Bab XVI

Terdengar azan Subuh berkumandang dengan merdunya, Dio pun terbangun dari tidur lelapnya. Rasanya ini adalah tidur ternyaman yang ia rasakan setelah banyak peristiwa berat yang ia lalui.

Dio beranjak bangun dari kursi duduknya, ia pergi kekamar untuk memeriksa kondisi Nia. Namun sesampainya Dio di dalam kamar, ia tidak melihat keberadaan Nia. Dio mulai panik ia mencari kesana kemari keseluruh isi rumah, namun tak kunjung ia temukan keberadaan sang istri.

Kemudian ia juga mencoba mencari kehalaman belakang rumah, siapa tau ia sedang berada disana. namun nihil. Dio kemudian kembali ke dalam kamar, ia duduk di tepi tempat tidur. Mencoba untuk mengingat-ingat kemana lagi ia akan mencari Nia.

Saat ia sedang duduk, ia menggerak-gerakkan kakinya kekanan dan kiri. Ia sangat gelisah, namun.

Plak..

Kaki Dio menendang sesuatu, ia tundukkan pandangannya ke arah bawah.

Tangan, ada tangan disana ? Buru-buru dio bangun dari duduknya dan mengambil posisi jongkok mendekati tangan tersebut. Ia pikir itu adalah tangan Nia.

" Ya ampun sayang, kamu kenapa malahan tidur dibawah sana, pantas saja aku cari kamu kesana kemari tidak ketemu ".

Dio tersenyum kecil melihat tingkah sang istri. Meski Nia telah melukai lengannya, tidak ada sedikitpun rasa benci ada didalam hatinya.

Saat akan menengok kearah bawah tempat tidur. Tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki masuk kedalam kamar, Dio pun menoleh kearah tersebut. Tepat didekat pintu kamar berdiri sosok yang ia cari-cari dari tadi keberadaannya.

Ya.. itu Nia. Ia berdiri disana dengan pandangan dingin kearah Dio. Buru-buru Dio membalikkan pandangannya kearah lengan tadi, namun tidak ada apapun disana. Ia juga menengok kearah bawah tempat tidur, kosong tak ada siapapun.

" Tangan siapa itu tadi ? ".

"Ah mungkin saja aku hanya berhalusinasi ".

Dio kemudian berdiri dan menghampiri Nia.

" Sayang, kamu dari mana ? tadi aku mencari kamu ".

Namun Nia tidak menjawab pertanyaan Dio, ia kemudian berjalan dan kembali ketempat tidur. Nia membaringkan tubuhnya dan kemudian memejamkan mata.

Dio yang menyaksikan tingkah Nia hanya bisa mengelus dada, ia kemudian bergegas kekamar mandi dan bersiap untuk shalat subuh ke mushola.

" Sayang, aku mau berangkat shalat dulu ya, kamu hati-hati dirumah ".

Nia tetap diam tidak bergeming. Dio pun pergi meninggalkan Nia sendirian.

Beberapa waktu kemudian..

" Assalamu'alaikum ".

Dio setibanya dari mushola, ia kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Namun ia tidak melihat Nia disana. Dio pun buru-buru ke halaman belakang. Benar saja, Nia sedang duduk termenung seperti biasanya. Duduk dengan pandangan kosong kearah gundukan tanah itu.

" Sayang, ayo masuk aku bikinkan sarapan ya ! ".

Dio berjalan menghampiri Nia, ia berjongkok didepan Nia yang seolah tidak melihat kehadiran Dio.

Dipandangnya wajah istri tercinta yang nampak layu dan kusam. tak terasa butiran bening menetes membasahi tangan Nia yang Dio pegang.

" Mafkan aku sayang ".

Buru-buru Dio menghapusnya dari tangan Nia, ia kemudian berdiri dan pergi meninggalkan Nia untuk membuat sarapan.

Nia merasa iba melihat sang suami, namun itu hanya sementara. Perasaan benci masih jauh lebih banyak dari rasa cintanya.

Setelah Dio selesai sarapan, ia kemudian bersiap untuk pergi ke puskesmas. Meski belum ada warga yang datang. Mereka tetap bersiaga jikalau ada hal darurat yang bisa saja terjadi suatu waktu.

Sebelum berangkat, Dio menyempatkan untuk mengecup kening Nia dan berpamitan. Namun kali ini tak ada penolakan, tak ada teriakan hanya keheningan.

Dio nampak termenung di depan meja prakteknya. Pak lukman yang baru saja meletakkan segelas teh hangat diatas meja tampak bersimpati. Bahkan kehadiran pak Lukman diruangan tersebut tidak menghentikan Dio dari lamunannya.

" Permisi pak dokter, ini tehnya diminum mumpung lagi hangat ".

Pak Lukman mencoba untuk mencairkan suasana. Namun Dio tidak bergeming, ia benar-benar hanyut dalam pikirannya sendiri.

Melihat hal itu, pak Lukman nampak semakin cemas, saat ia memandang Dio nampak tampilannya sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pertama kali ia datang ke sini. Sekarang ia tampak kacau, dengan rambut yang sedikit panjang berantakan, wajah yang tumbuh jenggot dan kumis serta tubuh yang terlihat jauh lebih kurus.

" Ehem... Pak dokter, apa bapak tidak apa-apa ? ".

Pak Lukman berdehem cukup keras, membuyarkan lamunan Dio.

" Eh.. pak Lukman, maf saya tidak tau bapak disini ".

Nampak raut Dio kaget.

" Mafkan saya dok kalo menggangu. Cuma saya perhatikan dokter tampak sangat banyak beban pikiran, apa ini masalah ibu pak ? ".

Sebenarnya pak Lukman sudah tau akan hal ini, namun ia hanya mencoba untuk memastikan saja.

" Ia benar pak, saya sangat khawatir dengan kondisi Istri saya ".

" Bapak kapan mau membawa ibu kerumah orang tuanya ? ".

" Besok pagi sekali saya akan berangkat, hari ini saya ingin menyusun beberapa laporan ".

Ucap Dio yang sesekali termenung.

" O iya, gimana kondisi tangan dokter ? ".

Pak Lukman nampak khawatir.

" Alhamdulillah pak, sudah mendingan. Tadi juga perbannya sudah diganti oleh Aris ".

Dio mencoba tersenyum meski pikirannya masih berjalan jauh.

" Kalo begitu saya mohon ijin kebelakang, nanti kalo dokter perlu sesuatu panggil saja saya ".

Dio mengangguk dan tersenyum.

Pak Lukman pun meninggalkan ruangan, bersamaan dengan itu Dio mencoba untuk menyibukkan dirinya untuk membuat laporan. Ia berharap agar setidaknya sedikit banyak bisa mengurangi stres yang ia alami.

" Pak lukman, kemaren ada apa sih ? kenapa tangannya dokter Dio bisa terluka parah seperti itu ? ".

Ucap Aris yang tiba-tiba sudah berada disamping pak Lukman.

" Oalah Aris, kamu ini to suka banget ngagetin orang ".

Wajah pak Lukman terlihat kaget dengan keberadaan Aris yang tiba-tiba.

" Ayo dong pak cerita, aku yo sing penasaran iki ".

" Kamu ini mau tau saja urusan orang ".

" Ojo pelit to pak, aku sebenarnya ingin bertanya kemaren cuma aku lihat waktunya tidak tepat ".

" Nah itu pinter kamunya ".

Ucap pak Lukman sambil berjalan menuju arah dapur. sambil tersenyum.

" Ya ini waktunya udah tepat buat aku tau to pak "

Aris menyengir memandang pak Lukman, yang sekarang sedang sibuk merapikan dapur.

" Udah, aku lagi sibuk ini. Lagian juga nanti kamu heboh kalo aku cerita " .

Dengan nada mengejek dan setengah bercanda.

" Tolonglah pak Lukman yang baik, yang ganteng dan yang tampan ".

" Alah Ris, kamu ini. Gak mempan " .

Pak Lukman nampak geli melihat tingkah Aris yang seperti anak kecil.

Pak Lukman yang tak tega melihat Aris memohon akhirnya menceritakan kejadian yang ia saksikan kemaren. Nampak Aris sangat terkejut dan beberapa kali ia terlihat sedih.

" Gitu, udah kamu jangan banyak cerita sama yang lainnya. Kasihan nanti dokter Dio kalo sampai dengar ".

" Berarti besok Dokter bakalan kekota untuk mengantarkan bu Nia pak ? " .

" Iya sepertinya begitu ".

" Kasian sekali ya beliau, semoga ini semua cepat berlalu. Dan bu Nia bisa seperti dulu lagi ".

Mereka pun berbincang-bincang tentang hal lain, serta saling menyembunyikan kesedihan dan rasa simpati mereka terhadap Dio dan Nia.

Beberapa waktu kemudian..

" Saya pamit duluan ya, kasihan istri saya sendirian dirumah ".

Ucap Dio kepada para rekan kerjanya yang sedang duduk-duduk diruang tunggu.

Merekapun mengangguk dan tersenyum ke arah Dio, seolah mereka tidak tau apapun tentang apa yang sedang terjadi.

" Kasian banget ya dokter Dio, baru juga beberapa bulan disini udah kaya gini nasibnya ".

Lastri memandang kearah rekannya dengan raut wajah sedih.

" Iya Las kamu benar, padahal beliau adalah orang baik. Jangan sampai beliau pindah gara-gara hal ini ".

Ucapan Aris disambut dengan raut sedih para rekannya.

" Udah, kita do'akan saja yang terbaik untuk dokter Dio dan bu Nia. Semoga semua masalah cepat selesai dan kita bisa fokus untuk memajukan puskesmas kita ini ".

Pak Lukman mencoba untuk mengalihkan pikiran mereka agar tidak terlalu bersedih.

Dilain tempat..

Nia duduk meringkuk memeluk kedua lututnya, kini pandangannya tidak lepas dari sosok mengerikan itu. Yang terus menatapnya dengan mata bolong yang mengeluarkan darah dari sela-sela matanya.

Rasa takut yang sudah menjalar keseluruhan tubuh, membuat Nia tidak dapat bergerak ataupun berbicara. Ia hanya bisa menangis dan menangis berharap Dio segera menghampirinya.

" Sayang, kamu dimana ? ".

Setibanya Dio dirumah ia tak menemukan keberadaan sang istri didalam kamar, ia buru-buru berjalan ke arah halaman belakang. Benar saja ia menemukan Nia dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Meringkuk ketakutan disamping kursi dengan rambut berantakan dan wajah yang penuh air mata.

Dio pun memeluk Nia dan menggendongnya kedalam kamar. Ia letakkan Nia di atas tempat tidur. Dengan tubuh yang masih bergetar ketakutan Nia terlihat sangat menyedihkan. Dio kemudian mencoba untuk menenangkannya dengan terus memeluk Nia dengan erat.

" Besok kita akan pergi kerumah ayah dan Ibu sayang, kamu akan aman disana ".

Dio mencium rambut istrinya dan memeluknya denga erat.

Keesokan paginya, Dio sudah bersiap untuk berangkat ke kota mengantarkan Nia kerumah kedua orangtuanya. Nampak Aris, Lastri, Pak Lukman dan Pak Ali juga ikut mengantarkan kepergian mereka berdua.

" Hati-hati ya dok dijalan nanti ".

Ucap Aris sambil mengangkat kan beberapa bawaan Dio kedalam mobil.

Dio mengangguk tersenyum, ia kemudian memapah sang istri masuk kedalam mobil, setelah itu ia menyalami semua rekannya. Dan kemudian masuk kedalam mobil.

" Bismillah kita berangkat sayang " .

Dio menoleh kearah Nia yang sedang bersandar dan menatap lurus kearah depan dengan tatapan mata yang kosong.

Dio putar kunci mobil, ia hidupkan mesin mobil dan kemudian melaju perlahan. Tak lupa ia lambaikan tangan kearah teman-temannya. Begitupun sebaliknya para rekannya juga melambaikan tangan seraya berdoa dalam hati untuk keselamatan Dio dan Nia.

Sepanjang perjalanan Nia hanya diam tidak berbicara sepatah katapun. Ia seperti hanya sebuah patung yang diberi nyawa. Dio pun tak kalah, ia juga sibuk dengan pikirannya sendiri benar-benar tenggelam didalamnya.

Tak terasa mereka telah sampai dirumah Nia. Dio kemudian turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah. Sebelumnya ia memang tidak memberitahukan akan kedatangan mereka kepada ibu dan ayah Nia.

Tok.. tok.. tok..

" Assalamu'alaikum ayah ibu !! ".

Setelah beberapa kali Dio mengetuk dan mengucap salam. keluarlah sosok wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu Nia.

" Loh nak Dio, kamu ko datang gak bilang-bilang dulu sebelumnya ".

Ibu Nia tampak celingak celinguk mencari keberadaan sang putri. Dio yang paham dengan gerak gerik sang ibu mertua hanya bisa tersenyum.

" Nia ada didalam mobil bu ".

Nampak terpancar senyum bahagia dan kerinduan dalam di wajahnya.

" Cepat masuk nak, Nia kenapa belum turun ya dari mobil ? ".

" Dia lagi tidur bu, ibu masuk saja dulu nanti saya yang bawa Nia masuk ".

Ibu Nia pun menuruti perkataan sang menantu kesayangannya.

Dio berjalan menuju arah mobil, ia membuka pintu dan benar saja Nia sedang terlelap tidur. Ia tidur sangat pulas semenjak mereka memasuki gapura selamat datang. Dio pun menggendong Nia, nampak sekarang berat Nia sangat jauh berbeda dari beberapa waktu yang lalu.

Tubuhnya jauh lebih ringan, tulangnya pun juga terlihat jelas. Padahal meraka baru beberapa bulan disana namun ia sudah nampak sangat jauh berbeda. Dio begitu sangat sedih melihat sang istri. Ia benar-benar berharap agar pilihannya ini adalah pilihan yang terbaik yang bisa ia berikan kepada Nia.

Setelah Dio meletakkan Nia di atas tempat tidurnya. Ibu Nia nampak sangat terkejut melihat kondisi sang putri. Ia menangis tanpa ia sadari, dibelainya lembut rambut sang putri tersayangnya.

" Kamu kenapa nak ? kenapa kamu jadi seperti ini ? ".

Setelah Dio selesai memasukkan barang bawaan mereka kedalam kamar. Ia kemudian berdiri di dekat ibu Nia. Yang nampak sedang bersedih dan membelai lembut rambut Nia.

" Nia kenapa Nak ? apa yang telah terjadi ? kenapa ia sekarang menjadi sekurus dan sekacau ini ? ".

Dio pun bercerita semua kejadian yang Nia alami, ia juga mengatakan jika Nia tidak siap untuk ikut pindah bersamanya. Sehingga Nia mengalami tekanan batin dan halusinasi yang parah.

" Kenapa kamu tidak bilang sama kami sebelumnya. Kalo tau begini kami pasti akan kesana menjemputnya atau menemaninya ".

Jawab ibu Nia dengan penuh kesedihan.

" Maafkan saya bu, saya sebenarnya tidak ingin membuat ibu dan ayah khawatir. Sekali lagi saya minta maaf karena sudah membuat Nia menjadi seperti ini "

Dio tertunduk sedih, ia juga merasa sangat kacau dan putus asa menghadapi semua kondisi ini.

" Sudahlah nak, jangan terlalu dipikirkan. Ibu dan ayah akan berusaha untuk membuat Nia seperti dulu lagi. Kamu fokus saja sama pekerjaan mulia kamu ya ".

Ibu Nia tersenyum dengan mata yang penuh kesedihan. Ia juga tidak ingin jika sang menantu teralu menyalahkan dirinya.

" Sebelumnya saya mohon maf bu, sepertinya saya mau langsung berangkat saja " .

Nampak raut wajah ibu Nia terkejut dengan ucapan sang menantu.

" Lo nak, kenapa buru-buru ? gak nginap aja kamunya. Besok baru pulang, kamu pasti sangat kecapekan menyetir jauh begitu ".

" Gak apa-apa bu, saya masih ada pekerjaan yang belum selesai. Dan tidak bisa meninggalkan puskesmas lama-lama ".

Ibu Nia kemudian tersenyum dan ia mengerti jika sang menantu memiliki tanggungjawab yang besar. Kemudian ia mencoba untuk membangunkan Nia, namun Dio melarangnya. Ia tidak ingin jika Nia terbangun dari tidur lelapnya.

Padahal tanpa Dio sadari, Nia tidak lah sedang tidur. Ia hanya berpura-pura. Ia memang sengaja berbuat begini agar Dio tidak mengganggunya. Ia juga merasa malas jika harus mengantarkan Dio pergi.

" Bu, saya titip salam buat ayah dan permohonan maaf juga karena buru-buru begini perginya, sehingga tidak sempat untuk menemui beliau dan meminta maaf secara langsung atas kondisi Nia ".

Ibu Nia tersenyum dan mengangguk. Kemudian mereka berjalan keluar meninggalkan Nia sendiri dikamar. Terlihat senyuman di sudut bibir Nia.

" Hati-hati ya nak, jangan lupa kalo ada apa-apa kabari ayah dan ibu "

Dio kemudian menyalimi tangan sang ibu mertua untuk berpamitan tak lupa sebelum pergi ia menitipkan pesan untuk menjaga Nia dan mengabarinya terus akan perkembangan Nia.

" Saya berangkat ya bu, Assalamualaikum ".

" Waalaikumsalam, hati-hati ya nak di jalan ".

Dio pun masuk kedalam mobil, kepergiannya di diringi dengan lambaian hangat dari sang mertua. Dio kemudian memacu mobilnya dengan kecepatan sedang hingga ia meninggalkan kota tempat ia dan Nia bertemu dan mengikat janji untuk selalu bersama hingga ke jannah.

" Tunggu aku sayang, semoga kamu cepat kembali seperti Nia ku yang dulu ".

Dio menyeka butiran air di pipinya. Ini pertama kalinya ia berjauhan dengan sang istri tidak hanya jarak tapi juga batin.

Sepanjang perjalanan Dio banyak termenung, bahkan berberapa kali ia hampir mengalami kecelakaan. karena ketidak fokusan nya. Ia juga merasa sangat lelah dan mengantuk. Padahal perjalanan baru separuh jalan.

" Kenapa rasanya aku sangat lelah dan mengantuk, apa aku berhenti saja nanti di mushola kemarin ! ".

Namun sepanjang jalan ia tak menemukan mushola tempat ia dan Nia berhenti dulu.

" Ko musholanya tidak ada ya, rasanya mushola itu ada di daerah sekitar sini. Apa mungkin sudah dirobohkan ya ? padahal rasanya saat mengantarkan Nia aku masih melihat mushola itu !? " .

Sunggu Dio merasa bingung akan keberadaan mushola tersebut. Ia pun terpaksa tetap melajukan mobil kesayangan. Ia pikir nanti akan beristirahat di tempat mbok Ina.

Setelah beberapa jam kemudian Dio sampai di warung mbok Ina, sekitaran jam 10 malam dimana jalanan sudah nampak sepi dan lenggang.

" Assalamualaikum mbok Ina ".

Ucap Dio yang berjalan masuk kedalam warung.

" Waalaikumsalam,, eh mas ganteng to ".

Dio tersenyum kemudian duduk di kursi yang ada didepan etalase makanan.

" Sendiri saja to mas , mana mbak cantiknya ? ".

Nampak perempuan paruh baya itu menengok dari samping etalase.

" Ini saya baru saja mengantarkan dia pulang ke kota ".

" Lo,, kenapa memangnya mas ganteng, kangen kota ya mbaknya ? ".

Mbok Ina tersenyum dan sedikit tertawa.

" Ia mbok, ia agak setres sepertinya kelamaan di daerah terpencil seperti ini. Perlu sedikit penyegaran. Lagian juga ia lagi rindu dengan orangtuanya ".

Dio mencoba menutupi fakta yang sebenarnya.

" Sendirian dong mas gantengnya, gak takut apa ? ".

" Udah besar mbok, InsyaAllah gak ada yang ditakukan kecuali Allah ".

" Oalahh, keren mas ganteng ini ".

Dua jempol mbok Ina acungkan untuk Dio, Dio pun tertawa melihat apa yang dilakukan oleh mbok Ina.

" Mau minum apa makan mas ? "

" Keduanya mbok, saya mau teh panas sama nasi ".

Dio pun berdiri untuk melihat lauk pauk yang disediakan di dalam etalase.

" Waduh enak-enak ini lauknya ".

Ucap Dio yang memang sangat lapar karena belum makan sejak tadi pagi.

" Ayo yang mana mas, ada ikan goreng, ayam goreng, telur balado, oseng pare dan sambal ikan teri ".

Mbok Ina menjelaskan dengan sambil membuatkan teh Dio.

" Saya mau pakai ayam goreng, telur balado, oseng pare dan sambal ikan teri mbok ".

Semua nampak lezat, sungguh Dio sudah tidak sabar untuk menyantapnya.

" Siap mas ganteng, tunggu bentar yo. Tak siapin dulu makanannya ".

Dengan telaten tangan mbok Ina mengambil setiap lauk yang Dio inginkan, kemudian ia menyajikan makanan dan minuman kepada Dio.

" Monggo mas, silahkan ".

Tanpa basa basi Dio melahap makanan itu dengan semangat. Sudah lama sekali ia tidak makan - makanan seperti itu. Biasanya Nia selalu membuat masakan enak yang Dio sukai, namun semenjak pertengkaran itu sudah tidak pernah lagi.

Mbok Ina yang ternyata sudah memperhatikan Dio sejak tadi, hanya tersenyum ia sepertinya memaklumi Dio. Seperti sudah mengetahui apa yang Dio lalui, ia pun menyibukkan diri dengan membersihkan meja dan menyusun beberapa bahan makana.

Sebenarnya ia ingin berbincang namun ia tak tega jika harus menganggu Dio yang sedang terlihat sangat menikmati makanannya. Setelah beberapa saat, Dio pun telah selesai menyantap habis semua makanannya. terlihat senyum puas di bibirnya.

" Alhamdulillah, berpa mbok ? ".

" Udah selesai to mas ganteng makannya ? ".

Dio mengangguk dan menepuk-nepuk perutnya seraya tersenyum penuh kepuasan.

" Jadi semunya 23.000 aja mas ganteng ".

Dio pun mengeluarkan selembar uang seratus ribu, seperti biasa ia tak ingin mengambil kembaliannya.

" Buat jajan mbok aja " .

" Oalahh,, jangan to mas ".

Menyerahkan uang kembalian, namun Dio tetap menolak. Ia buru-buru berpamitan kepda mbok Ina.

" Saya pamit dulu mbok, biar gak kemalaman banget sampainya ".

" Iya mas, hati-hati ya jangan ngebut udah dekat ko " .

Dio mengangguk dan kemudian ia keluar warung menuju mobilnya. Setelah melambaikan tangan kepada mbok Ina yang sedang berdiri didepan pintu warung. Dio pun masuk kedalam mobil dan melajukan kembali mobilnya di atas hamparan tanah berlubang.

Tidak berapa lama Dio pun sampai di puskesmas. Ia kemudian memarkirkan mobilnya tepat didepan rumah. Setelah itu ia membuka kunci rumah dan masuk ke dalamnya. Kini ia hanya sendirian, tak ada lagi sang pujaan hati. Kini ia akan melalui hari-harinya sendirian.

" Cepat sembuh sayang, aku kangen kamu ".

Padahal baru sebentar mereka berpisah namun entah kenapa rasa rindu ini seperti sudah bertahun-tahun lamanya.

Setelah selesai membersihkan diri, Dio kemudian mencoba untuk membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Mencoba untuk mengistirahatkan diri yang tersa sangat lelah. Tidak perlu waktu lama Dio pun terlelap dalam tidurnya.

Namun sosok yang sedari tadi memandangnya tidak akan berlama-lama membiarkan Dio hidup tenang.

Terpopuler

Comments

Suci Fatana

Suci Fatana

kenapa nia tdak mndekatkan diri pd tuhanya

2024-01-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!