🌿🌿🌿
Suara perdebatan antara Malini dan Hudda terdengar hingga ke bawah. Tanum menangkap suara mereka secara samar dan perlahan berjalan ke atas, menaiki tangga. Indera pendengarannya sengaja dipasang jelas untuk menangkap perdebatan mereka yang menyebut perselingkuhan berulang kali. Ingatan Tanum terbawa ke situasi pagi ini, saat di mana Malini banyak diam saat berhadapan dengan Hudda di hadapan Inara. Ia jadi paham dengan situasi itu.
"Siapa yang berselingkuh? Mengapa mereka sama-sama saling menuduh berselingkuh?" tanya Tanum, dalam hati.
Pintu kamar dibuka secara tiba-tiba, Hudda yang membukanya karena berniat untuk menenangkan diri, menjauh dari Malini dan akan tidur di kamar tamu. Wujud Tanum membuat Hudda berhenti melangkah, ia memalingkan wajah dan lanjut berjalan menuruni tangga dengan mengabaikan pembantu rumah itu.
Malini menangis di dalam kamar, ia merasa ternista karena tidak pernah melakukan seperti hal yang dituduhkan Hudda. Kata kasar yang keluar dari mulut Hudda yang lebih menyakitinya, kata hinaan dan makian kasar dilontarkan terhadapnya.
"Kamu menyebutku menjijikan dan wanita murahan. Padahal, kamu yang pantas disebut begitu. Kamu yang lebih dulu menduakan ku. Demi menjaga nama baikmu di hadapan semua orang, aku hanya diam dan memendam rasa sakit ku," kata Malini, duduk menangis memeluk lutut di samping kasur.
Tanum memperhatikannya dengan raut wajah prihatin. Sebagai seorang wanita, meskipun belum pernah diselingkuhi, Tanum bisa merasakan perasaan Malini walaupun tidak tahu kebenarannya. Tanum memahami beberapa hal, ia harus menyembunyikan masalah itu dari Inara.
"Bi Tanum," kata Malini, melihat pembantu rumah itu dari pintu kamar yang terbuka lebar.
Tanum berjalan masuk, membantunya bangkit dan duduk di tepi kasur.
"Tenang. Salah satu cara menghadapi masalah itu gunakan ketenangan. Jangan tunjukkan diri Ibuk lemah di hadapan para pria," kata Tanum, menasihati.
"Bibi sudah mengetahuinya? Bibi mendengar kami bertengkar? Tolong jangan katakan kelasa Mama, aku takut dia sedih," pinta Malini dengan wajah memelas.
"Iya. Tenang saja. Bisa cerita masalah kalian kepada Bibi? Bukannya bermaksud lain, mungkin Bibi bisa beri saran dan membantu menemukan solusinya," kata Tanum.
Masalah yang beberapa hari terakhir mengguncang rumah tangganya tidak bisa dibendung sendiri lagi, ia menceritakannya kepada Tanum. Ekspresi wanita itu melukiskan keprihatinan, perasaannya diselimuti rasa iba. Tanum bukan hanya pembantu biasa, ia seorang psikolog sebelumnya. Tapi, sejak suaminya sakit-sakitan, uang dan waktunya termakan untuk mengurus suaminya itu. Ia memilih bekerja sebagai freelance yang bisa dikerjakan di rumah sambil mengurus suaminya. Malini dan semua orang di rumah itu tidak tahu dengan masa lalunya itu, termasuk profesinya.
"Ibuk memasang tidak bermain api dengan pria itu, kan?" tanya Tanum.
"Tidak pernah terpikirkan olehku untuk melakukan itu. Sebagai orang tua, seharusnya aku memikirkan anak-anakku. Mereka akan terkena imbas dari perbuatan orang tuanya. Perselingkuhan itu tidak bisa disembunyikan, sama seperti bangkai yang akan tercium juga," kata Malini dengan tatapan kosong mengarah ke pintu.
"Saya bisa mengerti itu. Kalau begitu, Ibuk istirahat saja dulu. Tenangkan diri sendiri, jangan egois dengan selalu memikirkan orang lain, tapi mengabaikan diri sendiri," kata Tanum dan berdiri.
Malini ditinggalkan sendiri di kamar itu. Tanum berhenti melangkah di tengah tangga ketika ingin menuruninya, ia mengeluarkan ponsel dari saku bajunya dan menghubungi seseorang dengan nama Yuna yang tertulis di layar ponsel itu.
"Aku ingin berbicara bersamamu besok. Kita bertemu di kafe Stanum jam delapan pagi. Jangan menghindar kali ini," kata Tanum, berbicara dengan nada dingin.
Sambungan telepon diputuskan dan memasukkan kembali ponsel itu ke saku bajunya sambil berjalan menuruni tangga.
***
Malini dilanda kebimbangan, akankah ia pergi kerja atau tidak setelah pesan mesra itu. Kebingungan masih menyelimutinya pagi ini, ia hanya bisa diam duduk di depan meja rias sambil memperhatikan dirinya yang sudah rapi dalam setelan baju kerja dengan hati masih bimbang. Namun, ia tahu kalau dirinya tidak bisa pergi begitu saja tanpa menyelesaikan masalah yang membingungkan itu. Malini berdiri, bergegas keluar dari kamar sambil mengambil tas yang ada di atas kasur. Kakinya berhenti melangkah setelah berada di depan pintu kamar, Hudda berdiri di hadapannya dengan pakai semalam, pria itu bangun kesiangan karena begadang memikirkan masalah rumah tangga mereka.
Mereka saling menatap dingin dengan sorot mata enggan saling bertatapan terlalu lama. Mereka sama-sama membuang muka. Malini lanjut berjalan, melewati Hudda, mengabaikannya.
"Wah! Berapa gajimu sampai kamu masih tetap bekerja di perusahaannya? Apa uangku tidak cukup untuk membiayai kebutuhan rumah? Jangan bilang kalau kamu tidak bisa meninggalkannya," kata Hudda dan menoleh ke belakang, menatap punggung Malini yang berhenti melangkah setelah mendengar bibirnya berucap.
"Terserah apa yang kamu pikirkan," balas Malini tajam dan lanjut berjalan.
Respon yang tidak diharapkannya itu membuat Hudda kesal. Tangannya mencengkram erat dan meraih bantal di atas kasur, lalu melemparkannya ke dinding untuk melampiaskan kemarahannya.
Setelah menuruni tangga, Malini bertemu anak-anaknya yang baru keluar dari kamar mereka bersama Tanum. Tawa ceria mereka di pagi ini membuatnya merasa senang, tapi juga ada sedih dikala mengingat hubungannya dan Hudda terguncang. Senyumannya seketika hilang saat mengingatnya.
"Mama ...!" Kedua anak itu dengan kompak memeluk nya yang berdiri di tengah ruang tamu.
Bibir Malini kembali tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya. Tapi, Tanum sadar dengan pasti apa yang memenuhi pikirannya saat ini. Ia juga merasakan hal itu setelah melihat Tanum tersenyum ringan dengan kepala dianggukkan untuk menyapa.
"Mama mana, Bi?" tanya Malini sambil menujukan mata ke pintu kamar anak-anaknya yang baru ditutup.
"Bu Inara baru saja keluar. Katanya mengunjungi teman yang kemalangan," jawab Tanum.
"Kalau begitu kita sarapan. Kalian harus rajin-rajin belajar, ya ...." Malini mengelus rambut kedua anaknya itu sambil berjalan menuju dapur.
***
Tanum duduk di kafe Stanum sambil menggenggam tangkai gelas kopi yang ada di atas meja. Sesekali ia meneguk kopi yang ada di dalamnya dengan mata tertuju ke pintu kafe. Setelah mengantar Jenaka dan Jian ke sekolah, ia lanjut ke kafe itu untuk bertemu Yuna.
Ketika tangan lain memegang tangkai gelas, tangan lainnya bergerak memukul pelan meja dengan durasi yang sama untuk menyalurkan kebosanan menunggu sejak setengah jam terakhir. Tangannya berhenti bergerak, sejenak ia diam mematung setelah melihat wujud Yuna dengan gaya modis berdiri di depan pintu kafe. Matanya menatap Yuna dengan wajah datar.
"Ada apa, Bu?" tanya Yuna sambil berjalan menghampiri Tanum dengan senyuman.
"Bu? Apa kamu masih pantas memanggilku Ibu dengan sikapmu itu?" Ekspresi datar berubah marah.
Yuna membalasnya dengan senyuman dan tubuh rileks, santai. Kemarahan wanita yang duduk di hadapannya terlihat biasa saja baginya. Tanum sampai mengendus melihat tingkah Yuna, putri semata wayangnya itu yang tidak menghargai dirinya saat berbicara.
"Bukankah Ibu sudah mengetahui itu sejak lama? Itu sebabnya Ibu memilih hidup sengsara setelah kematiannya daripada tinggal bersama putri sendiri. Tapi, tenang saja dan jangan khawatir, aku akan menikah dengan pria yang tepat kali ini. Dia akan membuatku bahagia dan merasa terlindungi, tidak seperti seseorang yang memilih menikah lagi dan meninggalkan putrinya bersama Ibunya," jelas Yuna dengar senyuman angkuh.
"Suamimu?" tanya Tanum dengan perasaan masalah masih ditahan sampai tangannya mencengkram gelas karena geram.
"Suami pilihan nenekku itu sudah meninggal. Makanya, jangan hidup kelayapan di luaran sana sampai tidak tahu beritanya. Mungkin suatu saat kematianku juga tidak akan Ibu ketahui. Jika bertemu denganku hanya untuk ini, lebih baik jangan temui aku." Yuna berdiri dan melangkahkan kaki ingin meninggalkan tempat itu.
Tanum mengangkat kepala yang tertunduk kesal dan berseru dengan suara lantang.
"Ini mengenai Hudda dan Malini!"
Kaki Yuna berhenti melangkah. Sejenak tubuhnya mematung dengan mata menyorot tetap ke arah lantai karena kaget. Ia mengangkat kepala dan menoleh kiri dan kanan. Beberapa orang memperhatikannya. Bukan karena tahu perbuatannya, tapi mereka sadar dengan adanya perdebatan antara mereka yang tidak diketahui ibu dan anak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
ohh Yuna anak kandung Tatum... terus buat apa Tatum menemui Yuna
2023-12-09
1