NovelToon NovelToon

Dilema Dalam Diam

Prolog

...'Tidak semua diam menafsirkan kelemahan dan kebodohan. Orang yang cerdas dan bijak juga butuh diam untuk mengambil keputusan dalam menyikapi masalah yang menepi di hidup mereka. Begitupun sebaliknya.'...

...~ Malini Lestari...

🌿🌿🌿

Gemuruh petir di malam hari lebih menakutkan dari apa pun, menciptakan selipan cahaya yang mengagetkan tubuh setelah mata mendapatinya. Hujan lebat mengiringi angin mengguncang para pohon dan menciptakan suara yang mengusik indra pendengaran. Dalam balutan dress basah, sepasang kaki wanita usia 30 tahun tertatih dalam perasaan sedih dan kecewa. Air matanya telah bersatu dengan air hujan yang membasahi tubuhnya sejak tadi, dari hotel Texas, tempat di mana kedua bola mata kecil yang indah itu membongkar perselingkuhan suami yang menikahinya sepuluh tahun lalu.

Hudda Prasetya, pria bertubuh jangkung, bermata kecil, dan pemilih kulit sawo matang itu menduakannya. Pria itu orang yang paling dipercayai olehnya melebihi dirinya sendiri. Hujan membantunya menemukan kebenaran itu. Setelah berteduh di kafe yang ada di depan hotel Texas, matanya menemukan wujud Hudda merangkul pinggang seorang wanita berpakaian minim, mereka berjalan masuk ke dalam hotel. Memorinya kuat mengingat tingkah Hudda dan wanita itu setelah mengikuti mereka masuk ke dalam hotel. Matanya melihat bibir mereka saling berburu dari celah pintu yang sedikit di buka.

"Tidak aku sangka kamu begitu kejam, Mas," tangisnya isak tersedu-sedu.

Sepasang kaki yang terpasang sepatu hitam pria keluar dari mobil yang berhenti di belakang tubuh wanita itu. Pria itu membuka payung berwarna biru muda dan berjalan menghampiri wanita itu untuk meneduhi tubuhnya dari serangan tetesan air hujan yang jatuh. Sadar akan hal itu, wanita itu berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.

"Kenapa hujan-hujanan? Kamu baik-baik saja, Sayang?" Pemilik tubuh yang berdiri di belakangnya itu adalah Hudda.

Pria itu menatapnya bingung.

Pandangan mata wanita itu melewati tubuh Hudda, pandangannya tertuju ke arah mobil suaminya itu yang tidak di sadarinya sudah berhenti di belakangnya. Cahaya lampu mobil menyoroti matanya saat tubuhnya melangkah satu langkah ke samping, menghindar dari lindungan tubuh Hudda. Mesin mobil itu masih dalam keadaan menyalah.

"Sayang ...!" panggil Hudda sambil menyentuh bahu kiri wanita itu.

Pandangan wanita itu mulai buram, wajah Hudda tidak jelas lagi di pelupuk matanya sampai akhirnya kedua mata itu tertutup dan tubuh tumbang.

Hudda membuang payung di tangannya, ia merelakan tubuhnya basah demi membopong tubuh istrinya itu masuk ke dalam mobil.

***

"Malini ... Lini ...." Bibir Hudda berucap memanggil Malini yang terbaring di atas kasur dari sebuah kamar bernuansa modern bercat putih berpadu hitam.

Malini Lestari, itu nama lengkap wanita itu yang pernah disebut Hudda bersamaan dengan kalimat suci pernikahan mereka.

Kedua indera pendengaran Malini menangkap suara Huda secara samar, tapi matanya tidak di buka ketika memori di benaknya masih mengingat penglihatan buruk Hudda bersama wanita itu semalam. Untuk sesaat, melihat wajah Hudda membuat perasaannya akan tertekan dan dadanya sesak untuk bernapas.

"Tinggalkan aku sendiri. Tolong jaga Jenaka dan Jian untuk sementara." Bibir Malini berkata dengan mata masih dipejam.

Jenaka dan Jian adalah sepasang anak kembar mereka yang sudah berusia lima tahun. Lima tahun lamanya menikah, berpuluh kali konsultasi kepada dokter, sudah pernah mencoba bayi tabung dan gagal, akhirnya mereka mendapatkan anak. Pada percobaan bayi tabung ketiga, Tuhan memberikan izin bagi mereka untuk menjaga kedua anak itu.

"Kenapa? Jika ada yang mengusik mu, katakan saja," ujar Hudda, bingung memperhatikan Malini sambil mengelus lembut bahu istrinya itu.

"Tidak ada," balasnya dingin sambil menepis tangan Hudda.

Pria itu berdiri, kakinya berjalan pelan meninggalkan kamar dengan kepala menoleh ke belakang, matanya masih tertuju pada tubuh Malini. Setelah mendengar suara pintu ditutup, barulah Malini membuka matanya dan menemukan kekosongan di kamar. Air matanya berderai, membasahi bantal, mengingat kembali putaran memori di benaknya akan kejadian semalam. Selimut tebal yang menutupi sebagain tubuhnya digigit keras oleh Malini untuk menyembunyikan suara tangis karena tidak ingin Hudda ataupun kedua anaknya mendengarnya.

Lima menit kemudian, suara ketukan pintu membuat tangis itu berhenti.

"Lini, Mama dan Papa ada di sini. Jika kamu tidak bisa menemuinya, aku akan bilang sama mereka kalau kamu sakit!" Hudda berseru dari luar.

"Iya. Bilang saja aku sakit!" Malini membalas seruan Hudda.

Dahi Hudda mengerut semakin bingung dengan sikap istrinya itu. Sesaat ia diam di depan pintu sambil berpikir. Mengapa tidak? Biasanya Malini selalu ceria di rumah bagaimana pun itu masalahnya.

Malini enggan menggerakkan tubuhnya, merasa malas bertemu dengan siapa pun, termasuk kedua buah hatinya.

Hampir satu jam tubuh Malini berbaring di atas kasur. Entah apa yang terjadi di luar, ia tidak tahu lagi. Hanya menyendiri yang dibutuhkannya saat ini untuk berpikir dan mengendalikan emosi dan amarahnya. Kedatangan Hudda yang membuatnya duduk di tepi kasur. Pria itu berdiri di hadapannya dengan tangan kanan menenteng tas kerja.

"Tolong pasangkan dasiku." Hudda menyodorkan sehelai dasi berwarna hitam padanya.

"Aku lelah. Cari orang yang bisa membantumu memasangnya," balas Malini, menolak permintaan Hudda dengan nada judes seperti sebelumnya.

"Pms? Tidak. Baru Minggu kemarin kamu datang bulan. Apa yang membuatmu bersikap dingin padaku?" Pria itu duduk di samping Malini sambil meletakkan tas di samping tubuhnya dan mengarahkan pandangan Malini menghadap ke arahnya.

Raut wajahnya kesal Hudda memudar dan berubah menjadi cemas melihat ada sisa air mata di kedua sudut mata istrinya itu.

"Siapa yang menyakitimu? Aku akan memberikannya pelajaran." Kedua tangan Hudda menghapus sisa air mata yang ada di sudut pipi Malini.

"Jika aku menyebut namanya. Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Malini, ingin mencari tahu reaksi Hudda.

"Aku akan memukulnya sampai menghilang dari dunia ini. Katakan, siapa orang yang sudah mengusik mu?" Gelagat Hudda serius dan menunjukkan kalau ia belum sadar dengan perbuatannya.

"Benarkah?" tanya Malini sambil tersenyum miris.

Kepala Hudda mengangguk dan tersenyum sedikit bercanda.

Senyum miris di bibir Malini menghilang secepat kilat bersambut dengan wajah dingin. Tamparan dilancangkan Malini ke pipi Hudda sampai pria itu bereaksi kaget. Hudda membeku beberapa saat dan mengarahkan kepalanya yang sempat tertoleh oleh tamparan itu. Malini kembali menampar pipi Hudda di bagian yang sama dengan keras sampai memunculkan bekas merah.

"Aku?" tanya Hudda dengan wajah bingung dan kaget.

"Sadar, sebelum aku membuatmu sadar, Mas," ucap Malini dengan penekanan.

Malini berdiri dari kasur, berlanjut jalan keluar kamar, meninggalkan Hudda yang duduk diam merenungi tamparannya. Malini membanting pintu sampai membuat kedua mertuanya yang tengah duduk di ruang tamu kaget mendengarnya. Sepasang suami-istri berusia setengah abad itu mengarahkan pandangan ke atas, menatap Malini yang berdiri di tangga paling atas.

Sembunyikan Perasaan

🌿🌿🌿

Nitami dan Adi, kedua mertua Malini berdiri dari sofa. Mereka memperhatikan menantunya itu yang tengah berjalan menuruni tangga. Malini tersenyum ringan kepada mereka setelah sempat lupa kalau mertuanya itu ada di rumah. Malini menyalim tangan mereka dan menghampiri Jian dan Jenaka yang bermain mobil-mobilan dan boneka di lantai. Setelah itu, Malini mempersilahkan mereka kembali duduk.

Senyum selalu diperlihatkan meskipun hatinya terasa sakit. Malini seorang wanita yang tidak ingin membagi masalah ataupun kesedihan dengan orang lain. Ia hanya ingin membagi kebahagiaan saja. Senyuman di bibir Malini membuat kedua mertuanya itu sempat berpikir sesuatu terjadi di atas, tentunya di antara anak dan menantunya itu.

"Kamu baik-baik saja? Kenapa ...." Nitami menggantungkan perkataannya sambil mengarahkan pandangan ke atas, ke arah pintu kamar yang sedikit terlihat dari posisinya.

"Mas Hudda membuatku kesal. Papa dan Mama tenang saja, kami baik-baik saja. Kami tidak pernah bertengkar selama sepuluh tahun menikah. Hanya ada sedikit perdebatan saja," kata Malini dengan mengedipkan salah satu matanya setelah berbicara.

Malini mengajak kedua mertuanya itu bercanda ringan untuk menutupi permasalahan yang merisaukan hatinya. Di tengah mereka berbicara, Hudda menuruni tangga dan menghampiri mereka. Kedua bola mata Malini memperhatikan dasi Hudda yang terpasang kurang rapi di lehernya.

"Ma, Pa, aku berangkat kerja dulu." Hudda menyalami tangan mereka dan mengabaikan Malini karena tamparan tadi yang membuatnya marah.

"Tunggu! Istrimu ingin menyalami tanganmu. Jangan begitu semangat," tegur Nitami pada Hudda yang sudah berjalan beberapa langkah menuju pintu.

Hudda menoleh ke belakang, melihat Malini mengedepan tangan sambil tersenyum ringan. Demi menjaga nama baik Hudda di depan orang tuanya, Malini rela diam dan berpura-pura sedang baik-baik saja.

Hudda berjalan mendekati Malini, matanya menatap tangan yang sempat mendarat di pipinya. Hudda menatapnya dingin dan membalas jabatan tangan Malini. Setelah itu, Hudda mengecup kedua pipi anaknya dan bergegas meninggalkan rumah.

"Selama sepuluh tahun menikah, Mama tidak pernah melihat Hudda sedingin ini. Kalian bertengkar?" tanya Nitami yang sedari tadi memiliki firasat semua tidak baik-baik saja.

"Tidak. Mungkin moodnya pagi ini tidak baik karena pekerjaan. Karena Mama dan Papa sudah jauh-jauh ke sini, kalian tidak bisa pulang dengan tangan kosong. Ma, aku akan membuatkan kue kesukaan kalian. Tapi, sekarang aku masak dulu untuk kalian. Ayo!" Malini mengajak Nitami ke dapur.

Lalu, kedua anak yang saat ini main di ruang tamu ditemani oleh Adi. Pria paruh baya itu mengawasi mereka sambil menonton televisi.

***

Beberapa hari terakhir cuaca tidak bagus, setiap malam hujan berterusan sampai berita banjir memenuhi televisi dan media sosial. Mata Malini tidak beralih dari jam dinding yang terus berputar dan kini menunjukkan pukul 23. 00 malam. Sesekali matanya beralih mengarah ke pintu utama rumah yang tertutup, menunggu Hudda yang tidak kunjung pulang. Wajahnya memperlihatkan kecemasan dan kegelisahan mengingat suaminya itu sedang menduakannya.

"Mungkin, wanita itu alasan Mas Hudda selalu terlambat pulang beberapa hari terakhir." Malini berasumsi.

Beberapa menit berjalan mondar mandir di tengah ruang tamu, Malini beralih duduk di sofa dan tetap lanjut memandangi pintu rumah. Beberapa menit kemudian, indera pendengarannya mendengar suara mesin mobil yang semakin jelas dan tampaknya sudah berhenti di depan rumah.

Malini berdiri, bangkit dari sofa, dan berjalan menuju pintu. Setelah pintu rumah dibuka, Malini melihat tangan Hudda baru terangkat ingin mengetuk. Tatapan pria itu tajam, masih sama seperti pagi tadi, marah karena ditampar.

"Dari mana?" Nada suara Malini dingin saat bertanya.

"Kamu tidak melihat? Lini, tolong jangan berdebat denganku. Aku lelah." Lanjut, Hudda berjalan melewati tubuhnya.

Malini menutup pintu dan berjalan. mengikuti Hudda berjalan menaiki tangga menuju kamar. Malini mengendalikan emosinya untuk tidak membuat Hudda marah. Seharian ini Malini sudah berpikir panjang dan mendapatkan cara sendiri untuk menyikapi masalah perselingkuhan Hudda dan wanita yang dilihatnya tanpa kekerasan.

Setelah masuk ke kamar, Hudda meletakkan tas kerjanya ke atas meja dan melepaskan jas di tubuhnya. Malini berdiri di hadapannya, membantu suaminya itu melepaskan kancing baju kemejanya dan memperlihatkan wajah tersenyum manis. Padahal, hatinya sangatlah sakit seperti ditikam oleh benda tajam.

"Mas lelah? Mandi dulu, aku akan siapkan makan malam," ucap Malini, ramah.

Raut wajah Hudda berubah bingung. Mengapa tidak? Pagi ini Malini terhanyut dalam emosional sampai menampar pipinya. Lalu, ia malah melihat Malini bersikap lembut padanya.

"Pagi ini, kenapa menamparku?" tanya Hudda masih bernada dingin.

"Prank ... bagaimana? Ternyata kamu benar marah. Apa sakit?" Malini membelai lembut pipi Hudda, menggodanya.

Malini melepaskan kemeja dari tubuh Hudda, meninggalkan celana polo hitam saja. Lalu, Malini menggenggam erat kemeja kotor Hudda erat sambil berjalan menuju akar mandi untuk meletakkan pakaian kotor itu ke keranjang. Hudda tidak melihat sikap Malini karena berjalan membelakanginya. Jika ia mengikuti emosional dan kemarahannya, Malini sudah meninggalkan rumah itu.

"Jangan begitu lagi. Baru kali ini aku melihatmu semarah itu dan bertingkah kasar. Selama sepuluh tahun kita menikah, kita tidak pernah bertengkar sampai bersikap kasar. Kalau begitu, aku mandi dulu," ucap Hudda tersenyum.

Hudda berjalan mendekati Malini, ingin mengecup bibir istrinya itu. Segera Malini memalingkan wajah untuk menghindar dari kecupan suaminya itu. Agar tidak terlihat sengaja menghindar, Malini berpura-pura tidak tahu dan berjalan mendekati kasur untuk melihat beberapa kain bersih yang ada di sana.

Meskipun begitu, Hudda tetap merasa istrinya itu sedang menghindarinya. Malini diam sesaat memperhatikan Hudda yang berdiri membeku sejenak memikirkan sikapnya.

"Mandi dulu," ucap Malini untuk tidak membuat Hudda curiga.

Hudda tersenyum dan menepis pikiran mengenai sikap menghindar Malini. Pria itu berjalan mendekati Malini, lalu merendahkan tubuhnya dan lanjut memeluknya. Setelah itu, Hudda berjalan menuju meja rias sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja. Kamar itu cukup luas, sampai mereka membutuhkan kaki beberapa langkah untuk berjalan.

Setelah Hudda masuk ke kamar mandi, Malini berdiri dari kasur dan bergegas mengambil ponsel itu. Matanya sesekali mengarah ke pintu kamar mandi sambil memainkan jari jempol di layar ponsel. Salah satu aplikasi pesan dibuka dan Malini menemukan pesan mesra dari kontak atas nama Jack. Kedua bola mata Malini melebar kaget, tidak habis pikir dengan perbuatan suaminya itu yang luar dari espektasinya selama ini.

Foto profil di kontak itu diklik Malini dan memperlihatkan foto seorang wanita yang tidak asing di matanya. Semalam ia tidak terlalu jelas melihat wajah yang bermain bibir bersama suaminya itu. Selain itu, ia tidak sanggup melihat mereka.

"Bukankah dia salah satu manajer perusahaan Mas Hudda." Ingatannya berputar ke beberapa bulan lalu, melihat selingkuhan suaminya itu berbicara bersama karyawan lain di lobi kantor saat ia mengantar berkas kerja Hudda yang tertinggal di rumah.

Nasib Yang Sama

🌿🌿🌿

Tangan Malini bergegas meletakkan ponsel Hudda kembali ke atas meja setelah mendengar suara shower air berhenti dari kamar mandi. Lalu, Malini  berlari menuju kasur, duduk seperti posisi awal sambil melipat pakaian. Hudda keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk yang hanya menutupi bagian pinggang ke lutut.

"Cepat sekali. Mandi yang bersih, Mas," ucap Malini untuk menciptakan suasana yang netral.

"Aku tidak sabar." Salah satu mata Hudda berkedip menggoda.

Padahal, tujuan Hudda keluar untuk mengambil ponsel dan membawanya ke kamar mandi. Hudda takut Malini memeriksa ponselnya. Kedua tangan Malini meremas kuat dan memukul kasur untuk melampiaskan amarahnya setelah Hudda kembali ke kamar mandi. Dadanya terasa sesak menahan emosional dan kemarahan itu.

Tidak berselang lama, ponselnya berdering, Mella, sang kakak ipar menghubunginya.

"Lin, kakak di luar. Tolong buka pintunya." Suaranya terdengar sedang menangis melalui sambungan telepon itu.

Sambungan telepon diputuskan dan Malini bergerak keluar kamar. Kakinya bergegas berjalan menuruni tangga dan mendekati pintu. Lalu,  lanjut membuka pintu utama rumah. Tubuhnya langsung disambut oleh pelukan Mella yang sedang menangis sedih.

"Kenapa Mbak? Semua baik-baik saja?" tanya Malini, sedikit cemas melihat isak tangisnya.

"Mbak kembali bertengkar dengan Mas Adam. Dia tidak bisa melupakan wanita itu, dia mengulangi perbuatannya. Mbak benar-benar tidak bisa lagi hidup bersamanya," jelas Mella dengan air mata terus menetes.

"Chika mana?" tanya Malini sambil mengarahkan mata ke mobil Mella yang ada di halaman rumah.

"Mas Adam tidak membiarkan Mbak membawanya. Kasihan Chika. Jika Mbak tetap bertahan dengannya, Mbak merasa sedang dijajah oleh emosional Mbak sendiri. Bisa-bisa Mbak gila di sana." Tangis Mella tiada henti.

Malini kembali merasa hatinya terasa sakit. Apa yang dialami Mella saat ini juga terjadi padanya. Selama ini ia hanya mendengar dan menampung cerita Mella mengenai perselingkuhan suami kakak iparnya itu. Tapi, sekarang ia sudah merasakannya.

"Hudda mana?" tanya Mella sambil mengarahkan pandangan masuk ke dalam rumah.

Pertanyaannya Mella tidak berbalas. Malini mengajaknya masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Lalu, ia mengambilkan segelas air putih dari dapur untuk Mella. Setelah itu, ia duduk disamping Mella. 

Hudda keluar kamar mencari istrinya yang tidak dilihat setelah keluar dari kamar mandi. Dari tangga ia melihat kakaknya dan istrinya itu duduk di ruang tamu dengan posisi membelakangi keberadaannya. Bibir Hudda yang sempat tersenyum memudar setelah melihat Mella menangis.

"Kenapa, Mbak?" tanya Hudda, bingung.

"Mbak Mella meninggalkan rumah Mas Adam. Selama ini Mas Adam selingkuh. Mbak Mella sering memaafkannya, tapi Mas Adam kembali mengulangi kesalahannya," terang Malini kepada Hudda dan menatap Hudda dalam karena ingin melihat responnya.

Hudda menurunkan pandangan dan diam seribu bahasa. Mengapa tidak? Dirinya juga pelaku perselingkuhan itu.

"Mbak beristirahat dulu di kamar. Besok kita urus masalah ini." Malini membantu Mella berdiri dan mengajaknya ke kamar tamu.

Setelah keluar dari kamar tamu, Malini melihat Hudda duduk di sofa dalam keadaan merenung dengan kedua mata mengarah ke vas bunga yang ada di atas meja. Malini menatap dingin Hudda sebelum pria itu sadar dengan keberadaannya. Senyuman di bibir Malini muncul saat melihat Hudda mengarahkan pandangan ke arahnya dengan bibir juga tersenyum.

"Mas pasti kepikiran dengan Mbak Mella. Ayo! Mas juga harus beristirahat," ajak Malini sambil berjalan mendekatinya dan mengajaknya ke atas.

Malini membantu Hudda membaringkan tubuh. Mendengar kabar perselingkuhan yang menyakiti kakaknya, Hudda tampak diam dalam beban pikiran yang membuatnya selalu diam dan tidak banyak bicara. 

Malini menarik selimut untuknya dan ia ikut berbaring di sampingnya. Tangannya memeluk tubuh Hudda yang berbaring dengan posisi menyamping membelakangi tubuhnya. Tingkah suaminya itu sudah terbaca olehnya. Pria itu tidak bisa tidur, matanya masih terbuka lebar menatap lantai sambil berpikir sesuatu di benaknya. Malini memperhatikan wajah Hudda dari cermin rias yang menangkap pantulan tubuh mereka, terutama Hudda yang ada di hadapannya. Pria itu tidak sadar kalau ia sedang diperhatikan.

"Mas sudah tidur?" tanya Malini dengan suara manja.

Hudda sontak memejamkan mata dan diam, ia berpura-pura tidur. Padahal, Malini melihat kebenarannya dari cermin.

"Jika kamu yang melakukan itu padaku, aku tidak akan memaafkan mu, Mas. Terima kasih sudah menjadi suami yang baik selama ini," ucap Malini, sengaja ingin menyinggung perasaan Hudda dan membuat pria itu sadar dengan perselingkuhannya.

Malini memejamkan mata, berpura-pura tidur seperti yang dilakukan Hudda. Beberapa menit suasana kamar sunyi, sampai akhirnya Hudda duduk karena mengira Malini sudah tidur. Tangan kanan Hudda membelai lembut rambut sang istri. Lalu, ia berdiri dari tempat tidur. Setelah itu, ia keluar dari kamar sambil menggenggam ponsel yang diambil dari laci meja. 

Setelah Hudda keluar kamar, Malini beralih duduk. Ia ikut keluar kamar karena penasaran apa yang dilakukan suaminya. Kedua indra pendengarannya mendengar suara Hudda dari ruangan kerja yang bersebelahan dengan kamar mereka. Malini mendorong pintu itu dan menciptakan sedikit celah baginya untuk menguping. 

"Iya. Aku akan datang tepat waktu. Oh iya, aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu. Akan tetapi, akan aku katakan besok saja.Tidurlah, jangan begadang." Hudda berbicara dengan ponsel menempel di telinga kanannya.

Tangan Malini mencengkram erat setelah mendengar perhatian Hudda kepada wanita itu. Lagi dan lagi, ia menahan emosinya. Setelah mendengar pembicaraan suaminya dan wanita selingkuhannya itu berakhir, ia berlari masuk ke kamar dan berbaring seperti posisi semula. Hudda berhenti berjalan setelah beberapa langkah memasuki kamar, ia memperhatikan wajah sang istri dengan raut wajah kesal pada dirinya sendiri.

***

"Aku tidak sempat makan. Aku bawa bekal saja. Ada urusan mendadak di kantor," ujar Hudda sambil berjalan masuk ke dapur.

Tangan Malini berhenti membalikkan piring yang sebelumnya tertelungkup di atas meja makan di bagian tempat duduk di mana Hudda seharusnya duduk. Perkataan Hudda membuatnya ingat pembicaraan antara suaminya itu dan wanita selingkuhannya semalam. 

"Pa, antar kami ke sekolah pagi ini," ujar Jian.

"Papa tidak bisa, Nak. Papa ada meeting pagi ini. Mama saja yang antar kalian. Kalau begitu, Papa pergi," pamit Hudda.

CUPP!

CUPP!

Hudda mengecup kedua pipi anak kembarnya itu. Lalu, ia berjalan mendekati Malini dan ingin mengecupnya juga. Akan tetapi, Malini menghindarinya dengan bertindak mengambil piring yang berisi nasi lengkap dengan lauk yang sudah disiapkan di atas meja untuk diantar kepada Mella yang berada di kamar tamu. Hudda mengikuti berjalan keluar dapur dan muncul di hadapan istrinya itu setelah mereka berada di ruang tamu. Kemunculan tubuhnya membuat Malini berhenti berjalan. 

"Apa lagi? Sebaiknya kamu segera ke kantor. Bukankah ada pertemuan penting." Bibir Malini tersenyum untuk menyembunyikan emosi yang selalu bersemi setiap kali lihat suaminya itu.

"Kamu marah?" tanya Hudda.

"Untuk apa? Pergilah!" Malini mengecup pipi Hudda dan mengarahkan pandangan ke pintu rumah yang terbuka lebar.

Ini kelihatan konyol baginya. Malini merasa dirinya tampak bodoh jika dipikirkan. Ia masih diam setelah tahu suaminya itu sedang menduakannya. Akan tetapi, Malini tidak ingin berseteru keras mengenai perselingkuhan itu sampai berdampak buruk terhadap orang-orang terdekatnya, terutama kedua anaknya. 

Hudda merasakan sikap Malini berubah, tetapi sikap lembut Malini yang masih terlihat membuat pemikirannya tentang perubahan itu tertepis jauh. Hudda berjalan ke arah pintu dengan posisi membelakangi Malini yang sudah meneteskan air mata karena rasa sakit yang dirasakan di hatinya. Senyuman di bibirnya sirna, memunculkan wajah prihatin terhadap dirinya sendiri.

"Kamu harus kuat, Lini," tegarnya.

Malini menghapus air mata yang sempat jatuh dan lanjut berjalan ke kamar tamu. Setelah membuka pintu, ia melihat Mella duduk memperhatikan foto putrinya yang bernama Chika. 

"Makan dulu, Mbak. Setelah ini kita ke rumah Mas Adam untuk menjemput Chika. Aku juga ingin mengantarkan anak-anak ke sekolah," ujar Malini sambil berjalan masuk ke kamar itu dan meletakkan piring ke atas meja.

“Kamu beruntung mendapatkan Hudda, Lini. Dia pria yang baik.” Melle meletakkan foto di tangannya di sampingnya dan mengambil piring nasi itu. 

Perkataan Mella membuat Malini merasa kasihan pada dirinya sendiri. Kenyataan, Hudda sama seperti Adam yang mendua. Bibirnya hanya bisa tersenyum untuk menutupi rasa sedih dari Mella, masalah itu cukup ditanggung olehnya sendiri tanpa membuat semua orang yang mengagumi sikap baik Hudda selama ini tahu kalau pria itu adalah pria biasa yang bisa tergoda. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!