Tangan kanan Keysa terulur untuk mengambil buku paket matematika miliknya yang berada diatas mejanya. Keysa kembali menoleh kearah belakang seraya menyodorkan buku paket matematikanya didepan David. Wajah cantiknya tampak terlihat datar—wajar saja, karena Keysa memang tak bisa akrab dengan orang yang baru dia kenal.
David tersenyum manis, lalu tangan kanannya terulur untuk merima buku paket matematika milik Keysa dengan senang hati tentunya. "Thanks, Key,"
Keysa menganggukan kepalanya pelan. "Your welcome."
"Siapa yang mau mengerjakan soal nomor satu?" Sana bertanya antusias, dan otomatis hal tersebut berhasil memecah keheningan yang tercipta dikelas.
Tanpa pikir panjang Sherly segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Dia tersenyum miring. "Saya bu!" sahutnya dengan senang.
Sana tersenyum tipis lalu menunjuk Sherly dengan spidol besar yang berwarna hitam. "Iya Sherly, ayo maju!" perintah Sana dengan lembut. Sontak Sherly segera beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kedepan kelas dengan percaya diri. Sherly menerima spidol hitam yang barusan disodorkan Sana. Setelah selesai menulis jawabannya dia segera kembali kebangkunya.
Sana menoleh kearah papan tulis yang berwarna putih itu untuk melihat jawaban yang barusan Sherly tulis. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat jawaban Sherly. Sayang sekali, jika saja Sherly teliti pasti jawabannya akan benar.
"Sherly, jawaban kamu kurang tepat," Sana berujar dengan lembut. Raut wajahnya terlihat sedikit kecewa, namun senyumnya tak pudar sama sekali.
"Huuuuuuuuuuuu!" salah satu siswi kontan bersorak mengejek, detik berikutnya murid lain bersorak ikut menirukan.
"Kalau nggak bisa nggak usah sok deh," siswi lain memberi saran pada Sherly, diiringi tawa yang terdengar mengejek.
"Kalau gue sih udah malu banget jadi lo," Nindhi ikut menimpali dengan suara yang terdengar dramatis.
Refleks muka Sherly memerah seperti kepiting rebus karna menahan malu, Sherly menatap tajam satu persatu murid yang menjudge dan mencibir dirinya. Dia benar-benar tidak suka jika dia dibuat malu seperti barusan oleh para temannya yang seolah tak punya akhlak. Dia mengumpat kasar berkali-kali dalam hati.
Sungguh, hari ini sangatlah menyebalkan!
"Sudah sudah, jangan ribut!" Sana melerai tatkala kelas yang sedang dia ajar sekarang kembali riuh.
Sana menatap Keysa yang tengah asyik menulis jawaban dibuku tulis miliknya. "Keysa, ayo maju," perintah Sana seraya tersenyum lebar. Menurutnya, Keysa adalah salah satu siswi yang pintar dan rajin, maka dari itu Sana memerintahkan Keysa saja yang maju ke depan.
Sontak Keysa segera mendongakkan kepalanya begitu mendengar perintah Sana barusan, menatap Sana yang juga tengah menatapnya seraya tersenyum manis. Keysa diam, dia kembali tak bisa berkutik. Berikutnya Keysa menganggukan kepalanya pelan seraya beranjak dari duduknya.
"Dengan senang hati, bu," Keysa menyahut dengan lirih. Perlahan tapi pasti, dia beranjak dari duduknya lalu berjalan santai untuk menuju ke depan kelas.
Keysa meraih spidol hitam yang di sodorkan Sana barusan. Keysa terdiam sejenak seraya membaca soal matematika yang ditulis dipapan tulis berwarna putih yang tepat berada di depannya. Dia berusaha untuk memahami soal yang menurutnya tidak begitu sulit. Terlihat Keysa tampak tengah berfikir sejenak, sedetik kemudian dia tersenyum tipis.
Keysa mulai menulis jawabannya. Setelah selesai menjawab, Keysa kembali ke tempat duduknya dengan gaya santai—dia tidak merasa ragu karena dia sudah paham betul dengan soal nomer satu yang diberikan oleh Sana. Sebelum pergi dia terlebih dahulu mengembalikan spidol hitam itu kepada Sana.
Sana lantas menolehkan wajahnya ke arah papan tulis. Dia masih tetap diam. Wajar saja, karena dia sedang masih meneliti jawaban yang ditulis barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum tipis saat mengoreksi jawaban Keysa. "Betul sekali, Keysa," Keysa hanya tersenyum miring saat mendengar perkataan Sana barusan.
"Perhatikan anak anak, tugas kelompok kalian untuk Minggu ini adalah mengerjakan halaman lima puluh lima sampai lima puluh sembilan,"
"Ibu guru yang akan menentukan kelompoknya, kelompok satu berisi Keysa, Nindhi, David, Sherly, dan Rosa." lanjutnya seraya memandang keempat anak tersebut secara bergantian.
Refleks Sherly dan Rosa langsung membelalakan matanya dengan mulut yang sedikit menganga. What the ****? Apa-apaan ini? Kenapa gue harus sekelompok sama Keysa dan Nindhi? Sherly membatin kesal dalam hati.
Sementara Keysa dan Nindhi lantas memutar bola matanya malas tatkala harus sekelompok dengan kedua cewek yang sifat dan kelakuannya sudah menyerupai dan sangat mirip dengan setan.
Dari sekian banyak murid di kelas ini kenapa harus sekelompok dengan mereka sih? Nindhi mengeluh dalam hati dalam hati. Tentu saja yang dimaksud kata 'mereka' adalah Sherly dan Rosa.
Sedangkan David? Dia lantas menarik kedua sudut bibirnya—dia tersenyum manis seraya melipat kedua tangannya di depan dada, dia bersorak kegirangan di dalam hati. Siapa sih cowok yang enggak mau sekelompok sama cewek-cewek? Apa lagi ceweknya cantik cantik seperti mereka. Batinnya gembira.
Sherly mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Raut wajahnya nampak terlihat begitu masam, bisa disimpulkan jika saat ini dirinya tengah badmood. Tentu saja dia ingin protes kepada guru wanita paruh baya yang masih tersenyum.
"Saya ga mau sekelompok sama Keysa dan Nindhi, bu," celutuknya dengan nada yang terdengar seperti keluhan.
Sontak Keysa dan Nindhi segera menolehkan wajahnya ke arah Sherly. Mereka berdua menatap Sherly dengan tatapan sinis. "Emang gue mau sekelompok sama lo, huh? Idih, ya nggak lah!" Keysa dan Nindhi membalas tak terima dengan kompak
"Enggak ada penolakan Sherly!" Sana mengomel dengan memasang wajah yang terlihat garang, membuat raut wajah Sherly kian bertambah masam.
Sejujurnya mereka berdua tidak mau jika harus sekelompok dengan Keysa dan Nindhi. Jika saja dia bisa memilih, pasti dia akan lebih memilih sekelompok dengan cewek cupu berkacama mata daripada harus sekelompok dengan orang yang dia anggap sebagai saingan sendiri. Siapa lagi jika bukan Keysa Deolinda?
...*...
Bel istirahat telah berbunyi dua menit yang lalu, hanya menyisakan segelintir murid saja yang masih berada didalam kelas. Termasuk Darel yang kini tengah duduk dibangkunya yang berbeda dipojok belakang itu tengah menunduk. Terlihat dia tengah sibuk mengambar sketsa Keysa—cewek yang beberapa hari selalu mencuri perhatiaannya, di sketchbook miliknya.
Terlebih saat Keysa tengah sibuk membaca novel. Darel terlihat sangat menikmati apa yang dia sekarang lakukan. Darel tersenyum tipis tatkala kembali teringat dengan kejadian tadi pagi. Di mana Keysa sangat kelihatan malu-malu kucing saat membalas sapaannya. Sejujurnya Darel tak terlalu suka menyapa cewek terlebih dahulu. Namun pagi ini nampaknya jelas berbeda.
Sepi dan sunyi menyelimuti kelas yang kini sedang dihuni Darel, tidak terdengar satupun orang yang berbicara. Hal itu membuat Darel menjadi tenang dan rileks saat mengambar wajah cantik milik Keysa. Karena sesungguhnya dia benci keramaian. Namun, dia sangat menyukai suasana yang hening dan terkesan damai.
Seorang cowok tampan yang duduk dibangku barisan tengah itu beranjak dari duduknya, lalu melangkahkan kakinya lebar untuk menghampiri Darel yang kini tengah sibuk menggambar. Cowok tampan itu tersenyum lalu menepuk pelan bahu Darel. Membuat sang empunya terperanjat karena terkejut. Darel mendongak menatap cowok tampan itu yang nota bene-nya adalah sahabatnya sendiri dengan raut wajah yang terlihat penasaran.
"Rel, ke kantin yuk? Cacing-cacing di perut gue udah pada demo nih," cowok tampan itu berujar pelan seraya terkikik geli.
Sontak ucapan cowok tampan itu membuat Darel menepuk jidatnya sendiri. Bagaimana tidak? Perkataan cowok tampan tadi sangatlah terdengar konyol, bukan? Darel tidak menyahut, namun dia hanya berdeham pelan lalu mengangguk setuju. Dia sekarang sudah berhenti menggambar, detik berikutnya dia memasukan sketchbook serta pensilnya kembali ke dalam laci.
Darel beranjak dari duduknya lalu merangkul bahu cowok tampan tersebut. Kini, mereka berdua sudah berjalan beringan untuk pergi meninggalkan kelas untuk menuju kantin. Sepanjang perjalanan Darel hanya diam saja seraya mendengarkan celotehan sahabatnya yang tak henti-hentinya berceloteh. Sungguh sangat menyebalkan sekali.
Cowok tampan yang di ketahui sahabat Darel tersebut bernama lengkap Ardaffa Pratama, akrab di panggil Daffa. Cowok gamers yang tidak pernah sekalipun mempermainkan hati para cewek. Dia sungguh sangat berbeda jika di bandingkan dengan David. Jika David suka mempermainkan hati para cewek, maka Daffa sebaliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments