Keysa menunduk menatap secangkir kopi cappuccino miliknya dengan mata yang terlihat berbinar. Senyumnya tak pudar sama sekali. Tanpa pikir panjang Keysa langsung mengambil cangkir yang berisi kopinya dan segera menyesapnya.
Tanpa mereka sadari, sedari tadi Linda tengah bersembunyi dibelakang tembok seraya mengamati mereka berdua. Dia mengulum senyumnya, rasanya bahagia sekali saat melihat kedua anak kandungnya akrab seperti itu, tentunya Linda akan lebih bahagia lagi saat melihat ketiga anaknya bisa akrab seperti itu.
Tetapi sampai sekarang Linda belum pernah bertemu lagi dengan anak kandung keduanya yang berjenis kelamin perempuan, yaitu adiknya Varo dan kakaknya Keysa. Linda berjalan menuju rak kue—salah satu menu yang banyak peminatnya. Kedua tangan Linda terulur untuk mengambil tiga kotak yang berisi kue didalamnya.
Kotak pertama yaitu berisi chocolate cake, yang kedua cheese cake, dan yang ketiga red velvet—lalu ketiganya dia masukan kedalam tote bag yang berwarna hitam pekat yang didepannya terdapat lukisan cafe kecil dan di bawahnya terdapat tulisan Cafe D'A.
Setelah selesai Linda langsung mengayunkan kakinya seraya menenteng tote bag yang sudah dia isi dan terasa sedikit berat. Tentunya Linda ingin menghampiri kedua anaknya itu yang tengah asyik mengobrol, sesekali mereka tertawa. Entah tertawa karena apa mereka tertawa, yang jelas Linda tidak mengetahui alasannya.
Linda berdiri tepat disamping Keysa yang masih duduk dikursi. Dirinya kembali tersenyum saat memandang Varo. "Ini buat kamu ya, nak Varo. Ini sebagai ucapan terima kasih tante karena udah nganterin anak tante pulang," katanya seraya menyodorkan tote bag yang sedari tadi dia bawa ditangan kanannya.
Kontan suara Linda berhasil menginterupsi Varo untuk segera berdiri setelah mendengar suara Linda yang terdengar merdu sekaligus lembut di telinganya. Varo menggeleng pelan sebelum berbicara. "Enggak usah, Tan... Lagi pula Varo ikhlas kok nganterin Keysa pulang, tante nggak usah repot-repot gini," Varo menolak halus seraya tersenyum tipis.
"Kalau dikasih orang jangan ditolak ya nak, enggak baik," Linda memberi nasihat seraya tertawa kecil.
Hal tersebut kontan membuat Varo jadi merasa bingung sendiri. Varo menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sesekali dia menatap Keysa dan Linda secara bergantian. Dia menolak karena merasa tidak enak, pasalnya dia mengantarkan Keysa pulang secara ikhlas tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun—seperti saat ini.
Namun dirinya sudah diberi minum kopi secara gratis dan bahkan dirinya juga diberi sesuatu oleh mommy-nya Keysa. Sejujurnya Varo merasa enggan menerima hal yang kedua tersebut. Dia tidak menyangka mommynya Keysa orangnya sangat baik seperti anak perempuannya yang berhasil membuatnya tertarik.
Keysa mengangguk membenarkan perkataan Linda tadi. "Iya bener tuh kak, jangan di tolak kak, udah terima aja kak," Keysa ikut menimpali seraya menyeruput kembali kopi cappuccino miliknya yang masih hangat itu.
Detik berikutnya Varo langsung diam membisu. Sungguh setelahnya dia tak bisa berkutik sama sekali karena perkataan Linda yang langsung ditimpali oleh Keysa. Varo menerima tote bag itu dengan wajah yang terlihat ragu-ragu. Varo berdeham pelan sebelum mulai berbicara.
"Makasih, Tan... saya jadi ngrepotin tante nih pasti," Varo menyahut dengan canggung seraya tertawa kecil.
Kok tote bagnya sedikit terasa berat sih? Kan gue jadi kepo dengan isinya. Varo berbicara dalam hati.
Varo memalingkan wajahnya kesamping. Memandang ke arah jendela dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Terlihat langit sudah mulai gelap dan berwarna abu-abu gelap karena mendung. Kemungkinan besar sebentar lagi akan hujan? Varo kembali menolehkan wajahnya kearah Linda. Itu artinya dia harus segera pulang sebelum hujan mulai turun.
"Ya sudah, Varo pamit pulang dulu ya, Tan?" Varo berpamitan seraya mengambil telapak tangan kanan Linda, detik berikutnya dikecupnya dengan pelan.
Linda menunduk menatap rambut milik Varo yang berwarna hitam legam dengan tatapan nanar. Telapak tangan kirinya terulur untuk mengusap-usap rambut anak laki-lakinya itu dengan sayang.
"Iya, hati-hati ya nak, lain kali mampir kesini lagi ya?" Linda bertanya dengan suara lembutnya.
Varo mengangguk dengan mantap seraya tersenyum tulus. "Iya, pasti Varo bakal datang kesini lagi kok, Tan," sahutnya dan berhasil membuat Linda kembali mengembangkan senyum.
Berikutnya Varo beralih menolehkan wajahnya kearah Keysa yang juga tengah menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan. "Gue pulang dulu ya Key, udah malem soalnya,"
Keysa mengangguk lalu tersenyum. "Iya, hati-hati ya kak."
Setelahnya senyum Varo benar-benar mengembang. Sedetik kemudian Varo menganggukkan kepalanya sebagai jawabannya lalu Varo memutar tubuhnya kebelakang sebelum melangkahkan kedua kakinya lebar untuk pergi keluar meninggalkan mereka berdua di cafe ini.
Sebelum benar-benar keluar dari cafe, Varo sempat berhenti melangkah dan menoleh kebelakang untuk memandang wajah cantik milik Keysa untuk terakhir kalinya. Ah, bukan! Ini bukan yang terakhir kalinya. Besok juga masih ada hari untuk bertemu dengannya lagi, bukan?
Tubuh Linda kembali terasa lemas. Kedua matanya kembali berkaca-kaca. Senyumnya kian pudar saat menatap punggung anak pertamanya yang perlahan mulai menjauh darinya, tatapan Linda terlihat sendu begitu tubuh jangkung Varo perlahan hilang saat dia keluar dari cafe.
Mommy sebenarnya ingin peluk kamu nak, tapi ini belum saatnya. Linda berbisik dalam hati.
Setibanya di rumah elit miliknya, Varo langsung segera memarkirkan motor ninja berwarna biru itu tepat kedalam garasi rumahnya. Tak lama kemudian dia segera melepas helm full face-nya dan turun dari motor ninjanya yang berwarna biru tua.
Varo kembali mengulum senyum ketika mengingat kejadian yang baru saja alami. Entah kenapa dia merasa begitu nyaman saat berada di dekat Keysa, hatinya kembali menghangat, detak jantungnya pun menjadi tidak stabil saat berada didekat Keysa.
Apa ini yang namanya jatuh cinta?
Jatuh cinta itu seperti apa sih?
Jujur saja, sebelumnya Varo belum pernah jatuh cinta dan dirinya pun tidak tahu rasanya jatuh cinta itu seperti apa. Meski wajahnya tampan di atas rata-rata, Varo merasa enggan berpacaran—dia selalu berpikir bahwa semua cewek yang disekelilingnya sama saja.
Bagaimana tidak? Kenyataannya dia mempunyai fans bejibun yang jelas sangat menyukai parasnya. Varo berfikir bahwa semua cewek menyukainya karena hanya memandang fisik dan harta.
Setelahnya, Varo melangkah lebar untuk masuk kedalam rumah. Telapak tangan kirinya dia gunakan untuk menenteng tote bag pemberiannya Linda itu. Sementara telapak tangannya sudah memegang knop pintu utama.
Dia terdiam sesaat sebelum mulai mendorong knop pintu. Suara decitan pintu berhasil memenuhi ruang tamu. Tak lama kemudian Varo mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan. Seketika bola matanya tertuju pada Sherly.
Sherly sendiri saat ini tengah duduk di sofa ruang tamu yang berwarna Navy seraya melihat layar ponselnya dan marah-marah tidak jelas. Mulutnya terlihat komat-kamit, bergumam tidak jelas. Tampaknya Sherly belum menyadari bahwa kakak laki-lakinya sudah pulang, lihat saja dirinya bahkan masih sibuk berkutat dengan ponselnya.
Varo mengendikan bahunya acuh, nampak jelas bahwa dia tidak begitu peduli. Sejujurnya Varo sama sekali tidak penasaran apa yang membuat adiknya itu marah-marah tidak jelas seperti saat ini. Varo juga tengah malas meladeni Sherly, sebab adik perempuannya sangatlah super duper menyebalkan.
Tidak jarang bahwa keduanya selalu bertengkar untuk memperebutkan sesuatu yang kecil—contohnya rebutan remote televisi. Varo kembali melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda, dia sama sekali tak berniat menyapa adiknya. Pandangannya kembali lurus kedepan.
"Woy, bang! Udah pulang lo? Dari mana aja lo bang?" Sherly bertanya dengan meninggikan suaranya. Terlihat wajahnya sedikit memerah dan ekspresinya pun nampak menahan amarah. Sebenarnya Sherly tengah kesal kepada kakak laki-lakinya sendiri.
Suara Sherly yang sedikit cempreng itu berhasil membuat kuping Varo terasa cenat-cenut sejenak. Setelahnya Varo menghentikan kembali langkah kakinya. Varo memutar tubuhnya kesamping. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Sungguh Varo tidak habis pikir dengan adiknya.
Adiknya bahkan keponya bisa melebihi wartawan. Jika dia dibandingkan dengan Sherly, mungkin saja Varo kalah karena tak sekepo Sherly. Varo memasukan telapak tangan kirinya kedalam saku celana olah raganya yang kini telah kering, walau tadi sempat basah.
"Lo kok sekarang jadi kepo banget sih, Sher?" Varo bertanya dengan heran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments