Dia sungguh tidak suka mempermainkan hati para cewek. Baginya cewek itu untuk dilindungi bukan malah disakiti. Daffa juga termasuk salah satu most wanted di sekolahnya karena wajahnya yang tidak kalah tampan dari sahabatnya. Daffa sendiri, dia menyukai Anindhira Keenan yang nota bene-nya adalah sahabat baiknya Keysa Deolinda.
Sherly berjalan keluar dari kelas menuju kelas milik Darel. Tiba-tiba bola matanya menangkap sang pujaan hatinya, kontan dia langsung melebarkan senyumnya. Tak lama kemudian dia segera berlari kecil untuk menghampiri Darel yang sedang berjalan beriringan dengan Daffa. Wajahnya nampak terlihat bahagia sekali.
Kini Sherly sudah berada disamping Darel. Dia langsung meraih lengan kekar Darel dan bergelayut manja disana. Hal itu membuat Darel menghela nafasnya lagi dengan kasar. Kenapa setiap hari dia selalu bertemu Sherly? Meski Sherly adalah pacarnya sendiri namun tidak bisa dipungkiri jika Darel benar-benar sangat muak melihat kelakuan pacarnya itu.
Sherly mendongak, menatap wajah tampan Darel, lalu mengangkatnya telapak tangan kanannya untuk membelai pipi mulus Darel seraya tersenyum manis. "Babe, kamu jangan ngobrol sama Keysa lagi ya? Aku cemburu tau," Sherly mengeluh seraya memasang puppy eyes andalannya serta mengeratkan pelukannya dilengan Darel, mengabaikan bahwa saat ini dirinya masih berada di lingkungan sekolah.
Darel hanya melerik sekilas wajah cantik milik Sherly. Puppy eyes Sherly tidak membuat Darel luluh begitu saja, akan tetapi membuat Darel semakin membenci Sherly. Darel tidak menghiraukan perkataan Sherly barusan. Perlahan tapi pasti, dia melepaskan tangan Sherly dari lengannya dengan kasar.
Sementara Daffa? Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya pelan saat melihat kelakuan Sherly yang terlihat sangat kekanak-kanakan. Rasanya dia ingin tertawa dengan keras saja melihat dua remaja yang kelakuannya sudah seperti kucing dan tikus.
"Darel risih Sher, dia enggak mau dipeluk-peluk sama lo," Daffa menyela dengan suara beratnya.
Sherly kontan langsung menolehkan pandangannya kearah Daffa yang tidak sedang menatapnya. Sherly menatap sinis ke arah Daffa. "Sok tau lo!" kesalnya. Sherly mengerucutkan bibirnya lucu saat melihat Darel yang sama sekali tidak berniat untuk membelanya. Sungguh, miris sekali nasibnya.
Daffa mengembangkan senyumnya. Dia kembali menolehkan wajahnya ke arah Sherly. Sepasang matanya tampak menyipit. "Gue bukan sok tau, Sher... Tapi emang kenyataannya emang kayak gitu," sahutnya lembut seraya terkekeh geli.
Darel menolehkan wajahnya ke arah Sherly dan Daffa secara bergantian. Alis tebalnya saling bertautan. Sejujurnya, dia tendah menahan kesal kepada mereka berdua yang sedari tadi tak henti-hentinya adu mulut. "Berisik!" Darel menengahi, detik berikutnya dia kembali melangkahkan kakinya lebar yang tadi sempat tertunda. Dia berjalan cepat untuk meninggalkan dua orang yang masih saling berdebat itu.
Biarlah mereka berdua berdebat. Toh, Darel sama sekali tak peduli.
Sherly menggerutu sebal ketika melihat Darel yang sekarang sudah pergi menjauh darinya. Tak lama kemudian, Sherly berjalan untuk mendekat ke arah Daffa. Tangan kanannya terulur untuk mencubit keras lengan kekar dan mulus milik Daffa.
Sherly mendesah frustasi. "Gara-gara Lo si... Babe gue kan jadinya pergi, semuanya gara-gara Lo, arghh!"
Daffa hanya memutar bola matanya malas ketika mendengar perkataan Sherly barusan. Kenapa jadi dia yang di salahkan? Bukannya yang salah itu Sherly sendiri? "Babe, babe mulu lo, nggak sekalian Lo manggil sahabat gue dengan kata babi, Sher?" Daffa bertanya seraya menaik turunkan ke dua alisnya menggoda, baginya meledek Sherly adalah suatu yang mengasyikkan untuknya—terlebih cewek itu sangat mudah terpancing emosinya.
Sherly terdiam setelahnya. Dia tidak bergeming sama sekali untuk beberapa saat, pasalnya kini dia masih berusaha mencerna apa yang di katakan Daffa barusan. Sedetik kemudian kaki kanannya sedikit terangkat untuk menginjak sepatu milik Daffa. Dia memandang Daffa dengan tatapan yang terlihat sinis. "Enggak lucu, ***!" sahutnya kesal.
Setelah mengucapkan itu Sherly segera berlari menyusul Darel yang dari tadi sudah pergi dari hadapan. Sontak Daffa langsung tertawa terbahak-bahak setelahnya. Beruntunglah karena koridor kelas 11 terlihat sangat jauh dari kata keramaian, jadi hanya segelintir orang saja yang menyaksikan kejadian yang sangat terlihat memalukan tadi.
David sengaja berdiri tepat didepan meja kantin yang tengah dipakai oleh Keysa dan Nindhi. "Key, Nin, gue boleh gabung di sini ga?" David bertanya dengan suara baritonnya seraya membawa sepiring batagor dan membawa jus jeruk yang barusan dia beli disalah satu kios yang berada dikantin.
Keysa dan Nindhi saling berpandangan, lalu mereka berdua mengangguk dengan kompak, tidak memungkinkan jika keduanya menolak bukan?
"Boleh kok, lagian masih ada dua kursi yang masih kosong," Keysa menyelutuk seraya menyeruput kuah bakso pedasnya yang membuat tenggorokannya menjadi hangat.
David tersenyum tipis mendengar respon yang diberikan oleh Keysa barusan. "Thanks, Key." David menukas dengan cepat, lalu dia duduk disalah satu bangku yang masih kosong. Sebelum duduk, David terlebih dahulu meletakan sepiring batagor dan segelas jus jeruk miliknya dimeja panjang tersebut.
Nindhi membalas senyuman David dengan senyumnya tak kalah manis. "Iya, santai aja kalau sama kita," Nindhi ikut menimpali seraya kembali memasukan sepotong batagor pedas kedalam mulutnya.
Gue tanya Keysa sekarang aja deh. Batin David dalam hati.
David memilih duduk dibangku yang letaknya tak jauh dari Keysa, tentu ada alasannya dia ingin mencari informasi lebih dalam dari gadis yang dia rasa pernah dia temui sebelumnya. David bukan tipe yang menye-menye, dia lebih suka mencari informasi sendiri.
David lantas menoleh kearah Keysa yang sedang asyik mengunyah bakso kecilnya, dia tampak tersenyum tipis. "Key, gue mau nanya boleh nggak?" David bertanya dengan nada suara yang terdengar sangat canggung.
Keysa menelan baksonya yang barusan telah dia kunyah. Keysa mendongak, menatap David yang kini juga tengah menatapnya seraya tersenyum. Lantas Keysa menganggukan kepalanya pelan. Meski sedikit ragu dia mulai membuka suaranya. "Nanya aja, nggak usah sungkan-sungkan gitu,"
David menyugingkan senyumnya. Dia menyeruput sedikit jus jeruknya sebelum menjawab perkataan yang terlontar dari Keysa barusan. Saat tenggorokannya sudah terasa lega barulah David mulai berbicara. "Lo baristi cantik yang kerja di café D'A bukan sih?" David langsung melontarkan pertanyaan tanpa basa-basi lebih dulu dengan menunjukkan wajah yang terlihat penasaran.
Sontak Nindhi tersedak dengan ludahnya sendiri. Sepasang matanya kontan melebar sementara mulutnya terlihat sedikit menganga. Apa? Keysa—sahabatnya jadi baristi di café? Kenapa Nindhi tidak tahu hal itu sama sekali, huh? Dan kenapa Keysa tak pernah memberi tahu hal tersebut padanya?
Dengan wajah tak berdosa, Keysa menganggukan kepalanya pelan seraya menyengir kuda. Dia kembali menyelipkan anak rambutnya yang terjuntai menutupi sebagian wajahnya karena tadi sempat menunduk. "Eum, iya—"
"Eh, kok lo bisa tau sih?" tanyanya penasaran.
Bukannya Keysa dan David baru bertemu tadi pagi?
Lantas kenapa David bisa tahu soal itu?
Padahal dia sendiri pun tak pernah bilang hal itu pada orang yang baru dia kenal.
David menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia berdeham pelan sebelum menjawab pertanyaan dari Keysa. "Soalnya gue tadi malam mampir ke café D'A dan gue lihat lo lagi meracik kopi, makanya muka lo udah nggak kelihatan asing,"
"Eh, bay the way... mochaccino buatan lo enak banget sumpah, kagak boong deh gue," pujinya seraya terkekeh pelan.
Keysa tertawa kecil saat mendengar perkataan David barusan. "Eum, sebenarnya gue sih nggak kerja di café D'A. Café sebenarnya milik nyokap gue, lo tau nggak? D'A itu singkatan dari apa coba? D'A itu adalah singkatan dari nama belakang gue yaitu Deolinda, yang disingkat jadi D'A." jelasnya.
David hanya ber-oh ria seraya mengangguk-angguk kepalanya tanda dia mengerti. "Oh gitu... Tapi gue juga kayak pernah lihat muka lo deh, tapi dimana ya? Bukan di café, tapi gue lupa dimana," David kembali menghela nafas.
Keysa mengendikan kedua bahunya acuh. Mana mungkin David sebelumnya pernah melihat dirinya? Itu sangat mustahil bukan? "Entah, tapi sebelumnya gue belum pernah lihat lo deh," Keysa menyahut seraya kembali memakan baksonya.
David terlihat terdiam setelahnya. Dia masih tidak bergeming. Pikirannya kembali berkelana. David tengah berfikir keras, perasaan dia pernah lihat Keysa tetapi di mana ya, dia lupa, dia juga tidak kunjung ingat. Ada yang masih ingat nggak?
Nindhi jadi cengo di buatnya. Dari tadi dia hanya diam seraya mendengarkan Keysa dan David mengobrol. Sejujurnya Nindhi tidak terlalu paham dengan apa yang mereka berdua obrolkan. Otaknya terlalu sulit memahami—mengingat bahwa dirinya sedikit lemot orangnya.
"Ih, kok gue nggak pernah tahu sih, Key? Kalau lo itu jadi baristi?" Nindhi bertanya seraya merengek yang terdengar sangat lucu ditelinga Keysa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments