🌿🌿🌿
Yuna berdiri dari tepi kasur dan menghampiri Hudda yang baru masuk. Setelah kembali ke kamar itu, pelayan yang sebelumnya melayani Yuna sudah pergi dari sana, meninggalkan suasana tegang pada Yuna.
"Apa yang dikatakan Lini? Dia marah?" tanya Yuna amat penasaran bersama ekspresi cemas.
"Sepertinya di–," terpotong karena mendengar suara pintu kamar di buka.
Mereka mengarahkan mata ke arah pintu. Malini masuk dengan senyuman dan berjalan mendekatinya mereka, berdiri tepat di hadapan mereka. Lalu, Malini memperhatikan setiap sisi kamar wajah yang terus tersenyum. Kemudian, ia berjalan mendekat kasur, duduk di tepi kasur yang dipenuhi oleh kelopak bunga mawar merah. Dekorasi kamar itu seperti kamar hotel untuk pasangan bulan madu.
Perlahan Malini menaruh tas yang ada di tangannya ke atas meja. Setelah itu, ia melucuti pakaiannya sendiri, meninggalkan tanktop dan celana pendek hingga paha. Tingkahnya diperhatikan Yuna dan Hudda dengan perasaan bingung. Mereka tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan wanita itu.
"Ternyata suamiku begitu romantis. Kamu menyiapkan semua ini untukku? Terima kasih Yuna, kamu membantunya menyiapkan ini semua," ucap Malini. "Ayo! Aku tahu kalau kamu tidak sabar untuk melakukannya, kan? Oh iya, Yuna, kamu bisa kembali ke kamarmu, kan?" tanya Malini sambil mengarahkan mata ke pintu kamar yang terbuka lebar.
Yuna langsung mengarahkan mata kepada Hudda, raut wajahnya tampak menahan emosi. Hudda memainkan mata, menyuruhnya segera keluar.
"Iya. Selamat menikmati," kata Yuna dan berjalan menuju pintu.
"Tunggu!" tahan Malini. "Sepertinya aku tidak bisa memuaskannya sendiri," kata Malini dengan bibir manyun.
Perkataannya membuat Yuna, terutama Hudda kaget. Yuna langsung memutar tubuh ke belakang dan menatap Malini dengan raut wajah semakin bingung. Hudda berjalan mendekati Malini, ia menarik tangan istrinya itu untuk membuatnya dengan apa yang baru saja dilontarkannya.
"Maksud kamu apa?"
Raut wajah Malini berubah, senyumannya yang indah berubah menjadi tatapan tajam yang menakutkan. Malini melepaskan tangan Hudda dari tangannya dan memasang kembali pakainya. Lalu, ia mendekati tas, mengambil sesuatu berbentuk kotak rokok dari dalam tas. Setelah itu, ia menjinjing tas tersebut dan berjalan mendekati Yuna.
"Ini. Gunakan ini sebelum bermain." Malini memberikan kotak tersebut yang isinya pengaman saat berhubungan suami-istri.
Malini lanjut berjalan keluar dari kamar itu.
Sikapnya itu membuat Hudda dan Yuna mengakhiri rasa bingung yang sejak tadi membakar pikiran mereka. Mereka sudah bisa mengetahui apa yang dipikirkan Malini sejak tadi.
Hudda tidak bisa diam, ia meninggalkan kamar itu dan mengabaikan Yuna yang memanggilnya. Hudda memanggil-manggil nama sang istri sambil berjalan mengikutinya. Kaki Malini berhenti di depan kamar Anisa, memandangi Rangga dan Anisa yang menatapnya dengan raut wajah prihatin di pintu kamar.
"Sayang, aku bisa jelaskan," kata Hudda sambil memegang tangannya.
"Kamu tidak malu?" tanya Malini tanpa menoleh ke belakang.
Hudda ikut memandangi Rangga dan Anisa. Ia diam dan menarik tangan istrinya itu, mengajak Malini memasuki lift dan membawanya keluar dari hotel. Malini menarik tangannya dari Hudda, menghempaskannya secara kasar dan berjalan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan hotel. Hudda memasuki mobil Malini dan duduk di samping istrinya itu sambil memberikan penjelasan mengenai dirinya dan Yuna.
"Aku dan Yuna tidak memiliki hubungan apa pun. Yang kamu lihat tidak seperti yang kamu bayangkan," terang Hudda.
Malini hanya duduk diam tanpa menentang perkataannya, ia bertingkah santai mengemudikan mobil, bersikap seolah mengabaikan sang suami saat berbicara. Tingkahnya itu membuat Hudda kesal. Namun, Hudda berusaha menahan emosi dengan segala kekesalannya.
"Kamu percaya, kan? Aku … aku tidak mungkin menduakan mu," kata Hudda.
"Terserah, Mas. Kamu mau bersamanya, bersama wanita lain, aku tidak peduli. Tapi, kamu sudah melanggar pandanganku. Kamu sudah melanggar janjimu. Jika bukan karena anak, aku sudah mengajukan gugatan perceraian karena aku tidak bisa hidup bersama pria sepertimu," kata Malini.
"Aku ti–," perkataan Hudda terpotong.
"Mengakulah!" Malini menginjak rem secara mendadak. "Jangan pikir aku wanita bodoh," timpal Malini dengan emosi yang terlihat.
"Iya. Maafkan aku. Aku melakukan kesalahan. Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita," kata Hudda dengan wajah penyesalan terukir di wajahnya.
"Semudah itu? Minta maaf dan memperbaikinya. Hati ini sakit, Mas. Saat pertama kali aku melihatmu bersamanya bermain bibir di hotel, dada ini rasanya sesak sampai sulit untuk bernapas. Kamu juga berbohong hanya karena dia. Kamu bilang pergi dinas ke luar kota, tapi kamu malah berpesta dengannya. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," kata Malini sambil menangis.
Hudda diam seribu bahasa dalam perasaan tak menduga istrinya sudah tahu lama. Pandangan Hudda beralih ke luar jendela dalam perasaan bersalah dan mengingat kejadian beberapa hari lalu yang dirasakan kalau sikap Malini berubah, sejak tamparan yang mendarat di pipinya.
Diamnya Hudda membuat Malini kesal. Ia kembali mengemudikan mobil, tapi dengan kecepatan kencang sampai membuat Hudda takut terjadi kecelakaan.
"Jangan gunakan emosimu saat menyetir," kata Hudda.
"Kalau kamu takut, keluar saja." Malini kembali menginjak rem secara mendadak sampai tubuh mereka bergerak maju ke depan. "Keluar!" teriak keras dan air mata kembali jatuh.
Hudda merasa tidak bisa meninggalkan sang istri sendirian karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepadanya. Ia memeluknya erat sambil meminta maaf. Malini berusaha mendorong tubuh suaminya itu sampai giginya menggigit pindah Hudda agar melepaskan pelukannya. Namun, pria itu menahan rasa sakit dan terus memaksa istri untuk memaafkannya.
"Lepas …." Tangan Malini memukul punggungnya keras dalam isak tangisnya.
"Maafkan aku," ucap Hudda, terus.
Malini mulai menyerah dengan tingkah sang suami, ia diam menangis tersedu-sedu dalam kekecewaan. Hudda melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya dengan bibir yang bergerak dan berjanji untuk meninggalkan hubungannya bersama Yuna.
"Maaf. Aku akan meninggalkannya," kata Hudda.
Ponsel berdering dari dalam tas. Malini mengambilnya dan melihat sambungan telepon masuk dari sang ibu yang tinggal di Surabaya.
"Jangan bilang sama Ibu. Dia akan kecewa. Jangan bilang sama dia," tahan Hudda dengan menggelengkan kepala dan nada suara lembut.
"Kamu tahu kalau dia akan kecewa. Lalu, kenapa kamu melakukannya? Jangan pikir hubungan kita sama seperti status hubunganmu dengan dia. Kita sudah menikah, bukan pacaran. Jika kita masih pacaran dan kamu melakukan hal seperti ini, mungkin tidak akan sesakit ini karena kamu bukan milikku. Tapi, sekarang kamu sudah mengikat dirimu denganku juga keluarga kita dalam janji kalimat suci pernikahan. Itu sebabnya aku pernah menyuruhmu berpikir sebelum siap untuk menikahiku. Seorang pria itu yang dipegang bukan hanya tanggung jawabnya, tapi perkataannya," kata Malini dengan suara penuh penekanan.
"Aku tahu. Maafkan aku," ucap Hudda, lagi.
"Cukup! Aku muak sampai trauma mendengar permintaan maafmu. Tolong diam," bentak Malini.
Hudda diam dan menundukkan pandangan setelah menatap dan melihat amarah dan emosional yang terukir di wajah sang istri. Ia mengenduskan napas dan kembali menatap Malini dengan wajah lebih tenang.
"Kamu pulang ke rumah. Tunggu aku di rumah. Jangan mengemudi terlalu kencang," pesan Hudda dan menepuk lembut bahunya.
Hudda keluar dari mobil dan memberhentikan taksi yang kebetulan lewat dengan lambaian tangannya, ia masuk ke dalam taksi itu dan menyuruh si sopir untuk mengantarkannya kembali ke hotel. Malini menangis deras dengan suara yang terdengar mengisi seluruh ruang mobil, ia mengabaikan sambungan telepon yang masuk dari ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
sdh Malini pergi aja... buat apa jg laki" seperti itu? maaf maaf nanti jg dia begitu lagi...
2023-12-09
2