.

Yohanes mengangguk setelahnya bertanya, “Apakah dia sudah lama bekerja di sini?”

“Cukup lama,” balas Eugenius singkat.

“Maaf merepotkanmu, Pater Eugenius. Aku memang meminta tolong Ares untuk mengantarku ke sini, alih – alih ke kediamanku. Aku rasa kau harus segera mengetahuinya.”

“Apakah kau sudah menemuinya?” Yohanes menghela napasnya kemudian mengangguk.

“Aku sudah bicara dengannya. Pater Ignatius juga sudah memperingatiku untuk berhati – hati menghadapi dia.”

Dia yang dimaksud tentu saja sang malaikat kegelapan yang telah bangkit kembali.

“Syukurlah jika Pater Ignatius bersedia membicarakan hal ini denganmu. Aku sudah beberapa kali mengunjunginya, tetap saja tidak ingin bertemu.”

##########

Kondisi beralih kembali memperlihatkan jasad wanita yang masih berada di dalam peti mati di sebuah kastel tua.

Suara guntur semakin menggelegar. Petir yang baru saja menyambar sebuah pohon besar membuatnya harus tumbang akibat dahsyat kekuatannya.

Sepasang mata yang baru saja terbuka lebar memperlihatkan sorot tatapannya yang menyala.

Wanita yang sepertinya sudah tertidur lama di dalam peti mati itu, tiba – tiba saja bangkit. Apakah karena suara petir yang telah membangunkannya, atau karena perihal yang lain. Semesta telah mengizinkan wanita itu bangkit kembali dan menjadi mayat hidup.

Dirinya terduduk sembari melihat kondisi tubuhnya. Kedua matanya yang juga mengintai, melihat kondisi sekitar.

Wanita itu berkulit putih sangat pucat. Iris matanya berwarna merah menyala seperti batu ruby. Senyuman manisnya sungguh tidak terlihat memesona, melainkan menakutkan. Kedua taring panjang yang baru saja terlihat ketika dia tersenyum.

Wanita itu berdiri, keluar dari peti mati dan berlari keluar kastel. Wanita itu merasakan betapa nikmatnya meminum air hujan, hingga membuat mulutnya terus terbuka lebar untuk menampungnya.

Air hujan tidak menghalanginya. Dia berlari ke dalam hutan untuk mengembara. Apakah dia akan mencari makanan di sana? Sepertinya benar begitu.

##########

Keesokan harinya.

Setelah hujan yang sangat deras disertai petir semalaman, pagi ini sang surya menampakkan sinarnya yang dapat menerangi hingga langit terlihat sangat cerah. Bahkan awan enggan untuk bersembunyi. Kicauan burung juga terdengar ikut andil menyambut pagi, tidak ingin kalah dengan ayam yang sudah sejak pagi buta berkokok.

Para penghuni biara bekerja bakti gotong royong membersihkan area biara dan gereja. Banyak pohon yang tumbang. Banyak dari ranting pohon yang berserakan akibat tertiup angin. Daun – daun kering yang juga berguguran, terlihat menghiasi halaman rumah, juga perlu untuk dibersihkan.

Dari kejauhan, Ares yang berlari hendak menemui Eugenius.

“Pater Eugenius!!” Ares berlari. Ketika jaraknya sudah cukup dekat dirinya memanggil sang pastor dengan bariton suaranya yang lantang.

“Ada apa Ares?” Sahut Yohanes, bertanya. Pagi ini dirinya sudah berada di lingkungan biara karena hujan semalam membuatnya menginap.

“Gawat!!” Ucap Ares.

Tanpa menjelaskan dengan lebih banyak kalimat, Ares langsung mengajak Eugenius dan Yohanes untuk pergi ke kediamannya yang untung saja tidak jauh dari lingkungan gereja.

Setelah sampai, mereka dibuat terkejut dengan apa yang baru saja dilihat. Sebuah pemandangan yang cukup sukses membuat mereka berdiri sambil ternganga.

“Bagaimana bisa…” Ucap Eugenius terkejut dan berjalan mendekati kandang ternak.

Mereka di suguhkan dengan kondisi semua hewan ternak yang sudah mati. Beberapa ekor domba yang sudah tak bernyawa dan kehilangan anggota tubuhnya. Tiga ekor sapi betina dan dua ekor sapi jantan yang sudah terkuras habis isi perutnya.

Apakah ini semua ulah binatang buas? Sepertinya tidak mungkin. Lingkungan tempat tinggal mereka cukup jauh dari hutan.

“Maaf pater. Aku telah lalai menjaga kandang dan membuat hewan ternak mati,” Ares menunduk dan mengakui kesalahannya.

Episodes
Episodes

Updated 39 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!