Yohanes melangkahkan kakinya jauh hingga ke ujung perbatasan sebelah barat Transylvania. Letaknya yang sangat jauh hampir memasuki wilayah Hongaria. Tekadnya yang begitu kuat dapat mengantarkannya sampai di tempat tujuan.
Memakan waktu berjam – jam untuk sampai. Tapi, tidak membuatnya gentar untuk berjalan mundur. Setiap rintangan dan hambatan yang dilaluinya, berhasil di taklukkan.
Berdiri kokoh sebuah bangunan yang cukup klasik dan menyimpan nilai sejarah di atas bukit. Bangunan tersebut cukup luas, sudah menjadi bekas, tetapi tidak terbengkalai.
Dulunya, bangunan tersebut digunakan sebagai biara. Sekarang tidak lebih dari bangunan tua yang telah ditinggalkan. Bangunan tersebut masih terjaga keasliannya dan ada sukarelawan yang mengurusnya.
Sesampainya Yohanes, dirinya langsung menemui seseorang yang bertanggung jawab akan tempat terebut.
“Aku hendak bertemu dengannya. Bisakah kau antarkan untuk bertemu?” Pinta Yohanes dengan sopan kepada penjaga tersebut sembari menunjukkan sebuah foto.
“Beliau sedang tidak ingin diganggu!” Tukasnya kaku.
“Tolong, ini sangat mendesak,” pinta Yohanes memohon.
“Apakah kau sudah membuat janji dengannya?” Tanya sang penjaga.
“Ini pertama kalinya untukku bertemu dengannya.”
“Kalau begitu tidak bisa!” Sang penjaga mengambil langkahnya pergi. Sifatnya sangat kaku dan dingin
“Ini menyangkut keselamatan,” perkataan Yohanes dapat menghentikan penjaga itu untuk kembali melangkah pergi.
Sang penjaga menghela napasnya setelahnya berkata, “Akan kusampaikan pesanmu padanya,” sang penjaga berbalik badan hendak pergi.
“Tolong, pertemukan aku dengan Pater Ignatius. Ini sangat mendesak dan harus segera diselesaikan,” pintanya lagi, memohon dengan sangat amat.
Sang penjaga akhirnya mengalah. Dirinya menyetujui untuk mempertemukan Yohanes dengan Ignatius.
Yohanes yang ditemani oleh sang penjaga, berjalan menyusuri lorong. Di sebelah kanan dan kiri terdapat beberapa ruang kosong yang dulunya digunakan sebagai ruang peristirahatan para biarawati.
Tempat di mana Ignatius berada tidak di bangunan bekas biara tersebut, melainkan di sebuah bangunan kecil yang terbangun di belakangnya.
Sang penjaga membuka kunci gembok pintu yang terbuat dari besi tersebut. Sebuah ruangan yang terbuat dari besi yang berada di dalam sebuah bangunan kecil. Di sanalah, Ignatius mengurung dirinya.
Sang penjaga mempersilahkannya memasuki ruangan besi yang hanya memiliki luas dua kali tiga meter tersebut.
Sang pastor yang menyadari seseorang telah datang mengunjunginya, segera berdiri dari kursi tempat duduknya.
Yohanes sedikit menunduk memberikan salam hormatnya.
“Pater Ignatius…” Yohanes menyebut nama sang pastor.
“Siapa?!” Tanya Ignatius.
Yohanes mengulurkan tangannya seraya memperkenalkan dirinya, “Yohanes.”
Ignatius mengamati penampilan Yohanes. Setelah melihatnya dari atas sampai bawah, tanpa harus bertanya, Ignatius mengetahui jika tamunya itu juga berprofesi sama dengan dirinya.
Ignatius menerima uluran tangan Yohanes, kemudian mempersilahkannya untuk duduk.
“Untuk apa kau menemuiku?” Tanyanya langsung.
“Maaf, telah mengganggu waktu istirahatmu. Pater Eugenius sudah menceritakan sebagian dari latar belakangmu. Ja-” Perkataan Yohanes terpotong.
“Katakan tujuanmu ke mari…”
“Dia telah kembali. Dia telah datang. Malaikat kegelapan,” tukasnya dengan raut wajah yang sedikit panik. Sesungguhnya, ekspresi itu sukar untuk disembunyikan.
Ignatius menunduk kemudian menatap Yohanes. Dirinya sangat mengerti maksud dan tujuan Yohanes datang menemui dirinya.
“Pulanglah. Kembali ke tempat asalmu dan hentikan misimu!” Kata Ignatius memerintahnya dengan halus.
“Kita harus menyelesaikannya. Mengembalikan ke tempat yang seharusnya,” Yohanes menggeleng setelahnya melanjutkan kalimatnya. “Sudah tidak ada waktu untuk mundur.”
“Kau akan berakhir sepertiku. Aku telah gagal dalam tanggung jawabku,” keluhnya.
“Kau tidak gagal. Kau telah berhasil mengurungnya.”
“Tetapi, aku juga yang telah gagal untuk melindungi segelnya agar dia tidak terlepas,” sahut Ignatius. “Karena kelalaianku, salah satu dari rekanku harus kehilangan nyawanya,” sambungnya.
“Semua itu tidak lepas dari kehendak-Nya. Jangan terlalu menyalahkan dirimu.”
“Sebaiknya kau pergi,” ucap Ignatius dengan nada bicara yang halus.
“Tujuan utamaku ingin bertemu, adalah untuk meminta nasehat. Bagaimana kau dulu bisa mengurungnya… Aku akan mengurungnya kembali dan akan kukembalikan dia ke Neraka.”
Ignatius menghela napasnya, pasrah. Dirinya memberikan sebuah buku hariannya. Segala hal yang telah dilakukannya menyangkut eksorsisme, kepada Yohanes. Melihat ketekunan, keseriusan, dan keyakinan yang Yohanes miliki, Ignatius tidak ragu untuk memberikannya.
“Aku mengkhawatirkanmu jika kau telah berhasil melakukannya,” ucap sang pastor, seperti pesan tersirat bagi Yohanes.
Setelah selesai menemui Ignatius, sang penjaga datang untuk kembali menjemput Yohanes.
“Kau mengunci kamar ini dari luar?” Tanya Yohanes penasaran.
“Aku hanya menuruti apa yang diperintahkannya.”
“Bisa kau jelaskan padaku, bagaimana semua ini berawal… Bagaimana kau bisa sampai menjadi seperti ini.”
“Aku sudah sangat lama bekerja menjaga tempat ini. Sejak awal kedatangannya, masih teringat dengan jelas rasa takut, penyesalan dan kesedihan yang hadir bersamanya. Beliau memintaku untuk mengurung dirinya, menjaganya, dan memintaku untuk selalu mengawasinya.”
“Pater Ignatius adalah salah satu dari pastor yang andal dalam melakukan eksorsisme. Setelah dirinya harus kehilangan salah satu rekannya, semua rasa penyesalan ditanggungnya sendirian, sehingga harus mengurung diri. Ketakutan yang sangat besar juga harus dihadapinya. Pater Yohanes, kau harus terus siaga. Kekuatan gelap sangat kuat,” ucap sang Penjaga di akhir kalimatnya.
“Namun tidak akan pernah bisa mengalahkan cahaya,” ucap Yohanes menyambung perkataan sang penjaga.
Yohanes seakan dapat merasakan kesedihan dan rasa ketakutan yang cukup dalam. Sama dengan apa yang pastor itu rasakan. Dalam dirinya semakin bertekad lebih cepat menemukan iblis itu dan kembali mengirimnya ke Neraka.
Setelah mendapatkan apa yang diperlukannya, Yohanes kembali meneruskan perjalanannya untuk kembali pulang.
Di tengah perjalanannya, tiba – tiba saja cuaca berubah menjadi hujan yang disertai badai. Angin yang bertiup kencang diiringi oleh gemuruh suara petir.
Yohanes memilih untuk meneduh. Langkah kakinya menuntunnya sampai di sebuah kastel tua yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal Ignatius. Yohanes berlari sembari melindungi kepalanya dengan tas kopernya, menghindari air hujan agar tidak terlalu membasahi tubuhnya.
Di dalam kastel, pandangan matanya teralihkan oleh sebuah benda panjang yang terbuat dari kayu. Yohanes menghampiri peti tersebut. Rasa penasarannya yang begitu besar, mengantarkan kedua tangannya untuk membuka penutup peti mati tersebut.
Tubuhnya sedikit tertarik ke belakang setelah mengetahui isi dari peti mati tersebut. Terlihat jasad seorang wanita yang masih utuh dan seperti diberikan pengawet. Tubuhnya tidak termakan usia. Tidak ada keriput, bau yang busuk, hanya terlihat putih pucat, dan buku tangannya yang panjang.
Betapa dibuat kaget. Yohanes seperti melihat sebuah jasad yang baru saja meninggal. Padahal, jika dilihat dari pakaiannya, di perkirakan sudah berumur kurang lebih setengah milenium.
Yohanes mendekat kembali ke peti mati dan kembali melihat jasad tersebut. Seketika suara gemuruh petir semakin keras terdengar.
Tangannya yang kekar dan berisi, merasakan hawa dari jasad wanita itu. Yohanes melihat sebuah kertas yang terselip di atas kepala jasad wanita itu kemudian mengambilnya. Sebuah kertas yang berisikan mantra tetapi sang pastor tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam mantra tersebut. Mantra tersebut tertulis menggunakan bahasa latin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments