🌿🌿🌿
Nitami dan Adi, kedua mertua Malini berdiri dari sofa. Mereka memperhatikan menantunya itu yang tengah berjalan menuruni tangga. Malini tersenyum ringan kepada mereka setelah sempat lupa kalau mertuanya itu ada di rumah. Malini menyalim tangan mereka dan menghampiri Jian dan Jenaka yang bermain mobil-mobilan dan boneka di lantai. Setelah itu, Malini mempersilahkan mereka kembali duduk.
Senyum selalu diperlihatkan meskipun hatinya terasa sakit. Malini seorang wanita yang tidak ingin membagi masalah ataupun kesedihan dengan orang lain. Ia hanya ingin membagi kebahagiaan saja. Senyuman di bibir Malini membuat kedua mertuanya itu sempat berpikir sesuatu terjadi di atas, tentunya di antara anak dan menantunya itu.
"Kamu baik-baik saja? Kenapa ...." Nitami menggantungkan perkataannya sambil mengarahkan pandangan ke atas, ke arah pintu kamar yang sedikit terlihat dari posisinya.
"Mas Hudda membuatku kesal. Papa dan Mama tenang saja, kami baik-baik saja. Kami tidak pernah bertengkar selama sepuluh tahun menikah. Hanya ada sedikit perdebatan saja," kata Malini dengan mengedipkan salah satu matanya setelah berbicara.
Malini mengajak kedua mertuanya itu bercanda ringan untuk menutupi permasalahan yang merisaukan hatinya. Di tengah mereka berbicara, Hudda menuruni tangga dan menghampiri mereka. Kedua bola mata Malini memperhatikan dasi Hudda yang terpasang kurang rapi di lehernya.
"Ma, Pa, aku berangkat kerja dulu." Hudda menyalami tangan mereka dan mengabaikan Malini karena tamparan tadi yang membuatnya marah.
"Tunggu! Istrimu ingin menyalami tanganmu. Jangan begitu semangat," tegur Nitami pada Hudda yang sudah berjalan beberapa langkah menuju pintu.
Hudda menoleh ke belakang, melihat Malini mengedepan tangan sambil tersenyum ringan. Demi menjaga nama baik Hudda di depan orang tuanya, Malini rela diam dan berpura-pura sedang baik-baik saja.
Hudda berjalan mendekati Malini, matanya menatap tangan yang sempat mendarat di pipinya. Hudda menatapnya dingin dan membalas jabatan tangan Malini. Setelah itu, Hudda mengecup kedua pipi anaknya dan bergegas meninggalkan rumah.
"Selama sepuluh tahun menikah, Mama tidak pernah melihat Hudda sedingin ini. Kalian bertengkar?" tanya Nitami yang sedari tadi memiliki firasat semua tidak baik-baik saja.
"Tidak. Mungkin moodnya pagi ini tidak baik karena pekerjaan. Karena Mama dan Papa sudah jauh-jauh ke sini, kalian tidak bisa pulang dengan tangan kosong. Ma, aku akan membuatkan kue kesukaan kalian. Tapi, sekarang aku masak dulu untuk kalian. Ayo!" Malini mengajak Nitami ke dapur.
Lalu, kedua anak yang saat ini main di ruang tamu ditemani oleh Adi. Pria paruh baya itu mengawasi mereka sambil menonton televisi.
***
Beberapa hari terakhir cuaca tidak bagus, setiap malam hujan berterusan sampai berita banjir memenuhi televisi dan media sosial. Mata Malini tidak beralih dari jam dinding yang terus berputar dan kini menunjukkan pukul 23. 00 malam. Sesekali matanya beralih mengarah ke pintu utama rumah yang tertutup, menunggu Hudda yang tidak kunjung pulang. Wajahnya memperlihatkan kecemasan dan kegelisahan mengingat suaminya itu sedang menduakannya.
"Mungkin, wanita itu alasan Mas Hudda selalu terlambat pulang beberapa hari terakhir." Malini berasumsi.
Beberapa menit berjalan mondar mandir di tengah ruang tamu, Malini beralih duduk di sofa dan tetap lanjut memandangi pintu rumah. Beberapa menit kemudian, indera pendengarannya mendengar suara mesin mobil yang semakin jelas dan tampaknya sudah berhenti di depan rumah.
Malini berdiri, bangkit dari sofa, dan berjalan menuju pintu. Setelah pintu rumah dibuka, Malini melihat tangan Hudda baru terangkat ingin mengetuk. Tatapan pria itu tajam, masih sama seperti pagi tadi, marah karena ditampar.
"Dari mana?" Nada suara Malini dingin saat bertanya.
"Kamu tidak melihat? Lini, tolong jangan berdebat denganku. Aku lelah." Lanjut, Hudda berjalan melewati tubuhnya.
Malini menutup pintu dan berjalan. mengikuti Hudda berjalan menaiki tangga menuju kamar. Malini mengendalikan emosinya untuk tidak membuat Hudda marah. Seharian ini Malini sudah berpikir panjang dan mendapatkan cara sendiri untuk menyikapi masalah perselingkuhan Hudda dan wanita yang dilihatnya tanpa kekerasan.
Setelah masuk ke kamar, Hudda meletakkan tas kerjanya ke atas meja dan melepaskan jas di tubuhnya. Malini berdiri di hadapannya, membantu suaminya itu melepaskan kancing baju kemejanya dan memperlihatkan wajah tersenyum manis. Padahal, hatinya sangatlah sakit seperti ditikam oleh benda tajam.
"Mas lelah? Mandi dulu, aku akan siapkan makan malam," ucap Malini, ramah.
Raut wajah Hudda berubah bingung. Mengapa tidak? Pagi ini Malini terhanyut dalam emosional sampai menampar pipinya. Lalu, ia malah melihat Malini bersikap lembut padanya.
"Pagi ini, kenapa menamparku?" tanya Hudda masih bernada dingin.
"Prank ... bagaimana? Ternyata kamu benar marah. Apa sakit?" Malini membelai lembut pipi Hudda, menggodanya.
Malini melepaskan kemeja dari tubuh Hudda, meninggalkan celana polo hitam saja. Lalu, Malini menggenggam erat kemeja kotor Hudda erat sambil berjalan menuju akar mandi untuk meletakkan pakaian kotor itu ke keranjang. Hudda tidak melihat sikap Malini karena berjalan membelakanginya. Jika ia mengikuti emosional dan kemarahannya, Malini sudah meninggalkan rumah itu.
"Jangan begitu lagi. Baru kali ini aku melihatmu semarah itu dan bertingkah kasar. Selama sepuluh tahun kita menikah, kita tidak pernah bertengkar sampai bersikap kasar. Kalau begitu, aku mandi dulu," ucap Hudda tersenyum.
Hudda berjalan mendekati Malini, ingin mengecup bibir istrinya itu. Segera Malini memalingkan wajah untuk menghindar dari kecupan suaminya itu. Agar tidak terlihat sengaja menghindar, Malini berpura-pura tidak tahu dan berjalan mendekati kasur untuk melihat beberapa kain bersih yang ada di sana.
Meskipun begitu, Hudda tetap merasa istrinya itu sedang menghindarinya. Malini diam sesaat memperhatikan Hudda yang berdiri membeku sejenak memikirkan sikapnya.
"Mandi dulu," ucap Malini untuk tidak membuat Hudda curiga.
Hudda tersenyum dan menepis pikiran mengenai sikap menghindar Malini. Pria itu berjalan mendekati Malini, lalu merendahkan tubuhnya dan lanjut memeluknya. Setelah itu, Hudda berjalan menuju meja rias sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja. Kamar itu cukup luas, sampai mereka membutuhkan kaki beberapa langkah untuk berjalan.
Setelah Hudda masuk ke kamar mandi, Malini berdiri dari kasur dan bergegas mengambil ponsel itu. Matanya sesekali mengarah ke pintu kamar mandi sambil memainkan jari jempol di layar ponsel. Salah satu aplikasi pesan dibuka dan Malini menemukan pesan mesra dari kontak atas nama Jack. Kedua bola mata Malini melebar kaget, tidak habis pikir dengan perbuatan suaminya itu yang luar dari espektasinya selama ini.
Foto profil di kontak itu diklik Malini dan memperlihatkan foto seorang wanita yang tidak asing di matanya. Semalam ia tidak terlalu jelas melihat wajah yang bermain bibir bersama suaminya itu. Selain itu, ia tidak sanggup melihat mereka.
"Bukankah dia salah satu manajer perusahaan Mas Hudda." Ingatannya berputar ke beberapa bulan lalu, melihat selingkuhan suaminya itu berbicara bersama karyawan lain di lobi kantor saat ia mengantar berkas kerja Hudda yang tertinggal di rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
selama 10 thn Malini tdk pernah kasar... seharusnya Huda mikir dong ada apa ?
2023-11-24
2