18

"Jenar, kamu menggoda istriku?" Dayan akhirnya menyampaikan kegelisahan itu pada Jenar setelah berusaha keras menahannya dan gagal. "Kamu menyimpan perasaan padanya setelah membantunya? Begitu?"

Jenar yang sempat fokus pada sarapannya pun mendongak. Menatap Dayan di seberang meja, juga sedang duduk walau tak makan.

"Aku tidak menggodanya," sangkal pria itu tenang. "Aku memperlakukannya sebagaimana aku seharusnya memperlakukan dia."

"Kamu tidak berkata 'kamu sangat cantik saat tertawa' pada kakak iparmu, Jenar. Itu rayuan."

Jenar meletakkan alat makannya, lalu meraih gelas air minum untuk ditenggak. Seharusnya Jenar merasa gugup atau merasa bersalah karena ketahuan merayu istri sepupunya, namun pria itu justru menatap Dayan tanpa ragu.

"Bukankah Kakak yang tidak memperlakukan dia seperti istri?"

Dayan mengepal tangannya diam-diam. "Walau begitu tindakanmu pada istriku sudah berlebihan. Itu tetap istriku. Kamu seharusnya tahu batas."

"Kakak dan Kak Runa jelas tidak punya hubungan."

"Dia hamil anakku!"

"Lalu kenapa sekali saja Kakak tidak coba bicara padanya?!" Jenar menggebrak meja murka. "Kenapa tidak sekali saja Kakak berusaha datang dan menanyakan sakitnya?!"

"Dia yang marah padaku! Aku menyuruhnya makan tapi dia lebih suka memesan makanan dan sekarang hanya mau makanan buatanmu! Lalu itu salahku?!"

"Semua wanita pada akhirnya begitu, kan?!" Jenar membalas tak kalah. "Mereka berbuat salah lalu justru menjadi pihak yang marah. Mungkin itu kebiasaan buruk tapi bukankah istri Kakak sedang hamil? Kakak seorang pria, seorang pemimpin, seseorang yang seharusnya diberi kepintaran dan kebijaksanaan lebih. Tapi alih-alih mengalah pada kemarahan Kakak, Kakak justru keras kepala dan memilih bertingkah seperti wanita! Tolong berhenti memintaku menghormati Kakak yang bertingkah tidak terhormat!"

Dayan lagi-lagi hanya dibuat tertampar oleh kenyataan. Namun amarah juga sedang menguasainya hingga Dayan mengepal tangan, mempertahankan egonya.

"Aku tidak mau bertengkar denganmu lebih dari ini." Dayan membuang pandangannya. "Pergi dari rumahku, Jenar. Berhenti merayu istriku."

Jenar tertawa sinis. "Kurasa Zion tidak mati tapi dia berpindah tubuh dan Dayan yang aslilah yang mati."

Setelah mengatakannya Jenar beranjak, pergi menuju kamar Runa. Tapi Jenar tak mau bersikap keras kepala seperti Dayan.

Pria muda itu sejujurnya juga tahu bahwa Dayan punya hak untuk marah walau argumentasi Jenar tadi tidak sepenuhnya salah.

"Kak Runa, aku harus pulang dulu."

Runa yang sedang membaca buku pendamping kehamilan tentu saja terkejut. Terlalu tiba-tiba Jenar pamit padahal kaki Runa masih terluka dan sulit dibawa berjalan.

"Ada apa? Kapan kamu kembali?"

"Secepatnya." Jenar mengambil tangan Runa dan meletakkan di atas kepalanya. Minta dia mengelus-elus pelan. "Tolong makan makanan Kakak, berjanji padaku. Setidaknya demi calon bayi Kakak."

Runa mengatup mulutnya muram. Padahal ia merasa sedikit lebih baik setelah Jenar ada dan mendampinginya. Tapi kalau memang dia harus pergi karena ada urusan, Runa tidak bisa menghalangi.

Jenar juga punya kehidupan sendiri.

"Hati-hati." Runa mengusap kepalanya sekali lagi sebelum ia menarik tangan.

*

Dayan merasa ia jauh lebih kekanakan dari usia Jenar ketika pria itu pergi lengkap bersama pesan, "Coba temui Kak Runa daripada bersembunyi seperti pecundang, Kak."

Terlebih Dayan tak bisa berhenti memikirkan kalimat anak itu. Bukan Zion yang mati melainkan Dayan namun sekarang Zion hidup dalam diri Dayan.

Dayan benar-benar merasa seperti pecundang.

"Nona." Di antara rasa frustasinya, Dayan menutup wajah dan memanggil Hestia. "Aku harus apa?"

Alasan Dayan mencintainya gila-gilaan sejak lama adalah karena Hestia seperti dewi dalam hidupnya. Sekarang bukan hanya kehilangan dewinya, Dayan juga berubah jadi tolol seperti adik bodohnya itu?

"Tuan."

Setelah sekian lama termenung, Dayan dikejutkan oleh teguran pelayan.

"Ini sudah waktu makan, Nyonya," kata sang pelayan dengan wajah ragu. "Nyonya tidak pernah makan kecuali makanan yang dibawa Tuan Jenar."

Dayan mengerutkan bibir sebelum ia beranjak, mengambil nampan makanan itu.

Ia mengusir Jenar karena risi dengan hubungan mereka terjalin jadi memang seharusnya ia yang mengantar, kan?

Setelah sekian lama Dayan muncul di kamar Runa ketika selama ini ia hanya mengawasi dari ruangan lain. Entah kenapa saat memasuki ruangan itu, Dayan mengingat satu per satu kekejaman yang ia perbuat pada Runa.

Alasan tempat ini ia bangun sangat aman karena Dayan ingin mencegah dia bunuh diri. Dayan ingin menyiksanya sampai dia berharap mati tapi Dayan tidak akan membiarkan dia mati.

Seharusnya begitu. Tapi sekarang Dayan berharap kewarasannya tidak hilang kala itu.

Tentu saja tak heran jika Runa menatapnya seolah-olah Dayan adalah musuh.

"Jenar sudah pergi jadi aku yang mengantar makanan sekarang." Dayan meletakkan nampan itu di atas tempat tidur. "Makan."

Runa hanya membisu.

"Mau sampai kapan kamu mengabaikan aku?" Dayan menatap lurus padanya sekalipun Runa bahkan tak sudi berpaling. "Kamu ingin terus seperti ini sampai anak kita lahir?"

"Anakku." Runa mendelik tajam. "Anakku. Hanya aku."

"Itu anakku juga."

"Dia tidak butuh ayah monster."

"Aku bukan monster!" Dayan membentak, namun seketika terpejam menyadari bentakan itulah alasan ia dipanggil monster.

Aku bukan Zion, bisik Dayan pada dirinya. Jenar itu sampai memanggilku Zion. Seharusnya bukan.

"Aku akan bersikap baik demi anak itu." Dayan mengubah ucapannya. "Kalau kamu ingin aku minta maaf maka aku akan minta maaf."

"Kalau begitu ceraikan aku dan bebaskan aku dari sini."

Dayan tersentak. Apa katanya? Becerai?

"Satu-satunya cara aku mau memaafkan kamu hanya bercerai. Bebaskan aku dari neraka buatanmu ini." Runa mengepal tangannya kuat.

Maaf? Memaafkan Dayan setelah semuanya? Sungguh omong kosong. Katakan saja Runa pendendam karena memang benar dirinya dendam.

Tapi ia akan bersikap seperti memaafkannya kalau dia mau bercerai dan melepaskan ikatan di leher Runa. Lalu berhentilah muncul. Menjauh darinya ribuan kilo meter. Dengan begitu Runa mungkin akan baik-baik saja.

Ia bahkan akan makan lima kali sehari tanpa disuruh.

Sayangnya perkataan Runa membuat Dayan tak bisa membalas.

Bercerai dari Runa berarti terpisah dari anaknya. Dayan tak mungkin melakukan itu. Dan, setelah semua rasa bersalah ini, Dayan justru merasa semakin badjingan jika ia melukainya lalu membuangnya.

"Apa karena Jenar?" tanya Dayan pelan.

"Apa?"

"Kamu merasa Jenar memperlakukanmu lebih baik dariku, jadi kamu ingin bercerai dan punya kesempatan bersamanya?"

Runa mendongak tak percaya. Sungguh pria gila. Apa dia pikir setelah tiga pengalaman buruk Runa bersama tiga pria berbeda, Runa masihlah wanita yang berkeinginan punya keluarga pria?

"Jatuhkan surga ke bumi, Dayan," ucap Runa penuh penekanan, "karena kamu akan melihat aku sukarela memanjat neraka di langit daripada harus menghabiskan hidupku untuk pria lagi."

Dayan membatu.

"Aku menganggap Jenar seperti teman wanita. Karena itulah aku bisa bicara dengannya. Kamu pikir aku melihat dia sebagai laki-laki dan mau jatuh cinta padanya? Kalau benar, aku yang mengajak dia membawaku pergi."

Karena sepertinya Jenar sedikitpun tidak keberatan.

Tapi Runa tidak butuh pria dalam hidupnya lagi. Kecuali jika nanti ia dikaruniai anak laki-laki maka anak itu saja satu-satunya.

*

Terpopuler

Comments

mbak akane

mbak akane

tuuhkam susah buat buka hati lg klo diposisix mbak runa,,, 😭

2023-08-16

1

mbak akane

mbak akane

tpi kmu akting kyak monster, yan,,,

2023-08-16

1

mbak akane

mbak akane

jenar dewasa bgt,,

2023-08-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!