🌿🌿🌿
Yuna duduk diam menatap Tanum dengan raut wajah kesal. Ibunya itu baru saja memintanya untuk meninggalkan Hudda. Namun, perkataan Tanum tidak diterima sedikitpun, ia menganggapnya Tanum bak angin lalu saja, meskipun ibunya itu sudah berbicara banyak dalam keseriusan.
"Sebagai sesama wanita, kamu harus mengerti perasaan Malini. Bagaimana kalau itu terjadi padamu?" tanya Tanum dengan tenang dan sengaja menahan emosi agar Yuna juga meresponnya dengan baik.
"Sayangnya itu tidak terjadi padaku? Aku bukan wanita lemah yang bisa diselingkuhi. Jika dia kuat, maka dia sudah meninggalkan suaminya itu. Siapa juga yang suruh suaminya tertarik padaku?" Yuna bertingkah seolah dirinya lebih unggul daripada Malini.
"Kamu menggodanya," timpal Tanum, mulai mengeluarkan emosi. "Kamu seperti magnet yang sudah menariknya padamu. Jika kamu menjaga jarak dari awal, dia tidak akan tertarik. Ibu melihat Hudda pria yang baik. Tapi, karena kamu, dia menjadi pria yang tidak berpendirian. Ibu ingatkan sekali lagi, putuskan hubunganmu dengannya dan jangan membebankan ya dengan anak itu karena dia anak suamimu, bukan Hudda," tekan Tanum.
Yuna mengalihkan mata menatap Tanum setelah mendengar ibunya berkata mengenai anak yang ada di kandungannya. Ia terkejut ibunya tahu mengenai identitas asli anaknya itu.
"Dari mana Ibu tau kalau anak yang ada di kandungku adalah anak Hadi?" tanya Yuna, penasaran.
Tanum belum menceritakan identitasnya sebagai pembantu di rumah Malini dan Hudda kepada Yuna. Sejenak ia menatap wajah Yuna yang terusik dan tidak tenang setelah tahu ia mengetahui semua itu. Tanum memanfaatkannya untuk membuat Yuna tidak nyaman dan merasa terusik dengan terus merahasiakan profesinya itu.
"Kamu tidak perlu tahu. Yang perlu kamu tahu, Ibu tidak akan membiarkan kamu menghancurkan hubungan siapapun. Kamu juga perlu ingat dan yakin kalau karma itu berlalu." Tanum berdiri setelah menyelesaikan perkataannya dan beranjak meninggalkan kafe dnegan raut wajah marah.
Kehadiran Tanum membuat Yuna benar terusik, perasaan tidak tenang menyelimuti hati dan pikirannya karena takut Tanum menjadi penghalang yang menyulitkannya untuk mendapatkan Hudda.
***
"Selamat pagi, Sayang," ucap Agung sambil meletakkan sebuket bunga mawar merah ke hadapan Malini yang sedang memeriksa beberapa berkas di mejanya.
Mata Malini menatap buket bunga itu. Pikirannya terbawa ke kejadian semalam. Sekarang perasaannya dilanda kebingungan untuk menghadapi pria itu. Perlahan mata Malini menjalar dari bunga di tangan Agung dan berakhir di wajah pria berambut tertata rapi dengan gaya belah dua itu, di sebelah kanan volume rambutnya lebih banyak dari kiri.
"Pak Agung." Malini berdiri. "Sebenarnya aku ingin me jelaskan sesuatu. Ada kesalahpahaman antara kita. Sebenarnya bukan aku yang membalas pesan itu, ponselku mungkin disadap. Maafkan aku atas kejadian itu," kata Malini, menunjukkan raut wajah merasa bersalah.
"Benarkah? Aku juga merasa begitu. Tidak perlu dipikirkan. Ini bunga untukmu sebagai hadiah karena kamu sudah membantuku memenangkan proyek kemarin. Malam ini ada pesta kecil-kecilan di hotel Victoria, kamu bisa datang, kan?" tanya Agung, menatapnya dengan senyuman harap.
"Mungkin. Terima kasih," ucap Malini dan mengambil buket bunga itu dari tangan Agung.
Perasaan kacau yang dari semalam menghantuinya akhirnya teratasi dengan mudah. Malini memperhatikan kepergian Agung dari ruangan itu, barulah ia duduk dan menikmati kelegaan itu dengan menghela napas.
***
Notifikasi pesan masuk ke ponsel Hudda. Seseorang yang tidak dikenal mengirim pesan foto padanya ketika sedang berada di ruangan rapat. Foto tersebut menampakkan wujud Malini tersenyum menerima buket bunga dari Agung.
Ekspresi serius saat berucap di hadapan semua orang menjadi pudar, berganti menjadi marah dan emosi yang ditahan sampai gigi geramnya beradu kuat menatap foto itu.
"Anisa. Handel rapat ini. Ada urusan penting yang harus saya urus." Hudda berbicara dengan suara kecil kepada Anisa yang duduk di sampingnya.
"Baik, Pak." Anisa menganggukkan kepala dan berdiri.
Hudda bergegas keluar dari ruangan itu bersama gelagat tidak sabar ingin menemui Malini. Setelah keluar dari ruangan rapat, ia berpapasan dengan Rangga di lobi. Saat itu Rangga baru masuk bersama beberapa berkas yang baru difotokopi berada dalam pelukannya. Hudda mengabaikannya karena fokus utamanya saat ini adalah Malini. Namun, Rangga menjadikannya sebagai titik fokusnya setelah melihat ekspresi kemarahan yang membara di wajah bosnya itu. Gelagat dan ekspresi Hudda menarik rasa penasarannya dan bergegas meletakkan semua berkas-berkas tersebut ke mejanya dan lanjut keluar kantor untuk mengikuti Hudda menggunakan motor besarnya secara diam-diam.
Beberapa menit dihabiskan di perjalanan sampai akhirnya tiba juga di perusahaan Agung. Setelah keluar dari mobil, Hudda berdiri di samping mobil dan menghubungi nomor Malini, tapi istrinya itu tidak menjawab sambungan teleponnya karena berada di toilet dan meninggalkan ponselnya di atas meja kerja. Awalnya Hudda tidak berniat untuk masuk ke perusahaan itu, tapi karena tidak bisa menahan diri ingin bertemu Malini, ia berlanjut masuk.
"Di mana ruangan Malini Lestari?" tanya Hudda kepada salah seorang karyawan perempuan yang dikenalnya karena sering menemani Agung saat ada pertemuan bisnis.
"Sekretaris Pak Agung? Ruangannya ada di sebelah ruangan Pak Agung, lantai sepuluh," jawab wanita itu.
Hudda tidak ingin basa-basi dengan perkataan dan tingkahnya, kakinya lanjut berjalan menuju lift yang akan mengantarnya ke lantai sepuluh. Beberapa mata memperhatikannya dengan raut wajah bingung, mereka juga mulai berasumsi buruk mengenai Malini sebagai wanita Agung karena diterima bekerja dalam waktu singkat sebagai sekretaris pria yang sering memacari sekretarisnya itu. Mereka tidak tahu kalau Malini adalah istri dari Hudda Prasetya, seorang pebisnis yang lumayan terkenal di kota itu.
Setelah sampai di lantai sepuluh, Hudda melihat pintu beralamatkan sekretaris yang tertempel di depan pintu. Hudda menerobos masuk ke ruangan itu membuat Malini sontak kaget mendengar suara pintu dibuka dengan tenaga kuat.
"Mas Hudda," lirih Malini, menatap Hudda dengan raut wajah kaget dan bingung.
Hudda mengalihkan mata ke buket bunga yang ada di atas meja. Ia berjalan mendekati meja kerja Malini dan mengambil buket bunga tersebut dan membuangnya ke dalam tong sampah yang ada di samping meja.
"Mas kenapa membuangnya?" Malini mengambilnya dan meletakkannya kembali ke atas meja.
"Hari ini kamu berhenti bekerja. Sekarang, pulang." Hudda menggenggam pergelangan tangannya dan menariknya menuju pintu.
"Tidak!" Malini menghempaskan tangannya.
"Kamu membantah perkataanku? Apa yang kamu cari di sini? Aku punya perusahaan yang bisa kamu jadikan tempat kerja. Ayo." Hudda kembali mengenggam pergelangan tangan Malini dan mengambil tas istrinya itu yang ada di atas meja.
Kemudian, Hudda menyeretnya keluar dari ruangan itu.
"Tunggu!" seru Agung, menahan mereka.
Hudda berhenti melangkah dan memutar badan ke belakang, melihat wujud Agung berdiri dengan tangan masih menegang daun pintu ruangannya.
"Ini perusahaan, tempat bekerja, bukan rumahmu yang bisa kamu kuasai dengan semaumu. Di sini dia sekretarisku. Sebagai Bos, aku tidak bisa melihat sekretaris ku di perlakukan dengan paksa begini," kata Agung sambil berjalan mendekati mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
semangat sll thor...💪🏻🥰
2023-12-09
1