...***...
Di sore hari yang cerah, dua anak remaja duduk di bawah pohon yang rindang. Menikmati pemandangan laut yang indah sambil merasakan sejuknya angin yang berhembus.
“Elic, lagi- lagi kau membantuku, aku sangat berterima kasih padamu.”
"Sean, kamu itu sahabatku, kamu dan bibi sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri. Jadi, sampai kapanpun aku akan selalu membantumu.
Sean tersenyum mendengarnya. “Begitu, ya,” Ia lalu menatap serius gadis disampingnya.
“Elic.”
“Hm?" Elic membalas tatapannya dengan mata berkedip-kedip, tampak heran melihat sorot mata Sean.
“Aku berjanji, sampai kapan pun, aku akan selalu disampingmu, dan akan melindungimu!” Ucap Sean dengan sungguh hati.
Mendengar ungkapan itu membuat pipi Elic memerah dan membuatnya jadi salah tingkah. "H-ha..? A-apa maksudmu?"
“Aku hanyalah orang miskin, aku tidak bisa memberikanmu kekayaan, juga kekuasaan, namun aku bisa memberimu janjiku, aku akan melindungimu, dan tak membiarkan mu terluka sedikitpun!” Lanjut Sean.
"Apa- apan maksudnya ini? apa dia sedang merayuku?" Bergumam dalam hatinya dengan pipi kemerahan. Elic lalu tersipu malu, dan senyuman kecil perlahan tergambar diwajahnya yang cantik. "Ba-bagaimana jika suatu hari nanti, ada orang banyak yang ingin membunuhku, tapi kau tak mampu melawan mereka, apa yang akan kau lakukan?” Tanya Elic seakan menguji ketulusan dari anak lelaki itu.
"Suruh mereka langkahi mayatku dulu.” Balas Sean dengan serius.
Elic kembali terkejut mendengar ungkapan tulus dari anak lelaki ini, sontak ia langsung memalingkan pandangannya. "Ta-tak perlu, a- aku bisa melindungi diriku sendiri, kau tak perlu melindungiku sampai mengorbankan nyawamu, aku tak butuh!" Ucapnya dengan tegas.
Sean tersenyum lembut melihatnya, lalu pandangannya beralih ke hamparan lautan indah didepannya. Matahari semakin merunduk di ufuk barat, memberikan cahaya keemasan yang memancar ke sekelilingnya.
Elic tampak menunduk malu dengan pipi kemerahan. "Terimakasih," katanya dengan suara pelan.
Sean tersenyum tipis sambil terus menatap ke arah cahaya senja yang tampak mempesona. Mereka berdua duduk di bukit, menikmati keindahan sunset. Dalam diam, mereka tahu bahwa mereka sudah melewati begitu banyak hal bersama, mereka saling mendukung dan menguatkan satu sama lain, seperti tim yang tak terpisahkan.
--------
Seminggu sekali, ibunya memeriksa pertumbuhan dan perkembangan postur tubuhnya. Dari pertumbuhan struktur tulang, dan rentang gerak sendi. Berdasar itu, menu latihan selanjutnya akan ditentukan. Meski ia sedang sakit, namun mengingat anaknya akan masuk ke Soul academy, ia tetap memaksakan dirinya untuk mengajarkan skill baru sebagai persiapan anaknya. Sebenarnya latihan ini dilakukan kemarin, tapi karena kedatangan ayah Elic, latihan pun ditunda.
Ibunya adalah seorang ahli medis paling terkenal di kerajaannya, namun sejak kejadian yang menimpa 17 tahun yang lalu, membuatnya berhenti dari profesinya. Menurut kabar yang beredar, ayahnya terlibat dalam kekacauan itu dan menewaskan empat master roh beserta puluhan bawahannya, sehingga ibunya pun mulai menutup diri dari pandangan publik. Dari ibunya, Sean mulai belajar teknis medis, sampai dengan pembunuhan, untuk bisa bertahan, dan melindungi dirinya dari setiap ancaman.
Setelah pemeriksaan selesai, ibunya lalu mengajaknya kehutan untuk tahap latihan selanjutnya. Setibanya mereka di depan danau, Elen mulai menunjukan kekuatan baru pada anaknya.
"Sean, pertumbuhanmu cepat, tingkat pemulihanmu juga tinggi, mungkin karena di pengaruhi dua kekuatan spiritual dalam dirimu, kamu memiliki kualitas yang luar biasa. Meski usiamu masih mudah, tapi jika sudah tumbuh segini, ini akan baik- baik saja, kamu cukup kuat untuk menahan operasi."
"Operasi?"
"Sean, kamu akan menerima mata mistik yang dapat menentukan, dan merasakan serangan lawan," Ucapnya bersamaan dengan warna matanya yang tiba-tiba berubah.
Sean seketika gemetar merasakan tekanan aura yang sangat kuat dan menakutkan, seolah ia sedang mengangkat beban yang begitu berat hingga membuat kakinya kesulitan untuk menopang.
Sean terkejut melihat perubahan mata ibunya, dari biru menjadi nyala keemasan disertai luapan asap putih yang keluar dengan elegan.
"Kekuatan ini kita menyebutnya, mata penakluk, sang Dominator! bentuk lain dari kekuatan Heavenly Soul."
Heavenly soul adalah sebuah kekuatan magis yang ada dalam setiap manusia yang membuat mereka dapat mempengaruhi dunia, atau kemampuan untuk mengubah hidup mereka sendiri.
"Dominator" dalam konteks kekuatan surgawi bisa diartikan sebagai kekuatan yang memimpin, mengendalikan, dan mendominasi segala aspek yang terkait dengan penggunaan mata. Kemampuan ini mempertajam indera penglihatan, memperkuat insting, dan bahkan dapat memprediksi serangan lawan atau bahkan melihat sekilas masa depan. Tingkat lanjut dari kekuatan ini adalah kemampuan untuk memberikan serangan mental pada lawan hingga mencapai tingkat kehancuran.
"Dengan operasi menggunakan mana, penglihatan akan diperkuat, dan bahkan dapat melihat mana, penglihatan kinetik, persepsi, dan penglihatan malam juga diperkuat. Untuk membunuh, tak ada senjata yang lebih baik," Ungkap ibunya.
Sean terkejut sekaligus kagum mendengarnya.
"Kemampuan ini akan terus meningkat seiring dengan perkembangan level kekuatan roh," Lanjut Elen dengan aura keemasan yang terus bergejolak menyelimuti tubuhnya. Ia lalu tersenyum kecil melihat tubuh anaknya yang gemetar.
Pandangannya lalu beralih kearah kayu terapung di danau yang tenang, ia menyuruh Sean berdiri di atas kayu itu sambil menutup matanya dengan kain.
Sean tanpa ragu kemudian menyanggupinya. Ia berdiri diatas kayu sambil berusaha menjaga keseimbangan, namun baru beberapa saat berdiri, tubuhnya langsung tercebur ke air. Tekanan aura dari ibunya, membuatnya kesulitan untuk menyeimbangkan tubuhnya.
Sean lalu teringat dengan sikap ibunya, yang selalu menolak bantuan orang lain. Jujur, salah satu kekhawatiran Sean adalah, ibunya akan disakiti oleh orang lain saat ia tidak bersamanya dalam waktu yang lama. Sean begitu takut ada orang yang akan menyakiti ibunya. Setelah menyaksikan ini, ia sadar, ibunya tidak lah lemah. Kekuatan ini adalah orang yang telah mencapai puncak entitas spiritual. "Apakah ibu mencoba memberitahuku dengan kekuatannya?" kata Sean dengan senyum legah. Tapi, masih ada sedikit kecemasan dalam dirinya. Tentu saja kekuatan sebesar ini akan berdampak pada kesehatannya. "Apakah ibu akan baik-baik saja, melepaskan energi besar seperti ini?" gumamnya.
Sean kembali mencoba, dalam upayanya yang kedua, sayangnya ia kembali gagal. Melanjutkan dengan percobaan ketiga, keempat, dan kelima, Sean berusaha meredam gerakannya dan memperkuat pijakan, tetapi sekali lagi ia terjatuh.
Dilain tempat, terlihat seorang gadis mendatangi sebuah rumah.
"Sean, Seann.., bibi..., bi..." Panggil si gadis itu berungkali namun tak ada balasan.
"Sean dan bibi kemana, ya?" Ia dengan sedikit lesuh lalu duduk menunggu didepan rumahnya.
----------
Hari menjelang Sore, Sean kini mulai terlihat kesal, dengan usaha yang masih belum juga berhasil. Batang kayu yang padahal terlihat besar, dengan air danau yang begitu tenang, tapi ia begitu kesulitan untuk berdiri.
Bahan latihan ini terbilang lebih mudah dibandingkan dengan latihan- latihan sebelumnya, namun karena pengaruh tekanan energi spiritual dari ibunya, membuatnya terlihat seperti bayi yang baru saja belajar berdiri, dan bahkan kayu besar ini berasa seperti ia sedang berdiri di atas sehelai rambut yang tipis.
Sean melihat ibunya yang tampak baik-baik saja. "Bagaimana ibu bisa begitu tenang setelah mengeluarkan energi besar dalam waktu yang lama? Seberapa besar energinya? Tidak, bukan itu, dia tampak baik-baik saja, seolah itu tidak mempengaruhi kesehatannya. Bagaimana hal itu mungkin?" berkata dalam hatinya. Berbagai pertanyaan muncul dalam pikirannya dengan tampak keheranan. "Apa...," Sean seketika terkejut saat menyadarinya. Sudah jelas bahwa ibunya hanya mengeluarkan sedikit energi spiritualnya, dan itu sama sekali tidak akan mempengaruhi kesehatannya. Sean seketika terdiam membeku di tempatnya dengan rahang mengendur. "Ibu.., kau ini sebenarnya.., siapa?"
"Ada apa, kenapa hanya diam saja?" Tanya ibunya dengan lantang.
Sean dengan terkejut bergegas kembali menaiki kayu besar itu dan kembali mencoba, ia mulai memusatkan perhatiannya pada pijakannya. Tapi hal itu malah mengganggunya dan ia pun kembali terjatuh ke air.
Elen menghela nafas melihat anaknya itu. "Apa yang terjadi padanya? kenapa konsentrasi nya menurun? Apa..., aku terlalu berlebihan, ya?" gumamnya.
Dengan pikiran yang tenang, Sean kembali mencoba. Ia menguatkan mentalnya dan melawan tekanan aura itu dengan energi spiritualnya untuk menopang tubuhnya agar tetap stabil. "Aku hanya perlu melawan tekanan energi spiritualnya untuk menjaga keseimbangan," ucapnya dengan penuh konsentrasi. "Jangan terburu-buru. Angkat beban secara perlahan dan perhatikan gerakan tubuh. Hindari gerakan yang terlalu cepat yang dapat mengganggu keseimbangan," bergumam dalam hatinya. Sean mulai memusatkan pernapasannya. Dia bernapas dengan perlahan dan dalam, untuk menenangkan pikiran dan tubuh. Sean juga menjaga keseimbangan, fokus pada titik keseimbangan dan posisi tubuh yang seimbang dan stabil. "Hanya dengan menahan aura ini saja, lebih dari setengah energiku sudah habis. Ini sangat memalukan, apakah karena ibuku yang terlalu kuat atau karena aku yang sangat lemah?" berkata dalam dirinya sambIl terus berusaha.
Sampai tiba di percobaan selanjutnya, dengan modal kejeniusannya Sean akhirnya mampu melewati tahap latihan pertamanya, berdiri diatas kayu terapung dibawah tekanan energi spiritual ibunya.
Elen saat itu tersenyum melihat pencapaian anaknya itu, tak menyangka anaknya dapat melewati latihan ini hanya dalam sehari.
"Selanjutnya, bersiap menerima serangan yang datang," Ia lalu menyentilkan batu kecil dari ujung jarinya melesat cepat kearah Sean.
Tok!
Batu itu mengenai jidatnya, dan langsung tercebur ke dalam air.
"Aduuhhh..." Sean keluar sambil mengelus jidatnya yang sakit.
"Sudah ku bilang, bersiap menerima serangan yang datang," ucap Elen dengan acuh.
"Ini benar-benar sakit! Ibu, bisakah sedikit lembut padaku?"
"Kita tak punya banyak waktu, uhu-uhu.."
"Bu..." panggil Sean dengan cemas.
Elen langsung mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. "Ayo mulai lagi, persiapkan dirimu," Tegas Elen dengan sedikit terbatuk.
Sean terdiam sesaat, lalu kembali berdiri di atas kayu. Ia mulai mengatur nafasnya untuk mencoba menenangkan dirinya. Tekanan aura dari ibunya saat itu seolah tak lagi menjadi penghalang baginya, dan kini tinggal bagaimana dia mampu menghindari setiap serangan yang datang.
Hari menjelang malam, Sean terlihat dengan susahnya terus berusaha menghindari tiap-tiap batu kecil yang melesat kearahnya dengan mata tertutup.
Tok!
Batu itu kembali mengenai jidatnya, dan terjatuh. "Aduuhhh..., sakiiitt.." Sean merintih kesakitan sambil mengelus jidatnya yang bengkak dan penuh memar.
"Cukup! Kita sudahi latihan hari ini," Kata Elen.
Sean kembali mendarat dengan sangat kelelahan. "Akhirnyaa..."
Elen tersenyum melihat usaha keras anaknya. Ia tidak menyangka latihan pertama anaknya bisa berkembang secepat ini.
Elen kemudian menjelaskan bahwa tujuan dari latihan pertamanya adalah untuk menguatkan mentalnya, sehingga ia tidak mudah diintimidasi oleh energi spiritual dari lawannya. kedua, agar Sean mampu menentukan dan merasakan serangan lawan. Dan ke tiga, untuk memperkenalkan padanya mata penakluk, sang dominator. Hanya sedikit orang yang mampu menguasai kekuatan tersebut, orang-orang dengan tekad yang kokoh dan mental seorang raja.
Kemampuan Sean memang sudah terbilang hebat, namun staminanya masih belum cukup untuk dapat merilis kekuatan tersebut, sebab dengan stamina yang kuat akan memberikan ruang mana yang lebih besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments