🌿🌿🌿
Tangan Malini bergegas meletakkan ponsel Hudda kembali ke atas meja setelah mendengar suara shower air berhenti dari kamar mandi. Lalu, Malini berlari menuju kasur, duduk seperti posisi awal sambil melipat pakaian. Hudda keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk yang hanya menutupi bagian pinggang ke lutut.
"Cepat sekali. Mandi yang bersih, Mas," ucap Malini untuk menciptakan suasana yang netral.
"Aku tidak sabar." Salah satu mata Hudda berkedip menggoda.
Padahal, tujuan Hudda keluar untuk mengambil ponsel dan membawanya ke kamar mandi. Hudda takut Malini memeriksa ponselnya. Kedua tangan Malini meremas kuat dan memukul kasur untuk melampiaskan amarahnya setelah Hudda kembali ke kamar mandi. Dadanya terasa sesak menahan emosional dan kemarahan itu.
Tidak berselang lama, ponselnya berdering, Mella, sang kakak ipar menghubunginya.
"Lin, kakak di luar. Tolong buka pintunya." Suaranya terdengar sedang menangis melalui sambungan telepon itu.
Sambungan telepon diputuskan dan Malini bergerak keluar kamar. Kakinya bergegas berjalan menuruni tangga dan mendekati pintu. Lalu, lanjut membuka pintu utama rumah. Tubuhnya langsung disambut oleh pelukan Mella yang sedang menangis sedih.
"Kenapa Mbak? Semua baik-baik saja?" tanya Malini, sedikit cemas melihat isak tangisnya.
"Mbak kembali bertengkar dengan Mas Adam. Dia tidak bisa melupakan wanita itu, dia mengulangi perbuatannya. Mbak benar-benar tidak bisa lagi hidup bersamanya," jelas Mella dengan air mata terus menetes.
"Chika mana?" tanya Malini sambil mengarahkan mata ke mobil Mella yang ada di halaman rumah.
"Mas Adam tidak membiarkan Mbak membawanya. Kasihan Chika. Jika Mbak tetap bertahan dengannya, Mbak merasa sedang dijajah oleh emosional Mbak sendiri. Bisa-bisa Mbak gila di sana." Tangis Mella tiada henti.
Malini kembali merasa hatinya terasa sakit. Apa yang dialami Mella saat ini juga terjadi padanya. Selama ini ia hanya mendengar dan menampung cerita Mella mengenai perselingkuhan suami kakak iparnya itu. Tapi, sekarang ia sudah merasakannya.
"Hudda mana?" tanya Mella sambil mengarahkan pandangan masuk ke dalam rumah.
Pertanyaannya Mella tidak berbalas. Malini mengajaknya masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Lalu, ia mengambilkan segelas air putih dari dapur untuk Mella. Setelah itu, ia duduk disamping Mella.
Hudda keluar kamar mencari istrinya yang tidak dilihat setelah keluar dari kamar mandi. Dari tangga ia melihat kakaknya dan istrinya itu duduk di ruang tamu dengan posisi membelakangi keberadaannya. Bibir Hudda yang sempat tersenyum memudar setelah melihat Mella menangis.
"Kenapa, Mbak?" tanya Hudda, bingung.
"Mbak Mella meninggalkan rumah Mas Adam. Selama ini Mas Adam selingkuh. Mbak Mella sering memaafkannya, tapi Mas Adam kembali mengulangi kesalahannya," terang Malini kepada Hudda dan menatap Hudda dalam karena ingin melihat responnya.
Hudda menurunkan pandangan dan diam seribu bahasa. Mengapa tidak? Dirinya juga pelaku perselingkuhan itu.
"Mbak beristirahat dulu di kamar. Besok kita urus masalah ini." Malini membantu Mella berdiri dan mengajaknya ke kamar tamu.
Setelah keluar dari kamar tamu, Malini melihat Hudda duduk di sofa dalam keadaan merenung dengan kedua mata mengarah ke vas bunga yang ada di atas meja. Malini menatap dingin Hudda sebelum pria itu sadar dengan keberadaannya. Senyuman di bibir Malini muncul saat melihat Hudda mengarahkan pandangan ke arahnya dengan bibir juga tersenyum.
"Mas pasti kepikiran dengan Mbak Mella. Ayo! Mas juga harus beristirahat," ajak Malini sambil berjalan mendekatinya dan mengajaknya ke atas.
Malini membantu Hudda membaringkan tubuh. Mendengar kabar perselingkuhan yang menyakiti kakaknya, Hudda tampak diam dalam beban pikiran yang membuatnya selalu diam dan tidak banyak bicara.
Malini menarik selimut untuknya dan ia ikut berbaring di sampingnya. Tangannya memeluk tubuh Hudda yang berbaring dengan posisi menyamping membelakangi tubuhnya. Tingkah suaminya itu sudah terbaca olehnya. Pria itu tidak bisa tidur, matanya masih terbuka lebar menatap lantai sambil berpikir sesuatu di benaknya. Malini memperhatikan wajah Hudda dari cermin rias yang menangkap pantulan tubuh mereka, terutama Hudda yang ada di hadapannya. Pria itu tidak sadar kalau ia sedang diperhatikan.
"Mas sudah tidur?" tanya Malini dengan suara manja.
Hudda sontak memejamkan mata dan diam, ia berpura-pura tidur. Padahal, Malini melihat kebenarannya dari cermin.
"Jika kamu yang melakukan itu padaku, aku tidak akan memaafkan mu, Mas. Terima kasih sudah menjadi suami yang baik selama ini," ucap Malini, sengaja ingin menyinggung perasaan Hudda dan membuat pria itu sadar dengan perselingkuhannya.
Malini memejamkan mata, berpura-pura tidur seperti yang dilakukan Hudda. Beberapa menit suasana kamar sunyi, sampai akhirnya Hudda duduk karena mengira Malini sudah tidur. Tangan kanan Hudda membelai lembut rambut sang istri. Lalu, ia berdiri dari tempat tidur. Setelah itu, ia keluar dari kamar sambil menggenggam ponsel yang diambil dari laci meja.
Setelah Hudda keluar kamar, Malini beralih duduk. Ia ikut keluar kamar karena penasaran apa yang dilakukan suaminya. Kedua indra pendengarannya mendengar suara Hudda dari ruangan kerja yang bersebelahan dengan kamar mereka. Malini mendorong pintu itu dan menciptakan sedikit celah baginya untuk menguping.
"Iya. Aku akan datang tepat waktu. Oh iya, aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu. Akan tetapi, akan aku katakan besok saja.Tidurlah, jangan begadang." Hudda berbicara dengan ponsel menempel di telinga kanannya.
Tangan Malini mencengkram erat setelah mendengar perhatian Hudda kepada wanita itu. Lagi dan lagi, ia menahan emosinya. Setelah mendengar pembicaraan suaminya dan wanita selingkuhannya itu berakhir, ia berlari masuk ke kamar dan berbaring seperti posisi semula. Hudda berhenti berjalan setelah beberapa langkah memasuki kamar, ia memperhatikan wajah sang istri dengan raut wajah kesal pada dirinya sendiri.
***
"Aku tidak sempat makan. Aku bawa bekal saja. Ada urusan mendadak di kantor," ujar Hudda sambil berjalan masuk ke dapur.
Tangan Malini berhenti membalikkan piring yang sebelumnya tertelungkup di atas meja makan di bagian tempat duduk di mana Hudda seharusnya duduk. Perkataan Hudda membuatnya ingat pembicaraan antara suaminya itu dan wanita selingkuhannya semalam.
"Pa, antar kami ke sekolah pagi ini," ujar Jian.
"Papa tidak bisa, Nak. Papa ada meeting pagi ini. Mama saja yang antar kalian. Kalau begitu, Papa pergi," pamit Hudda.
CUPP!
CUPP!
Hudda mengecup kedua pipi anak kembarnya itu. Lalu, ia berjalan mendekati Malini dan ingin mengecupnya juga. Akan tetapi, Malini menghindarinya dengan bertindak mengambil piring yang berisi nasi lengkap dengan lauk yang sudah disiapkan di atas meja untuk diantar kepada Mella yang berada di kamar tamu. Hudda mengikuti berjalan keluar dapur dan muncul di hadapan istrinya itu setelah mereka berada di ruang tamu. Kemunculan tubuhnya membuat Malini berhenti berjalan.
"Apa lagi? Sebaiknya kamu segera ke kantor. Bukankah ada pertemuan penting." Bibir Malini tersenyum untuk menyembunyikan emosi yang selalu bersemi setiap kali lihat suaminya itu.
"Kamu marah?" tanya Hudda.
"Untuk apa? Pergilah!" Malini mengecup pipi Hudda dan mengarahkan pandangan ke pintu rumah yang terbuka lebar.
Ini kelihatan konyol baginya. Malini merasa dirinya tampak bodoh jika dipikirkan. Ia masih diam setelah tahu suaminya itu sedang menduakannya. Akan tetapi, Malini tidak ingin berseteru keras mengenai perselingkuhan itu sampai berdampak buruk terhadap orang-orang terdekatnya, terutama kedua anaknya.
Hudda merasakan sikap Malini berubah, tetapi sikap lembut Malini yang masih terlihat membuat pemikirannya tentang perubahan itu tertepis jauh. Hudda berjalan ke arah pintu dengan posisi membelakangi Malini yang sudah meneteskan air mata karena rasa sakit yang dirasakan di hatinya. Senyuman di bibirnya sirna, memunculkan wajah prihatin terhadap dirinya sendiri.
"Kamu harus kuat, Lini," tegarnya.
Malini menghapus air mata yang sempat jatuh dan lanjut berjalan ke kamar tamu. Setelah membuka pintu, ia melihat Mella duduk memperhatikan foto putrinya yang bernama Chika.
"Makan dulu, Mbak. Setelah ini kita ke rumah Mas Adam untuk menjemput Chika. Aku juga ingin mengantarkan anak-anak ke sekolah," ujar Malini sambil berjalan masuk ke kamar itu dan meletakkan piring ke atas meja.
“Kamu beruntung mendapatkan Hudda, Lini. Dia pria yang baik.” Melle meletakkan foto di tangannya di sampingnya dan mengambil piring nasi itu.
Perkataan Mella membuat Malini merasa kasihan pada dirinya sendiri. Kenyataan, Hudda sama seperti Adam yang mendua. Bibirnya hanya bisa tersenyum untuk menutupi rasa sedih dari Mella, masalah itu cukup ditanggung olehnya sendiri tanpa membuat semua orang yang mengagumi sikap baik Hudda selama ini tahu kalau pria itu adalah pria biasa yang bisa tergoda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Naa
/Grin//Grin//Grin//Grin//Grin//Grin/
2024-01-09
1
Naa
/Grin//Grin//Grin//Grin//Grin//Grin/
2024-01-08
1
jas
itu lah laki" gc cukup punya istri 1 aja ..bikin emosi tinggi
2023-12-29
1